Masa Penantian Eksekusi Mati Perlu Dibatasi
Berita

Masa Penantian Eksekusi Mati Perlu Dibatasi

Ayodya, WN India, pekan lalu dieksekusi setelah sepuluh tahun berada di dalam penjara. Terpidana lain malah ada yang sudah belasan tahun. Ada usulan, agar masa penantian di dalam penjara dibatasi.

Mys
Bacaan 2 Menit
Masa Penantian Eksekusi Mati Perlu Dibatasi
Hukumonline
Sebab, dengan membiarkan terpidana mati bertahun-tahun dalam penjara, sama saja menjatuhkan hukuman double kepada terpidana. Itu sebabnya, ahli hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia DR Rudi Satrio Mukantardjo mengusulkan perlunya pembatasan masa penantian eksekusi bagi seorang terpidana mati.

Dalam praktek, meskipun semua upaya hukum sudah ditempuh dan berkekuatan hukum tetap, aparat tidak langsung mengeksekusi. Yang menjadi masalah adalah terlampau lamanya seseorang terpidana menunggu eksekusi mati tersebut, kata Rudi kepada hukumonline.

Pandangan senada dikemukakan oleh Pudjo Rahardjo. Tidak ada aturan yang mengatur kapan dan berapa lama para terdakwa kasus narkoba yang divonis mati untuk segera dieksekusi, kata jaksa yang berdinas di Kejari Tangerang itu beberapa waktu lalu.

Hal ini antara lain disebabkan oleh birokrasi hukum yang berbelit-belit. Meskipun MA sudah menjatuhkan vonis mati di tingkat kasasi, pelaksanaannya selalu memakan waktu lama. Masih ada upaya hukum peninjauan kembali (PK) dan grasi. Bahkan ada yang dua kali mengajukan grasi ke Presiden.

Grasi ditolak bukan menjadi jaminan eksekusi segera dilaksanakan. Dalam praktek masih ada perintah eksekusi dari jaksa agung, lalu koordinasi dengan polisi, bahkan masih menunggu keputusan presiden atas pelaksanaan eksekusi tersebut.

Salah satu gagasan yang muncul untuk memudahkan pelaksanaan hukuman mati adalah revisi terhadap Penetapan Presiden No. 2/1964, yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang No. 5 Tahun 1969 (lihat file attachment).

Salah satu harapan yang bisa meloloskan para terpidana mati dari jerat maut adalah RUU KUHP. RUU yang masih digodok Departemen Kehakiman ini memiliki klausul yang memungkinkan hukuman pidana mati berubah menjadi pidana seumur hidup. Pasal 83 tegas menyebutkan bahwa ‘Jika permohonan grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati tidak dilaksanakan selama 10 tahun bukan karena terpidana melarikan diri, maka pidana mati tersebut dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dengan keputusan Menteri Hukum dan Perundang-Undangan'.

Pemikiran itu pun sudah diserap dalam serangkaian pengkajian di Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN). Menurut Pasal 82 ayat (2) RUU KUHP, hukuman mati bisa berubah menjadi pidana seumur hidup, bahkan 20 tahun penjara, jika terpidana berkelakuan baik. Jika tidak ada perubahan perilaku, jaksa agung bisa langsung memerintahkan eksekusi. Jadi, kalau selama 10 tahun terpidana bisa berubah sikap maka pidana mati itu akan berubah jadi pidana seumur hidup, jelas Rudi.

Di sisi lain, Pasal 82 ayat (1) RUU KUHP menegaskan, pelaksanaan pidana mati dapat ditunda dengan masa percobaan selama 10 tahun. Tapi ada syaratnya: (i) reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu besar; (ii) terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki; (iii) kedudukan terpidana dalam penyertaan tindak pidana tidak terlalu penting; dan (iv) ada alasan yang meringankan.

Tags: