Akhirnya Puteh Divonis 10 Tahun Penjara
Utama

Akhirnya Puteh Divonis 10 Tahun Penjara

Kuasa hukum walk out sebelum putusan dibacakan.

Gie
Bacaan 2 Menit
Akhirnya Puteh Divonis 10 Tahun Penjara
Hukumonline
Majelis pengadilan korupsi akhirnya menjatuhkan putusan perdana (11/4). Pada perkara korupsi dengan terdakwa Gubernur non aktif Nanggroe Aceh Darusallam (NAD), Abdullah Puteh, majelis yang diketuai Kresna Menon menjatuhi vonis pidana penjara selama 10 tahun. Vonis ini lebih berat dua tahun dibandingkan tuntutan Penuntut Umum KPK.

Terlebih lagi, proses pembelian helikopter MI-2 dilakukan tanpa melalui proses tender, dimana PPM ternyata terbukti bukan satu-satunya pemasok helikopter.

Adanya penunjukan langsung yang dilakukan Puteh juga dinilai melanggar Pasal 12 (c) Keppres 18/2000. Sebab, penunjukkan langsung hanya dapat dilakukan untuk pengadaan barang yang harganya tidak lebih dari Rp50 juta. Itupun harus dibeli dari usaha kecil maupun koperasi. Padahal, PPM tidak termasuk dalam kategori usaha kecil ataupun koperasi.

Memperkaya diri sendiri

Penunjukkan PPM yang tanpa tender oleh Puteh juga menyalahi prosedur Pasal 11 (3) Keppres 18/2000. Dalam ketentuan Keppres tersebut secara tegas dikatakan bahwa penunjukan langsung oleh gubernur tidak memerlukan persetujuan dari Menteri dalam Negeri. Sedangkan untuk pengadaan helikopter senilai Rp12 miliar yang dananya bersumber dari APBD, maka seharusnya mendapat persetujuan Mendagri.

Majelis hakim juga mempersoalkan alur keluar masuknya uang dari kas daerah ke rekening pribadi Puteh di Bank Bukopin Jakarta. Di mata majelis hal itu melanggar PP No.105/2000. Puteh dinilai tidak transparan, dan pembayaran seharusnya dilakukan langsung dan bukan memakai rekening pribadinya. Pembayaran yang menggunakan dana sharing dari 13 kabupaten di NAD  juga dinilai majelis sebagai hal yang tidak dapat dibenarkan.

Dari alur keluar masuknya dana, majelis meyakini Puteh terbukti telah melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri. Fakta yang terungkap di persidangan, Puteh telah memperkaya diri sendiri sebesar Rp7,750 miliar dari jumlah yang telah ditransfer ke rekening pribadinya. Jumlah tersebut dikurangi yang telah dibayarkannya ke PPM, sehingga menjadi 3,6 miliar. PPM sebagai korporasi juga diperkaya dan diuntungkan sebesar Rp3,687 miliar.

Untuk itu, selain dihukum selama 10 tahun, Puteh juga diharuskan untuk membayar denda sebesar Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan dan uang pengganti sebesar Rp3,687 miliar subsider satu tahun, yang harus dibayarkan selambat-lambatnya satu bulan setelah putusan tersebut berkekuatan hukum tetap.

Majelis juga menegaskan, walaupun Puteh telah mengembalikan sejumlah uang ke kas daerah pada tahun 2004 lalu, namun hal tersebut tidak menghapus unsur pidananya.

Pada bagian lain pertimbangannya, majelis sependapat dengan penuntut umum yang menilai bahwa pembelian helikopter MI-2 bukanlah dilakukan dalam kategori keadaan darurat sebagaimana tercantum dalam UU No.25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.

Menurut majelis keadaaan darurat yang memaksa adalah keadaan seperti bencana alam yang pembiayaannya harus dilakukan saat itu juga. Keadaan darurat tersebut juga harus dikeluarkan oleh pemerintah bukan seorang gubernur.

Perbuatan pria yang saat ini juga akan diperiksa akibat penyalahgunaan dana bantuan hukum provinsi NAD dianggap bukan merupakan diskresi. Apalagi, DPRD NAD tidak langsung menyetujui pembelian helikopter yang dianggap mendesak.

Perlu disampaikan pula, dalam putusan ini ini diwarnai dissenting opinion oleh dua orang hakim, yaitu ketua majelis Kresna Menon dan Gusrizal selaku anggota. Keduanya tidak setuju dengan penerapan asas retroaktif yang dilakukan oleh KPK untuk menyidik perkara korupsi.

Puteh sendiri absen saat putusan dibacakan karena sakit. Absennya Puteh tidak menyebabkan majelis menunda kembali pembacaan putusan yang sebenarnya telah tertunda sejak pekan lalu. Dengan berpegangan pada Pasal 18 UU No.4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, majelis  menyebutkan bahwa hakim dapat membacakan putusan tanpa kehadiran terdakwa. Hal tersebut juga disetujui pihak penuntut umum dengan alasan ada keterbatasan waktu dalam perkara korupsi yaitu 90 hari.

Namun, kuasa hukum Puteh tidak sependapat dengan sikap majelis tetap ngotot membacakan putusan. Juan Felix Tampubolon, salah satu kuasa hukum Puteh, menilai pembacaan putusan tersebut tidak sah tanpa dihadiri kliennya. Untuk itu ia dan timnya lantas memilih meninggalkan ruang sidang sebelum putusan mulai dibacakan.

Dalam putusannya, majelis menyatakan bahwa Puteh telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan melanggar Pasal 2 ayat 1 jo Pasal 18 ayat 1 huruf a,b,c Undang-undang No.31 Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 jo Pasal 64 KUHP.

Majelis mengemukakan bahwa seluruh unsur dalam tindak pidana korupsi terbukti. Untuk unsur melawan hukum, Puteh terbukti melakukan korupsi karena ia secara pribadi telah menyerahkan uang sejumlah Rp750 juta kepada PT Putra Pobiagan Mandiri (PPM) sebagai uang ‘tanda jadi' meski belum ada surat ataupun perjanjian pembelian.

Tindakan ini telah melanggar ketentuan dalam Keputusan Presiden No.18 Tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah, dimana dalam ketentuan tersebut disebutkan tentang larangan mengadakan pembayaran sebelum ada perjanjian yang pasti.

Tags: