​​​​​​​UU Perkawinan Harus Sesuai dengan Konsensus Ideologi Negara Pancasila
Hukum Perkawinan Kontemporer

​​​​​​​UU Perkawinan Harus Sesuai dengan Konsensus Ideologi Negara Pancasila

Berbagai aspirasi terus berdatangan dari berbagai kelompok masyarakat untuk melakukan revisi UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan).  Sejumlah upaya melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi pun telah dilakukan. Salah satu ahli hukum perdata dan keluarga Islam yang hukumonline temui ikut memberikan pandangannya.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit

 

Ada fitrah manusia dalam hal ini. Secara anatomi biologis saja ada perbedaan alami antara laki-laki dengan perempuan. Ada peran berat perempuan untuk mengandung, menyusui, dan menjadi sosok Ibu. Tuntutan perempuan juga sebagai keluarga akan membebani lebih banyak. Jika ada kesepakatan di antara suami istri bahwa istrinya boleh bekerja itu silakan saja. Tapi tidak dengan menetapkannya sebagai norma dalam UU.

 

Perkawinan harus dilihat sebagai lembaga di wilayah privat yang melibatkan agama, kepercayaan, dan hukum. Kita sebagai orang luar dari setiap perkawinan tidak bisa memukul rata dengan sudut pandang pribadi. UU Perkawinan saat ini memang lebih mengatur secara administratif peran dan tanggung jawab dalam perkawinan dengan menyerahkan lebih banyak kepada kesepakatan suami istri berdasarkan norma agamanya. Negara menghormati pengaturan wilayah privat yang telah mereka pilih sendiri lewat agama yang dianutnya. Oleh karena itu tidak ada tempat bagi ateisme di Indonesia.

 

Kalau memang perlu diubah, silakan saja diubah istilah ibu rumah tangga menjadi kepala rumah tangga. Jadi tidak lagi mengesankan perempuan tidak boleh bekerja. Tapi yang lebih mendesak jika memang dirasa perlu diubah, saya rasa sanksi pidana bagi suami bisa diatur apabila tidak menjalankan kewajibannya. Hal lain tentang perlindungan lebih bagi perempuan dan anak bisa juga diubah, namun tetap tidak mengabaikan norma agamanya. Ini uniknya Indonesia dengan dasar negara Pancasila.

 

Sebenarnya peran negara sudah ada, tinggal dikuatkan saja lewat lembaga-lembaga yang terkait dalam pelaksanaannya. Misalnya ada Badan Penasihatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan.

 

Saya akui bahwa selama ini ada pelaksanaan perkawinan yang tidak konsisten dengan UU Perkawinan. Kita ketahui ada penyelundupan hukum soal perkawinan beda agama yang tetap bisa dicatatkan atau masih adanya pemaksaan perkawinan pada usia anak-anak. Oleh karena itu ketegasan sanksi bagi pelanggaran norma UU Perkawinan ini perlu dipertimbangkan. Petugas Kantor Urusan Agama bisa jadi ujung tombak.

 

Hal lain yang penting soal pencatatan perkawinan. Bagaimana caranya agar masyarakat mencatatkan perkawinannya untuk jaminan hukum negara. Ini isu penting. Tolong memperhatikan kajian yang lengkap, bukan sekadar merujuk HAM tanpa melihat secara utuh. UU Perkawinan harus berhubungan dengan konsensus negara Pancasila, kalau mau menikah dengan sesama jenis misalnya, buktikan dulu apakah ada agama yang menerima konsep semacam itu? 

Tags:

Berita Terkait