Dentuman Keras Buat YKCI
Labels vs YKCI:

Dentuman Keras Buat YKCI

Hakim menganggap pemungutan royalti atas penggunaan lagu dalam NSP merupakan hak terkait yang melekat pada Labels melalui perjanjian kerjasama dengan pencipta.

Oleh:
NNC
Bacaan 2 Menit
Dentuman Keras Buat YKCI
Hukumonline

 

Majelis berpendapat, sesuai ketentuan Undang-Undang No 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, pasca penandatanganan perjanjian kerjasama dengan pencipta, Labels telah mengantongi hak eksklusif atas master rekaman  suara. Hak eksklusif atas master rekaman, menurut Majelis merupakan hak terkait yang timbul dari adanya sebuah perjanjian. Dari situlah Labels berhak menagih pembayaran royalti atas dipakainya sebuah lagu yang merupakan turunan dari master rekaman.

 

Tuntutan ganti rugi senilai Rp 100 miliar tidak dikabulkan lantaran tidak terperinci dengan jelas. Majelis hanya mengabulkan tuntutan sebesar Rp84,8 juta. Biaya itu terinci sebagai ongkos yang harus dikeluarkan Labels untuk mengumumkan somasi terhadap YKCI di berbagai media massa sebelum perkara masuk ke meja hijau.

 

Dengan putusan ini, Majelis telah mengartikan penurunan lagu dari master rekaman menjadi NSP termasuk dalam kegiatan menggandakan alias memperbanyak (mechanical) dan menyewakan. Dua kegiatan yang menurut UU Hak Cipta memang menjadi hak eksklusif pemegang hak terkait dari sebuah karya cipta.

 

Benny termasuk orang yang merasa sangat kecewa dengan putusan majelis pimpinan Sulthoni.  Pentolan grup musik Panbers yang cukup kondang pada era 70-an itu sejak permulaan sidang sudah merasa gondok dengan putusan majelis menolak intervensi pencipta yang hendak nimbrung dalam perkara itu. Kalau mau kuasai hak-hak kami semuanya (ekonomis, red), kenapa tidak sekalian saja ambil raga kami, jiwa kami. Hisap semua dari kami, tidak usah disisakan sekalian. Ini pelanggaran HAM, ucap Benny.

 

Salah satu anggota Tim Kuasa hukum YKCI, Guntur Fatahillah dari Kantor Hukum Mahendradatta menyatakan hendak melakukan banding. Ia menganggap pertimbangan hakim tidak meninjau lebih jauh apakah NSP yang diperselisihkan itu masuk pada hak menggandakan atau hak mengumumkan. Padahal pada sidang sebelumnya, YKCI telah menghadirkan ahli yang menjelaskan tentang batasan hak eksklusif bagi pemegang hak terkait. Pendapat Pak Insan (Budi Maulana, red) sama sekali tidak dipertimbangkan, ujar Guntur. Insan adalah pakar HAKI yang dihadirkan YKCI dari Universitas Krisnadwipayana.

 

Sebaliknya, Majelis justru segendang sepenarian dengan pandangan ahli yang dihadirkan Labels, Prof Hendra Tanoe Atmadja. Penyusun Disertasi berjudul Perlindungan Hukum Hak Cipta atas Lagu di Indonesia (UI tahun 2003) itu mengatakan,  hak eksklusif  yang melekat pada Labels atas master rekaman suara ibarat hak milik, bisa diperlakukan semaunya. Setelah proses perekaman sebuah lagu selesai dibikin, maka hak ekonomis yang bisa diambil dari hasil rekaman itu sepenuhnya menjadi milik Labels untuk waktu yang tak terbatas. Terlebih jika telah diperjanjikan hak cipta tersebut dialihkan pada perusahaan Labels termasuk dalam hak mengumumkan karya ciptaan (lagu).

 

Sumedi—Kuasa Hukum Labels— mengatakan, putusan majelis sudah sangat memperhatikan ketentuan yang ada dalam UU Hak Cipta. Menurutnya, sepanjang hak ekonomis timbul dari penurunan lagu atas master  rekaman suara, maka hal itu akan menjadi hak eksklusif perusahaan rekaman, sehingga KCI tidak berwenang menagih royalti atas penggunaan NSP.

 

Hakim wajar saja tidak mempertimbangkan pendapat ahli dari tergugat,  mungkin karena mereka tidak sependapat dengan ahli, ujarnya. Pertimbangan hakim, lanjutnya, sepenuhnya sudah berpijak pada Pasal 1 Ayat (9) dan Pasal 2 Ayat (1). Sumedi menganggap perdebatan dalil Labels dengan YKCI telah masuk pada perbedaan visi. Yang kita bicarakan itu Hak Terkait, yang mereka bicarakan itu  hak atas karya cipta lagu, ujarnya.

 

Mengenai kontrak yang dijadikan dasar Majelis untuk menyatakan KCI tidak berwenang menarik royalti bisa jadi benar terjadi dalam praktek. Sebuah perjanjian kerjasama rekaman suara antara Musica Studio dengan Nazril Irham alias Ariel Peterpan Cs yang didapat hukumonline, menunjukkan bahwa pengalihan hak, baik itu hak memperbanyak hingga untuk mengumumkan terkadang dijadikan satu dalam perjanjian.

 

Contohnya ada klausul yang menyatakan: Pihak Pertama (Labels) memperoleh izin untuk menggandakan ciptaan tersebut secara mekanis (Mechanical Rights), menjadi suatu karya rekam atau mengumumkan dalam arti mempublikasikan ciptaan tersebut (Performing Rights), serta menggandakan untuk Karya Audio Visual (Syncronization Rights).

 

Menurut Sumedi, sepanjang sebuah produk diperdengarkan lewat cara apapun dari master rekaman suara, sudah barang tentu menjadi hak eksklusif pemilik rekaman suara. Musik itu kan selain dipertunjukkan langsung, bisa juga diperdengarkan lewat penghantar suara. RBT itu kan didengar dari penghantaran hasil rekaman suara, bukan langsung dipertunjukkan oleh pencipta atau pihak lainnya, kata Sumedi. Jadi, kalau dipertunjukkan di acara live atau disiarkan sepanjang bukan berasal dari master rekaman, itu jelas menjadi hak pencipta.

 

Pendapat ini tidak diterima Benny. Sesuai pengalamannya, penggunaan RBT dari lagu ciptaan Gesang— pencipta lagu Bengawan Solo— di Jepang misalnya, Mereka membayar ke KCI, nyatanya ada Labels Gesang di sini tidak menuntut ke Jepang, ujarnya. Atau lagu saya dipakai di luar negeri, mereka bayar ke saya. Kok Labels nggak pernah nuntut ke mereka? Padahal lagu saya juga terikat dengan Labels di sini.

 

Walhasil, putusan PN Jakarta Selatan ini tampaknya belum mengahiri perseteruan kedua belah pihak. Ini belum berakhir. Masih ada banding ke pengadilan yang lebih tinggi, sampai ke MA. Dan yang paling tinggi yang bisa memahami dan mengerti nasib kami untuk mendapat keadilan di  masa mendatang adalah MA, Mahkamah Allah,  ucap Benny lirih, mewakili jeritan pencipta lainnya.

 

Yang mulia Pak Hakim, untuk Anda tahu saja, dengan menjatuhkan putusan seperti ini, semakin terpuruklah nasib kami-kami pencipta lagu ini, ujar Benny Pandjaitan pada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Benny adalah anggota Badan Pengurus Yayasan Karya Cipta Indonesia (YKCI) yang dalam perkara ini menjadi tergugat.

 

Setelah perjalanan cukup panjang, YKCI akhirnya harus menerima kekalahan melawan panasnya industri nada sambung pribadi (NSP). Dalam sidang yang berlangsung Rabu (19/3), Majelis Hakim PN Jaksel yang diketuai Sulthoni akhirnya mengabulkan tuntutan sepuluh  perusahaan rekaman (Labels).

 

Majelis menilai YKCI telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan menarik royalti pada operator dalam bisnis NSP atau Ringbacktone (RBT) ke operator jaringan telepon selular. Majelis berpendapat YKCI tidak punya wewenang untuk mengkoleksi royalti hak terkait atas master rekaman yang dipegang Labels melalui perjanjian kerjasama rekaman suara.

Tags: