James F Sundah: Selama Karyanya Dipakai, Pencipta Lagu Bisa Menggugat
Terbaru

James F Sundah: Selama Karyanya Dipakai, Pencipta Lagu Bisa Menggugat

Peringatan Hari Musik pada 9 Maret lalu tidak segambar gembor tahun-tahun sebelumnya. Nyaris tidak ada acara gebyar musik dari para musisi dan seniman tarik suara.

NNC
Bacaan 2 Menit
James F Sundah: Selama Karyanya Dipakai, Pencipta Lagu Bisa Menggugat
Hukumonline

 

Untuk itulah beberapa waktu lalu hukumonline mewawancarai James F. Sundah, salah seorang tokoh musisi Indonesia. Pencipta lagu ‘Lilin-Lilin Kecil' ini termasuk yang rajin mengamati kasus Labels vs YKCI. Maklum, ia juga menjadi narasumber dalam revisi UU Hak Cipta yang tengah digodok Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Ia berbicara tentang performing right dan mechanical right dalam penciptaan lagu, termasuk nada sambung pribadi yang kini lagi ngetrend.

 

Berikut petikannya:

 

Bisa diterangkan beda performing dan mechanical right dalam karya cipta lagu atau musik?

Bentuk eksploitasi ekonomi hak cipta pada musik awalnya cuma ada dua cara:  dipertunjukkan lewat suara dan ditulis. Dua-duanya punya nilai ekonomi. Lalu ada teknologi perbanyakan, lewat piringan hitam untuk suara, terus tulisan dengan mesin cetak. Karena itu, timbulah mechanical right dan printed right. Ini hak perbanyakan.

 

Nah, hak ekonomi itu kan muncul setelah ada eksploitasi. Kalau dinyanyikan sendiri, tidak meraup keuntungan komersial. Dari situ cuma hak moral saja yang melekat. Selama dari situ bisa menghasilkan uang, maka terjadilah hak-hak ekonomi. Dari nilai ekonomi itulah kemudian dibagi-bagi berdasarkan bentuk eksploitasinya. Ada performing right yakni ketika sebuah lagu ditampilkan atau dipertunjukkan, disiarkan, dipancarkan. Itu kalau lagu. Pakai cara apa lagi kan belum ada sekarang ini. Diterjemahkan juga tidak bisa. Buat karya sastra, lain lagi. Awalnya performing right ini dipertunjukkan, secara live. Kemudian ada perkembangan yang memungkinkan musik dibuat dalam catatan notasi. Itu ‘kan tanpa dimainkan. Kalau kemudian notasi itu dijual, terjadi nilai ekonomi dari situ karena ada perbanyakan.

 

Jadi, majalah musik yang sering mencantumkan notasi dan kunci melodi itu juga harusnya masuk printed right?

Itu harusnya ada. Selama itu diambil manfaat ekonominya, ada hak pencipta di situ.

 

Apakah pembayaran performing right ini sudah berjalan di Indonesia, misalnya ketika ada pertunjukan musik?

Saya mencontohkan saja. Dulu ada konser musik Phil Perry di Indonesia. Sebelum ia main, ada pemain band yang membawakan lagu Perry. Dia bilang ke saya, Wow… I'll got the big money!. Wah, saya bilang, belum tentu itu. Di negaramu itu mungkin. Di Indonesia ini jangan harap. Di  Belanda misalnya, lagu aku diputar di sana, kan nanti ada BUMA di Belanda sana yang menarik royalti atas pertunjukan itu. BUMA telah diberikan kuasa oleh YKCI dan saya memberikan kuasa ke YKCI untuk mengoleksi performing right saya tersebut. Begitu juga sebaliknya, jika ada lagu pencipta di Belanda yang dimainkan di sini, sepanjang itu sudah memberikan kuasa ke BUMA, maka akan diteruskan kuasanya ke YKCI. YKCI-lah yang bertugas mengkoleksi ke pertunjukan-pertunjukan itu. Ada 118 negara di bawah konfederasi internasional masyarakat pencipta dan pengarang (CISAC) yang membuat perjanjian kuasa untuk menagih di negara masing-masing.

 

Lalu kalau Ring Back Tones (RBT) itu masuk mechanical atau performing right?

Kalau sebuah lagu direkam produser kan nggak mungkin cuma didiamkan, pasti diperbanyak. Perbanyakan ini bentuknya mechanical. Dari satu master ke piringan hitam, trus ke kaset atau CD (compact disk). Perbanyakan semacam itu untuk saat ini pasti mechanical. Karena nggak mungkin dari satu benda, master rekaman, menjadi beratus-ratus, berjuta-juta kalau bukan proses mekanis. Printed right juga begitu, pasti masuknya mechanical.

 

Tahu-tahu muncul teknologi baru. Nyanyi nggak cuma di satu tempat saja bisa dinikmati audiens. Misalnya, disiarkan di radio, berarti didengar di kota lain. Ada nilai ekonomi di sini. Ada iklan yang membayar acara itu. Jadi kalau broadcast itu masuknya performing right. Nah kalau mechanical right, dari rekaman master bentuk plat, jadi ke kaset. Lalu muncullah evolusi internet. Ini memunculkan kebingungan. Apakah ini mechanical atau performing. Penyiaran atau penggandaan.

 

RBT termasuk salah satu kebingungan orang menentukan kategori performing atau mechanical?

Itu kemudian jadi ribut. Secara teknologi kedua pendapat sama kuatnya. Ada yang mengatakan, gimana nggak perbanyakan, wong dari satu master dikopi ke master-master berikutnya lalu diupload. Nah, kalau sudah ngomong upload, itu sudah sama dengan peristiwa transmisi atau pemancaran. Masuk di situ broadcast, sehingga performing jadinya kan. Dua-duanya kan ada. Dalam kebingungan itulah kami di PAPRI melakukan riset. Hasilnya, ada hak-hak ekonomi muncul di situ, karena ada orang tersedot pulsa. Di seluruh dunia prakteknya sama.

 

Dalam penelitian kami, Ring Back Tone itu sama seperti radio. Yang dengar kan bukan yang bayar. RBT kan yang dengar orang yang menelepon bukan? Seolah kita membayari orang lain untuk mendengar lagu yang kemungkinan si pendengar tidak suka. Persis seperti radio. Belum tentu semua yang dengarin radio suka dengan lagu yang diputar.

 

Nah, ini bedanya. Kalau mechanical, pendengar lagu bisa memilih  yang ia sukai. Itu ciri-ciri mechanical Kalau RBT, apa orang yang nelepon pasti suka dengan lagu itu?  Misal lagi, kalau ada gangguan operator, gangguan sinyal, BTS rusak kena petir, apa RBT ini masih tetap bisa didengar? Enggak bisa dengar kan? Jadi ada hal sama dengan radio. Satu sumber mati, massa yang banyak nggak bisa apa-apa. Ini beda dengan mechanical. Mau mati lampu, mau kesambar petir, tentu penjual  kaset masih bisa jual, konsumen masih bisa beli.

 

Kalau model request lagu, atau pengunjung situs mengunduh lagu kesukaan? Bukankah pendengar bisa memilih?

Ya di situ memang ada dua jadinya. Bisa masuk mechanical, bisa masuk performing.

 

Dua hak itu, performing dan mechanical, apakah dua hak yang terpisah?

Iya jelas dong. Kalau produser rekaman itu biasanya hanya mengambil hak mechanicalnya saja. Bentuk ekploitasi itu kan sangat spesifik.

 

Lalu bagaimana menentukan performing atau mechanical kalau tiap kali ada teknologi baru?

Nah UU Hak Cipta sudah mensiasati. Di UU Hak Cipta itu, sudah menjangkau tentang RBT dan internet download.  Gampang kok membedakan mechanical atau performing untuk musik. Awalnya dulu kan masa era industri, ada perbanyakan master rekaman, itu dilakukan dengan mesin mekanik. Itu zaman analog. Lalu tahun 90 ke atas, ada perkembangan teknologi digital.

Nah dalam UU Hak Cipta itu bisa dilihat pada pasal 25.

 

(Pasal 25 UU Hak Cipta menyebutkan informasi elektronik tentang informasi manajemen hak Pencipta tidak boleh ditiadakan atau diubah. Ketentuan lebih lanjut masalah ini diatur dengan Peraturan Pemerintah –red.).

 

Itu sebenarnya bukan poin dari hak moral. Tapi dulu pas perumusan, kami selipkan di situ. Ini sebenarnya untuk mengantisipasi ke depan. Pasal itu adalah adaptasi dari DRM (digital right management). Ini mewakili hak pencipta, bukan hak cipta ya. Pasal ini sebenarnya untuk mengantisipasi adanya perbanyakan karya secara ilegal. DRM itu semacam enkripsi, yang jika mau menggandakan atau mengubah, harus melakukan decoding enkripsi.

 

Dalam DRM itu terhimpun sejumlah informasi, antara lain tentang nama pencipta, sampai kapan hak cipta dipegang pencipta, misal pencipta sudah mati. Semua informasi itu terkode dalam data digital yang dimiliki oleh pencipta. Jika mengubah kode atau merusak itu, bisa dipidana. Ini untuk mengatasi kebingungan polisi ketika ada pembajakan. Dari mulai software, CD musik, MP3, bahkan gambar digital. Bahkan sekarang ini, karya instalasi bisa dibikin digital, bau parfum pun bisa dibuat enkripsi digitalnya. Bagaimana membuktikannya? Kalau ada DRM, sampai saat ini hal itu sudah bukan masalah lagi.

 

Kalau terjadi perkembangan teknologi yang membuat DRM tak berkutik lagi?

Makanya, setiap ada perkembangan teknologi, ketika dari teknologi baru itu menghasilkan keuntungan atau hak ekonomi, itu harus diperdebatkan. Selama karya pencipta dipakai, pencipta bisa menggugat. Setidaknya menanyakan hak yang melekat padanya. Bagian Anda  berapa, dan bagian saya berapa.

Yang terdengar adalah ungkapan keprihatinan dari Asosiasi Pencipta Lagu dan Rekaman Indonesia tentang masih maraknya pembajakan. Termasuk lagu-lagu yang dinyanyikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pemerintah didesak agar terus melakukan pencegahan pembajakan.

 

Meskipun tidak ada acara gebyar-gebyar di Hari Musik, ada satu kasus penting yang sedang menyedot perhatian para musisi, pemerhati industri musik, dan pakar hukum hak kekayaan intelektual. Kasus apalagi kalau bukan persidangan gugatan perusahaan rekaman (labels) melawan Yayasan Karya Cipta Indonesia (YKCI).

 

Seyogianya, putusan atas perkara ini sudah diketok majelis hakim PN Jakarta Selatan sepekan setelah Hari Musik diperingati. Namun, masih ditunda lantaran anggota majelis sedang mengikuti pendidikan. Apapun kelak putusan majelis hakim, kasus ini semakin merajut tali temali hak kekayaan intelektual khususnya hak cipta di industri musik. Tentu, sangat menarik mendapatkan pandangan dari orang dalam, yaitu musisi itu sendiri.

Halaman Selanjutnya:
Tags: