Marhaban Komisi Pengawas Haji Indonesia
Utama

Marhaban Komisi Pengawas Haji Indonesia

Belum ada pemisahan yang tegas antara regulator dan operator. Bank Syariah akan lebih dimanfaatkan.

Her/Ycb
Bacaan 2 Menit
<i>Marhaban</i> Komisi Pengawas Haji Indonesia
Hukumonline

 

Pasal 12 ayat (4) menyatakan, KPHI memiliki empat fungsi. Di antaranya adalah memantau dan menganalisis kebijakan operasional penyelenggaraan haji serta menganalisis hasil pengawasan yang dilakukan masyarakat. Selain itu, KPHI menerima masukan dari masyarakat dan merumuskan saran penyempurnaan kebijakan operasional penyelenggaraan haji.

 

KPIH merupakan lembaga yang mandiri dan bertanggung jawab kepada Presiden. Komisi ini beranggotakan sembilan orang. Enam di antaranya dari unsur masyarakat dan tiga berasal dari unsur pemerintah. Anggota dari masyarakat terdiri atas unsur Majelis Ulama Indonesia (MUI), ormas Islam, dan tokoh masyarakat Islam. Sedangkan anggota dari pemerintah berasal dari departemen atau instansi yang berkaitan dengan penyelenggaraan haji.

 

Di pasal 15 disebutkan, masa kerja anggota KPHI adalah tiga tahun dan dapat dipilih lagi untuk satu kali masa jabatan. Anggota KPHI diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas atas usul Menteri setelah mendapat pertimbangan DPR, demikian bunyi pasal 16. Seluruh biaya operasional KPHI berasal dari APBN. Berdasarkan Pasal 65, KPHI harus dibentuk paling lambat satu tahun sejak UU ini disahkan. Dan, pemerintah bakal menjalankan tugas dan fungsi KPHI sampai terbentuknya KPHI.

 

Menag mengatakan, dibentuknya KPHI akan lebih menyempurnakan dan memberikan jaminan terhadap tuntutan profesionalitas dan akuntabilitas penyelenggaraan ibadah haji. Bahkan ia optimis KPHI dapat meningkatkan kualitas pelaksanaan ibadah haji sehingga masyarakat meraih haji mabrur.

 

Perbandingan UU Haji

 

UU lama

UU baru

Definisi Ibadah Haji

Ibadah haji adalah rukun Islam kelima yang merupakan kewajiban bagi setiap orang Islam yang mampu menunaikannya. (Pasal 1 ayat 3)

Mirip, tetapi ada penegasan bahwa ibadah haji merupakan kewajiban sekali seumur hidup. (Pasal 1 ayat 1)

Asas dan tujuan

Penyelenggaraan ibadah haji berdasarkan asas keadilan memperoleh kesempatan, perlindungan dan kepastian hukum sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. (Pasal 4)

Penyelenggaraan ibadah haji dilaksanakan berdasarkan asas keadilan, profesionalitas dan akuntabilitas dengan prinsip nirlaba. (Pasal 2)

Hak dan Kewajiban Masyarakat

Hanya disebutkan bahwa setiap warga negara yang beragama Islam mempunyai hak untuk menunaikan ibadah haji. (Pasal 2).

Diatur lebih rinci. Misalnya syarat menunaikan haji harus berusia paling rendah 18 tahun atau sudah menikah. (Pasal 4)

Komisi Pengawas Haji Indonesia

Tidak ada

Dijelaskan panjang lebar di Pasal 12 hingga Pasal 20.

Penyetoran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH)

BPIH disetor ke rekening Menag melalui bank-bank pemerintah dan/atau bank swasta yang ditunjuk oleh Menag setelah mendapat pertimbangan Gubernur BI. (Pasal 10 ayat 1)

BPIH tetap disetor ke rekening Menag, tetapi melalui bank syariah dan/atau bank umum nasional. (Pasal 22)

Pengelolaan BPIH

Tidak diatur

BPIH dikelola Menag dengan mempertimbangkan nilai manfaat, yaitu digunakan langsung untuk membiayai belanja operasional penyelenggaraan haji. (Pasal 23)

Laporan keuangan penyelenggaraan haji

Tidak diatur

Laporan itu disampaikan kepada Presiden dan DPR paling lambat tiga bulan setelah penyelenggaraan ibadah haji selesai. (Pasal 25)

Pengelolaan Dana Abadi Umat (DAU)

Hanya diatur secara singkat. Tidak ada keterangan siapa yang berhak menjadi Dewan Pengawas dan Dewan Pelaksana. (Pasal 11)

Diatur panjang lebar dalam bab tersendiri yaitu bab XIV. Selain soal Dewan Pengawas dan Dewan Pelaksana, poin penting lainnya adalah pengembangan DAU melalui usaha produktif dan investasi yang sesuai dengan syariah. (Pasal 47 sampai Pasal 62)

Dari berbagai sumber (diolah)

 

Bank Syariah

Selain KPHI, ada beberapa hal baru yang diatur di UU Haji. Yang paling mencolok tentu saja adalah dimanfaatkannya bank syariah untuk menyetor biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH). Hal ini diatur di Pasal 22.

 

Memang bank umum tidak dipinggirkan karena masyarakat masih bisa memakai jasanya untuk menyetor BPIH, tetapi ada peraturan yang limitatif. Penjelasan Pasal 22 ayat (1) berbunyi: Bank umum nasional yang dapat ditunjuk menjadi bank peneriman setoran BPIH adalah bank umum yang memiliki layanan yang bersifat nasional dan memiliki layanan syariah.

