Tolak Revisi UU KPK, Rektor dan Guru Besar Minta DPR Dukung Penuntasan Kasus e-KTP
Berita

Tolak Revisi UU KPK, Rektor dan Guru Besar Minta DPR Dukung Penuntasan Kasus e-KTP

Sosialisasi revisi UU KPK yang dilakukan DPR diduga berkaitan dengan penanganan kasus korupsi e-KTP di KPK.

NOV
Bacaan 2 Menit
Waketum Forum Rektor Prof Asep Saepudin menyerahkan lentera kepada Wakil Ketua KPK Laode M Syarif sebagai simbol dukungan terhadap KPK, Jumat (17/3). Foto: NOV
Waketum Forum Rektor Prof Asep Saepudin menyerahkan lentera kepada Wakil Ketua KPK Laode M Syarif sebagai simbol dukungan terhadap KPK, Jumat (17/3). Foto: NOV
Meski tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas), Badan Keahlian DPR terlihat gencar mensosialisasikan revisi UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK (UU KPK). Badan Keahlian DPR sudah melakukan sosialisasi di tiga kampus, yaitu Universitas Andalas, Padang; Universitas Sumatera Utara; Universitas Nasional, Jakarta. Baca Juga: Serap Aspirasi Revisi UU KPK, Begini Pandangan Akademisi Universitas Nasional

Atas upaya DPR ini, pada akademisi yang tergabung dalam Forum Rektor dan Guru Besar Antikorupsi menyambangi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menyatakan dukungannya kepada lembaga antirasuah tersebut. Mereka juga secara tegas menolak sosialisasi revisi UU KPK yang tengah dilakukan DPR di sejumlah kampus.

Menurut Wakil Ketua Umum Forum Rektor Prof Asep Saepudin, terminologi sosialisasi yang digunakan DPR menunjukan bahwa lembaga legislatif itu hampir selesai merumuskan revisi UU KPK. "Sosialisasi beda dengan konsultasi. Kalau konsultasi, bisa saja dalam kelompok akademisi, kami memberikan masukan-masukan," katanya di KPK, Jumat (17/3).

Lagipula, Prof Asep menganggap, untuk sementara ini, revisi UU KPK tidak terlalu mendesak untuk dilakukan. KPK dinilai sudah kuat. Bahkan, andaikata mereka mau mendukung program-program pemberantasan korupsi KPK, khususnya penanganan kasus e-KTP, seharusnya semua komponen, termasuk pemerintah dan DPR mendukung langkah-langkah yang dilakukan KPK

Prof Asep mengatakan, semestinya DPR dan pemerintah berterima kasih kepada KPK yang mempercepat penanganan kasus korupsi e-KTP. Ia mengajak untuk melihat momentum ini sebagai upaya perbaikan bersama. Sebab, masalah korupsi, khususnya e-KTP merupakan "penyakit" yang membahayakan jika tidak segera dituntaskan.

"Kalau penyakit ini tidak pernah diberantas, maka akan menghambat kesejahteraan masyarakat. Kemajuan ekonomi akan tertinggal terus. Kalau KPK masuk dan ingin percepat kasus e-KTP, harus kita dukung, terutama DPR. DPR tidak perlu melakukan penghambatan apapun," ujarnya. Baca Juga: Usulan Hak Angket Kasus e-KTP Dinilai Tidak Perlu

Sebagai akademisi, Prof Asep menduga rencana DPR untuk melanjutkan proses revisi UU KPK berhubungan dengan penanganan perkara e-KTP di KPK. Pasalnya, tahun lalu, saat Forum Rektor dan Guru Besar mendatangi DPR untuk menyampaikan penolakan revisi UU KPK, DPR menerima masukan tersebut. Begitu pula saat mereka mendatangi kantor sekretariat Presiden.

"(Jadi) Bilamana dalam dakwaan itu ada nama-nama teman-teman dari DPR dan pemerintah, saya pikir tidak perlu menjadi risau kalau yang bersangkutan tidak melakukan (perbuatan korupsi). Tenang saja. Dan, secara kelembagaan memang seharusnya DPR mendukung upaya yang dilakukan oleh KPK," pintanya.

Untuk KPK sendiri, Prof Asep meminta agar selalu istiqomah dan tetap menjalankan tugasnya sesuai koridor, tanpa perlu takut terhadap rencana revisi UU KPK yang tengah digulirkan DPR. Ia memastikan Forum Rektor dan Guru Besar Antikorupsi akan berada di garda terdepan untuk menolak segala bentuk upaya pelemahan KPK.

