Hasil Survei: Masih Ada 13 Pungli di Dunia Pendidikan Dasar
Berita

Hasil Survei: Masih Ada 13 Pungli di Dunia Pendidikan Dasar

Secara yuridis tidak diperbolehkan adanya pungutan terhadap orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan dasar. Kenyataannya? Hasil survei membuktikan bahwa masih ada 13 jenis pungutan yang sangat memberatkan.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Hasil Survei: Masih Ada 13 Pungli di Dunia Pendidikan Dasar
Hukumonline

 

Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Indra Djati Sidi tidak menafikan temuan-temuan ICW. Ia justeru berterima kasih kepada pihak-pihak yang telah melakukan pengawasan terhadap praktek korupsi di dunia pendidikan. Depdiknas tidak mungkin mengawasi sekitar 250.000 sekolah di daerah secara terus menerus. Pengawasan dari masyarakat seperti yang dilakukan ICW, kata Indra, justeru bisa mengurangi tingkat korupsi. Dibanding zaman dulu, prosentase korupsinya sudah jauh berkurang, ujarnya.

 

Indra Djati Sidi juga menyinggung soal anggaran dunia pendidikan yang masih jauh dari perintah Undang-Undang. Seyogianya ada kewajiban menyediakan anggaran 20 persen dari APBN. Tetapi yang bisa disediakan sekarang baru sekitar 5,8 persen dari total anggaran. Dari Rp71 triliun yang seharusnya disediakan, realisasinya baru Rp21 triliun. Jadi, masih kekurangan Rp50 triliun.

 

Itu sebabnya Ade Irawan sampai pada kesimpulan bahwa biaya pendidikan lebih banyak ditanggung masyarakat daripada Pemerintah. Beban itu sebagian terpaksa ditanggung lewat pungutan-pungutan yang melanggar Undang-Undang Sisdiknas.

Survei tersebut dilakukan Indonesia Corruption Watch (ICW) di tiga wilayah yaitu Jakarta, Garut dan Solo. Hasil survei tentang kualitas pelayanan pendidikan dasar itu dilansir di Jakarta hari ini (30/12).

 

ICW menemukan adanya 30 jenis pungutan di sekolah-sekolah dasar di seluruh Indonesia. Dari jumlah itu, 13 jenis di antaranya berhasil diverifikasi dalam survei. Pungutan liar tersebut adalah biaya ekskul, masuk, bangunan, uang ujian, lembar karya siswa dan buku paket, SPP, perpustakaan, study tour, perpisahan guru, pergantian kepala sekolah (kepsek), olah raga, biaya fotocopy. Dari seluruh item itu, yang paling memberatkan adalah pungutan biaya buku dan bangunan, ujar Ade Irawan, Kepala Divisi Monitoring Pelayanan Umum ICW.

 

Selain karena nilai nominalnya tinggi, pungutan bangunan dan buku dilakukan secara reguler misalnya per semester. Jakarta tentu saja menempati ranking pertama besarnya pungutan yang dibebankan kepada orang tua siswa, disusul Solo dan Garut. Di Jakarta, biaya bangunan yang dipungut dari orang tua siswa rata-rata mencapai Rp137.579,-

 

Ade mengecam praktek pungutan semacam itu. Bukan saja karena sangat memberatkan orang tua, tetapi juga bertentangan dengan konsepsi pendidikan dasar yang tercantum dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) 2003. Pasal 34 ayat (1) tegas menyatakan setiap warga negara yang berusia enam tahun dapat mengikuti program wajib belajar. Ayat (2) menegaskan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Dengan dasar itu, sebenarnya praktek pungutan dalam pendidikan dasar tidak dapat dibenarkan, tandas Ade Irawan.

 

Hal yang mengenaskan, banyak pungutan itu yang tidak terkait dengan peningkatan kegiatan belajar mengajar. Bahkan berdasarkan temuan survei ICW, ada uang koordinasi dari sekolah ke Dinas Pendidikan. Praktek pungutan itu melibatkan empat lapisan mulai dari guru, kepala sekolah, dinas pendidikan daerah dan Depdiknas.

Halaman Selanjutnya:
Tags: