“Upaya Hukum” Baru Jelmaan Praperadilan Oleh: Krisna Harahap*)
Kolom

“Upaya Hukum” Baru Jelmaan Praperadilan Oleh: Krisna Harahap*)

Membiarkan pintu praperadilan terbuka lebar untuk para Tersangka membebaskan diri, sama artinya membiarkan bangsa dan Negara terus digerogoti oleh para pelaku kejahatan.

Bacaan 2 Menit

 

Nyatanya, permasalahan yang dihadapi cukup kompleks. Satu-satunya lembaga yang dianggap dapat mengatasinya adalah Mahkamah Agung sendiri sebagai pemegang kekuasaan kehakiman yang menyelenggarakan peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan yang senantiasa dicari setiap warga negara yang hak konstitusionalnya dilindungi oleh Pasal 24 D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.

 

Caranya? Memberi kewenangan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk menetapkan dan menunjuk Majelis Hakim dalam memeriksa perkara praperadilan yang ternyata sudah memeriksa aspek materiil perkara. Khusus dalam perkara tindak pidana korupsi, paling tidak ketua majelis harus memiliki sertifikat. Manakala di Pengadilan Negeri setempat  tidak ada hakim yang memiliki sertifikasi Hakim Tindak Pidana Korupsi, maka Majelis Hakim pemeriksa permohonan praperadilan dipimpin oleh Ketua Pengadilan Negeri atau Wakil Ketua Pengadilan Negeri.

 

Jelas, menunjuk majelis hakim untuk memeriksa permohonan praperadilan bertentangan dengan ketentuan Pasal 78 ayat (2) KUHAP yang menyatakan bahwa praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh ketua pengadilan negeri dan dibantu oleh seorang panitera.

 

Masalah tentu belum berakhir sampai di sini. Di mana kewenangan menunjuk majelis hakim itu diatur? Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) atau Peraturan Mahkamah Agung (PERMA)? Keduanya berderajat di bawah undang-undang yang menentukan bahwa praperadilan dipimpin oleh Hakim Tunggal, bukan dalam bentuk majelis sebagaimana disebut dalam Pasal 78 ayat (2) KUHAP.

 

Disadari betul bahwa ditinjau dari tata urutan pembentukan undang-undang, mengeluarkan SEMA atau PERMA tidaklah tepat, kendati Mahkamah Agung pernah “terpaksa” mengeluarkan SEMA  antara lain untuk menetralisir Putusan PK tentang upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali dalam rangka menjalankan fungsi menjaga terciptanya kesatuan hukum. 

 

Seyogianya, penanganan permohonan praperadilan oleh Majelis Hakim terutama untuk perkara-perkara yang tergolong extra ordinary crime dituangkan dalam revisi KUHAP atau melengkapi RUU KUHAP yang sudah “bulukan” di lemari arsip DPR.

 

Demi kepentingan bangsa dan negara bijaksanakah menanti revisi undang-undang tersebut pada saat para pembentuk undang-undang terutama para wakil kita di Senayan sedang terlena dengan persoalannya sendiri?

Tags:

Berita Terkait