Selaku pendidik, sudah menjadi tanggung jawab moral para akademisi untuk menangkal kerusakan akibat korupsi. Prof Asep menyatakan, Forum Rektor dan Guru Besar Antikorupsi akan terus menyebarluaskan kepada Rektor-Rektor lainnya agar konsisten secara akademik dengan tidak ikut melakukan sosialisasi revisi UU KPK.

Ke depan, sambung Prof Asep, Forum Rektor dan Guru Besar Antikorupsi akan mengambil kembali mendatangi DPR dan Presiden untuk menyampaikan penolakan revisi UU KPK secara resmi. "Kami punya pemikiran-pemikiran yang solid terkait substansi, karena substansi itu sedikit saja dikeluarkan sudah punya efek besar," ucapnya.

Senada, Guru Besar Universitas Indonesia Prof Sulistyowati Irianto menolak sosialisasi revisi UU KPK yang dilakukan Badan Keahlian DPR. Ia menyayangkan, upaya membangun kesadaran palsu atau False Consciousness dengan mengatakan bahwa UU KPK direvisi untuk membesarkannya.

"Padahal, kita tahu substansinya amat sangat melemahkannya. Tentu saja, itu semua dilakukan untuk melangggengkan kekuasaan. Kalau secara akademik, hukum adalah suatu cara untuk meneguhkan kekuasaan itu, dalam hal ini tentunya hukum digunakan sebagai alat untuk mendefinisikan kekuasaan," terangnya.

Karena itu, selain mendukung KPK dan menolak sosialisasi revisi UU KPK, Forum Rektor dan Guru Besar Antikorupsi meminta agar KPK berani dalam mengungkap perkara korupsi besar, termasuk korupsi e-KTP yang melibatkan petinggi-petinggi lembaga negara dan aktor-aktor lainnya.

Mereka juga meminta DPR segera menghentikan revisi UU KPK. Sebab, wacana revisi UU KPK yang didengungkan kali ini tidak bisa dilepaskan dari kerja KPK dalam mengungkap perkara korupsi e-KTP, sehingga rencana revisi UU KPK patut diduga sebagai upaya memecah konsentrasi dan melemahkan KPK.

Para akademisi ini meminta agar lebih baik DPR membantu KPK menuntaskan mega korupsi e-KTP dan kasus-kasus lainnya. Selain itu, DPR dan Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus sepaham, serta mendukung kerja pemberantasan korupsi oleh KPK. Segala bentuk ancaman terhadap kerja KPK adalah ancaman terhadap kerja pemberantasan korupsi. Hal itu bukan saja bertentangan dengan semangat Kabinet Kerja Jokowi-JK, tetapi juga Nawacita.

Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menyambut baik dukungan Forum Rektor dan Guru Besar Antikorupsi. Ia menegaskan, sikap pimpinan dan seluruh pegawai KPK juga menolak draf revisi UU KPK yang telah beredar. Sejak tahun lalu, ketika baru dilantik, pimpinan KPK telah mengirimkan surat kepada Presiden. Sampai hari ini, sikap pemerintah dan Presiden pun masih sama.

"Makanya, KPK merasa kaget kok tiba-tiba di parlemen ada pergerakan untuk  membicaraan revisi UU KPK. (Padahal) sampai hari ini, pemerintah dan Presiden jelas sikapnya, itu (revisi UU KPK) tidak dianggap penting, maka tidak masuk dalam Prolegnas. Tidak masuk Prolegnas kenapa dicoba didiskusikan lewat kampus-kampus," tuturnya.

Namun, meski DPR mencoba mensosialisasikan revisi UU KPK melalui sejumlah kampus, Laode bersyukur, banyak kalangan akademisi yang menolak karena isi draf revisi UU KPK melemahkan KPK. Ia mengakui, DPR memang memiliki kewenangan legislasi, tetapi isi draf revisi UU KPK tersebut bukannya memperkuat, justru melemahkan KPK. Baca Juga: Ada Konflik Kepentingan Kasus e-KTP, Ketua KPK Didesak Mundur

"Seperti yang dikatakan Prof Sulis, ingin membangun kesadaran dengan informasi yang salah. Saya pikir tidak bagus juga kalau wakil rakyat yang dipercaya masyarakat (membuat draf revisi UU KPK) yang isinya melemahkan, tapi dibilang atau 'dijual' dengan mengatakan ini untuk memperkuat," tandasnya.

Sebagaimana isi draf revisi UU KPK yang beredar, sebagian besar substansi masih sama dengan draf sebelumnya. Beberapa poin yang dipermasalahkan adalah menyangkut keberadaan dan kewenangan Dewan Pengawas, penyadapan, pengangkatan penyelidik/penyidik, serta penghentian penyidikan dan penuntutan.
Tags:

Berita Terkait