Undang-undang Tak Melarang Aksi Unjuk Rasa di Jalan Protokol
Berita

Undang-undang Tak Melarang Aksi Unjuk Rasa di Jalan Protokol

Pasal 9 ayat (2) UU 9/1998 menyatakan demonstrasi tidak boleh dilakukan di lingkungan istana kepresidenan, tempat ibadah, instalasi militer, rumah sakit, pelabuhan udara atau laut, stasiun kereta api, terminal angkutan darat, dan obyek-obyek vital nasional.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Massa Front Pembela Islam (FPI) melakukan longmars menuju Bareskrim dan Balai kota di Jakarta, Jumat (14/10). Dalam aksinya mereka meminta pihak kepolisian untuk memproses hukum Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok terkait pernyataannya yang dinilai menyinggung umat muslim beberapa waktu lalu.
Massa Front Pembela Islam (FPI) melakukan longmars menuju Bareskrim dan Balai kota di Jakarta, Jumat (14/10). Dalam aksinya mereka meminta pihak kepolisian untuk memproses hukum Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok terkait pernyataannya yang dinilai menyinggung umat muslim beberapa waktu lalu.
Pernyataan Kapolri Tito Karnavian belakangan ini menjadi perhatian aktivis Gerakan Selamatkan Indonesia (GSI), Ratna Sarumpaet. Dia menilai Kapolri belum memiliki kemampuan melayani, melindungi dan mengayomi masyarakat secara profesional dan berkeadilan.

Pernyataan Ratna ini terkait dengan larangan demo tidak boleh menggunakan jalan protokol. Menurutnya, tak ada larangan bagi masyarakat melakukan aksi demonstrasi di jalan protokol. Pasal 9 ayat (2) UU No.9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. (Baca Juga: Apakah Kudeta Sama dengan Makar? Ini Penjelasan Hukumnya)

Pasal 9 ayat (2) menyatakan, penyampaian pendapat di muka umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan di tempat-tempat terbuka untuk umum. kecuali: a. di lingkungan istana kepresidenan, tempat ibadah, instalasi militer, rumah sakit, pelabuhan udara atau laut, stasiun kereta api, terminal angkutan darat, dan obyek-obyek vital nasional; b. pada hari besar nasional.

“Faktanya sudah ribuan demo di gelar di jalan-jalan protokol sejak tahun 1998 dan tidak pernah dipersoalkan,” ujar Ratna dalam rapat dengar pendapat umum dengan Komisi III DPR, Senin (28/11).

Hal lainnya yang disorot Ratna terkait dengan kalimat Kapolri yang mengatakan ‘Ahok tidak bermaksud menista’. Menurutnya, pernyataan Tito di berbagai media soal tidak adanya maksud Ahok menista agama islam bukanlah ranah Polri. Namun, menjadi ranah pengadilan untuk membuktikan ada tidaknya unsur ‘dengan sengaja’ dalam rumusan pasal yang didakwakan. (Baca Juga: Isu Aksi 2 Desember: Polda Metro Jaya Keluarkan Maklumat, Begini Isinya)

Kemudian terkait dengan aksi yang rencananya akan digelar pada 2 Desember mendatang. Ratna menyayangkan respons negatif dari Kapolri yang seakan-akan menuding demonstrasi tersebut bakal ditunggangi oleh aksi makar tanpa mampu membuktikannya.

Menurut Ratna, pernyataan Kapolri yang menuding akan adanya indikasi makar tidak tepat. Faktanya, pada Jumat (25/11) yang katanya akan ada aksi besar-besaran ternyata tidak terjadi, apalagi bakal menduduki DPR. Kemudian, lanjut Ratna, Kapolri Tito menyebut Pasal 104 KUHP yang mengatur perbuatan tindak pidana makar dengan maksud membunuh atau merampas kemerdekaan presiden dan wakil presiden.

“Menurut saya, bahkan di media sosial pun tidak ada informasi soal adanya rencana pembunuhan atau perampasan kemerdekaan presiden dan wakil presiden,” kata Ratna. (Baca Juga: Tanggapi Isu Aksi 2 Desember, Presiden: Mari Kembali ke Konsep Negara Hukum)

Anggota Komisi III Taufikulhadi mengatakan mesti melihat menyeluruh tindakan Kapolri dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Makanya, dalam raker pekan dengan Kapolri bakal dipertanyakan sejumlah kebijakan dalam penanganan aksi Demo dan kasus Ahok. “Kita akan lihat pandangan Kapolri,” ujarnya.

Politisi Partai Nasional Demokrat (NaSdem) itu mengatakan sepanjang Kapolri bersikap dan bertindak dalam rangka peringatan dini pencegahan, maka hal tersebut menjadi kewajiban dan tugasnya. Ia mengatakan tudingan makar sebagai identifikasi agar tidak terjadi perbuatan makar.

“Jangan sampai ada pihak-pihak yang merencanakan hal tersebut. Jadi ini dalam konteks ealry warning, tidak ada masalah,” ujarnya.

Yang pasti, Komisi III, kata Taufik tak akan tergopoh-gopoh mengambil kesimpulan terhadap permintaan GSI. Komisi bidang Hukum itu bakal mengkaji dan meminta pandangan dari berbagai pihak. “Kami tidak akan terburu-buru, lihat dulu alasan-alasannya. Dalam politik itu tidak boleh setengah-setengah, ketika ambil posisi, tentu akan ada yang tidak suka,” pungkasnya.

Untuk siketahui, terkait aksi unjuk rasa, sebelumnya Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta telah menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) No.228 Tahun 2015 tentang Pengendalian Pelaksanaan Penyampaian Pendapat di Muka Umum pada Ruang Terbuka (Demo). Namun aturan itu direvisi. Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mengatakan revisi tesebut dilakukan dalam rangka mengakomodir ruang demokrasi di ibukota.

Sebagai ganti pergub itu, Pemprov DKI mengeluarkan Pergub Nomor 232 Tahun 2015. Revisi yang dilakukan itu terkait penentuan lokasi aksi unjuk rasa yang sebelumnya hanya boleh dilaksanakan di tiga tempat, yaitu Parkir Timur Senayan, Alun-alun Demokrasi DPR/MPR RI dan Silang Selatan Monumen Nasional (Monas). Di dalam pergub baru itu juga dijelaskan bahwa revisi yang dilakukan itu bersifat redaksional, yakni dengan mengubah kata 'menentukan lokasi' menjadi 'menyediakan lokasi'.

Selain itu, revisi juga dilakukan terhadap aturan yang sebelumnya tidak memperbolehkan massa untuk melakukan konvoi atau pawai selama aksi unjuk rasa. Di dalam pergub yang baru, aturan itu dihilangkan. Meski begitu, pemprov berharap agar demonstran untuk tetap tertib.

Tags:

Berita Terkait