Untuk Pertama Kali, UU KIP Dibawa ke MK
Berita

Untuk Pertama Kali, UU KIP Dibawa ke MK

Majelis hakim MK meminta para pemohon memperjelas kerugian konstitusional, termasuk saat menangani sengketa.

ASH
Bacaan 2 Menit
Kuasa Hukum Pemohon Veri Junaidi saat menyampaikan dalil-dalil permohonan uji materi UU Keterbukaan Informamsi Publik, Senin (10/11). Foto: Humas MK
Kuasa Hukum Pemohon Veri Junaidi saat menyampaikan dalil-dalil permohonan uji materi UU Keterbukaan Informamsi Publik, Senin (10/11). Foto: Humas MK
Untuk pertama kali sejak diberlakukan 2010 silam, Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) dimohonkan hak uji ke Mahkamah Konstitusi. Pemohonnya pun sebagian besar ‘orang dalam’, yakni sejumlah komisioner di Komisi Informasi Pusat dan Komisi Informasi Daerah, ditambah seorang wartawan dan dua orang warga negara.

Wakil Ketua Komisi Informasi Pusat, John Fresly, termasuk yang ikut mengajukan permohonan pengujian ini. John dan kawan-kawan menilai Sekretariat Komisi Informasi selama ini tidak independen, dan kewenangannya terbatas, karena dijalankan pemerintah. Aturan tentang kesekretariatan Komisi dalam Pasal 29 ayat (2) sampai ayat (5) UU KIP dituding sebagai pangkal persoalan.

“Keberadaan Sekretariat  yang dilaksanakan pemerintah dinilai telah memberangus fungsi dan kewenangan lembaga Komisi Informasi sebagai lembaga yang menyelesaikan sengketa informasi publik,” ujar kuasa hukum para pemohon, Veri Junaidi, Senin (10/11).

Sidang pemeriksaan pendahuluan dipimpin hakim konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi, beranggotakan Wahidudin Adams dan Aswanto.

Pasal 29 ayat (2) UU KIP menyebutkan ‘Sekretariat Komisi Informasi dilaksanakan oleh pemerintah’. Ayat (3) menyebutkan ‘Sekretariat Komisi Informasi Pusat dipimpin oleh sekretaris yang ditetapkan oleh Menteri yang tugas dan wewenangnya di bidang komunikasi dan informatika berdasarkan usulan Komisi Informasi’. Ayat (4) menegaskan ‘Sekretariat Komisi Informasi provinsi dilaksanakan oleh pejabat yang tugas dan wewenangnya di bidang komunikasi dan informasi di tingkat provinsi yang bersangkutan’. Lalu, ayat (5) menambahkan ‘Sekretariat Komisi Informasi kabupaten/kota dilaksanakan oleh pejabat yang mempunyai tugas dan wewenang di bidang komunikasi dan informasi di tingkat kabupaten/kota yang bersangkutan’.

Veri menilai Komisi Informasi sebagai lembaga semi peradilan yang memutus sengketa antara Badan Publik dengan pemohon informasi publik seharusnya menjadi lembaga mandiri dan independen seperti dimaksud Pasal 23 UU KIP. Artinya, dalam menjalankan tugasnya, Komisi Informasi seharusnya dilepaskan dari kepentingan (pemerintah) dan pihak yang berperkara.

Pasal 23 UU KIP menyebutkan Komisi Informasi adalah lembaga mandiri yang berfungsi menjalankan UU dan aturan pelaksanaannya menetapkan petunjuk teknis standar layanan informasi publik dan menyelesaikan sengketa informasi publik melalui mediasi, dan atau ajudikasi non litigasi.

Namun, pengaturan kesekretariatan yang melibatkan pemerintah seperti diatur Pasal 29 UU KIP tidak mendukung independensi pelaksanaan tugas Komisi Informasi. Hal ini bertentangan dengan prinsip kemandirian Komisi Informasi sebagai lembaga kuasi peradilan. “Meski didesain sebagai lembaga mandiri masih ada pengaturan yang tidak konsisten. Ketidakkonsistenan ini terlihat dalam Pasal 29 ayat (2) dan ayat (4),” tegasnya.

Karenanya, para pemohon meminta Pasal 29 ayat (2), (3), (4), (5) UU KIP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagai berikut: (2) Sekretariat Komisi Informasi dilaksanakan oleh kesekretariatan Komisi Informasi Pusat; (3) Sekretariat Komisi Informasi Pusat dipimpin oleh Sekjen yang diusulkan oleh Komisi Informasi Pusat kepada presiden; (4) Sekretariat Komisi Informasi Provinsi dilaksanakan oleh sekretaris yang diusulkan oleh Komisi Informasi Provinsi kepada Komisi Informasi Pusat; dan (5) Sekretariat Komisi Informasi kabupaten/kota dilaksanakan oleh sekretaris yang diusulkan oleh Komisi Informasi kabupaten/kota kepada Komisi Informasi Provinsi.

Memberikan nasihat sesuai amanat Undang-Undang, hakim konstitusi menyarankan agar para pemohon memperjelas letak kerugian konstitusional mereka atas berlakunya Pasal 29 UU KIP. Majelis menilai argumentasi dalam berkas permohonan belum fokus dan tidak mengerucut pada kerugian konstitusional.

“Jadinya ini tidak karuan. Saudara akan menghadapi pembentuk UU, bahkan ahli. Ini bukan menang atau kalah, tetapi bagaimana Saudara meyakinkan bahwa permohonan ini benar-benar persoalan konstitusionalitas,” kritik Ahmad Fadlil Sumadi saat persidangan.

Tak hanya Fadli, Aswanto pun meminta agar permohonan harus dielaborasi dengan uraian fakta yang terjadi hingga pada kesimpulan para pemohon mengalami kerugian konstitusional secara aktual. “Tadi kan Saudara menyebutkan ada 772 perkara yang telah ditangani. Nah, apa betul ada kerugian saat menangani perkara tersebut? Ini perlu dipertajam lagi,” saran Aswanto.
Tags:

Berita Terkait