 

UU Haji ini juga mengatur pengelolaan Dana Abadi Umat (DAU) dengan lebih gamblang. Bukan rahasia umum, pengelolaan DAU masih belum sepenuhnya baik dan transparan. Mantan Menag Said Agiel Munawwar bahkan dibui karena tersandung kasus DAU. Karena itu bisa dimengerti bila pembuat UU ini berupaya agar DAU tidak bocor ke mana-mana.

 

Ditegaskan di UU ini bahwa pengelolaan DAU dilakukan oleh sebuah lembaga bernama Badan Pengelola DAU (BPAU). Menurut Pasal 47, Badan ini terdiri dari Ketua (Menag), Dewan Pengawas dan Dewan Pelaksana. Salah satu fungsi BPAU, sesuai Pasal 48, adalah menghimpun dan mengembangkan DAU sesuai dengan syariah dan ketentuan perundang-undangan.

 

Selain Menag, BPAU terdiri dari 16 orang. Sembilan orang menjadi Dewan Pengawas dan sisanya menjadi Dewan Pelaksana. Sembilan anggota Dewan Pengawas terdiri dari enam dari unsur masyarakat dan tiga dari unsur pemerintah. Sedangkan tujuh anggota Dewan Pelaksana seluruhnya berasal dari unsur pemerintah dan ditunjuk oleh Menag. Adapun pengangkatan dan pemberhentiannya ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

 

Saat ini, menurut Menag, DAU yang tersimpan berjumlah Rp1,4 Triliun. DAU itu untuk kegiatan pendidikan, dakwah, sosial keagamaan, ujarnya.

 

Beda definisi

Ada perbedaan yang mendasar antara UU lama dengan UU baru mengenai definisi Ibadah Haji. Menurut UU lama, ibadah haji adalah rukun Islam kelima yang merupakan kewajiban bagi setiap orang Islam yang mampu menunaikannya. Di UU baru, definisi itu berubah: Ibadah Haji adalah rukun Islam kelima yang merupakan kewajiban sekali seumur hidup bagi setiap orang Islam yang mampu menunaikannya.

 

Menurut Menag, ketentuan tersebut bukan dimaksudkan melarang umat Islam Indonesia melakukan ibadah haji yang kedua, ketiga dan seterusnya. Melainkan agar umat Islam bersedia untuk mendahulukan mereka yang belum pernah melakukan ibadah haji, tandasnya. Ibadah haji yang kedua dan seterusnya merupakan ibadah sunnah.

 

Bab II mengenai asas dan tujuan juga memiliki perbedaan yang mencolok. Di UU lama disebutkan, penyelenggaraan ibadah haji berdasarkan asas keadilan memperoleh kesempatan, perlindungan dan kepastian hukum sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Sementara itu, di UU baru dinyatakan, penyelenggaraan ibadah haji dilaksanakan berdasarkan asas keadilan, profesionalitas dan akuntabilitas dengan prinsip nirlaba.

 

Menurut Menag, prinsip nirlaba harus menjadi pedoman bagi penyelenggara haji dan umroh. Khususnya yang dilakukan oleh masyarakat agar haji dan umroh tidak digunakan sebagai bisnis semata, lahan untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya, tandasnya.

 

Perbedaan lainnya ialah mengenai hak dan kewajiban masyarakat. Pasal 2 UU Haji yang lama hanya mengatakan, setiap warga negara yang beragama Islam mempunyai hak untuk menunaikan ibadah haji. Di UU baru, hal itu diatur lebih jelas lagi. Disebutkan di Pasal 4, setiap warga negara yang beragama Islam berhak menunaikan ibadah haji dengan syarat berusia lebih dari 18 tahun atau sudah menikah. Syarat lainnya adalah mampu membayar biaya perjalanan ibadah haji.

 

Mengenai sanksi pidana, materi kedua UU ini nyaris sama. Tidak ada penambahan pasal. Juga tidak ada pemberantan sanksi pidana. Sebagai contoh, setiap orang yang tanpa hak menerima pembayaran BPIH akan dipidana penjara paling lama empat tahun dan/atau denda paling banyak Rp500 juta.

 

Disarankan ada pemisahan

Di antara fraksi-fraksi di DPR, hanya fraksi PAN yang memberikan catatan kritis terhadap UU Haji. Melalui AM Fatwa, fraksi PAN menghendaki adanya pemisahan yang jelas antara pengambil kebijakan, pelaksana dan pengawas. Sejak awal pembahasan RUU ini kami selalu menekankan agar ada kebijakan pemisahan antara regulator dengan operator, kata Fatwa.

 

Pemisahan ini dimaksudkan agar tidak terjadi tumpang tindih. Fraksi PAN menilai, operator ibadah haji lebih tepat dilaksanakan oleh badan khusus yang berada di luar Depag, namun maih dalam kendali pemerintah. Mungkin dalam bentuk Lembaga Pemerintah Non Departemen seperti kedudukan BPPT (Padan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) dengan Menristek sebagai ketuanya, ungkap Fatwa.

 

Meski berpandangan demikian, fraksi PAN tetap menyetujui RUU ini disahkan menjadi UU. Harapan fraksi ini adalah KPHI diisi oleh para profesional yang bukan birokrat agar sanggup bekerja dengan baik. Harapan serupa juga disampaikan fraksi-fraksi yang lain.

 

Banyak Permen

UU Haji yang lama (UU No 17 Tahun 1999) disahkan pada 3 Mei 1999 oleh Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie. UU ini menggantikan Ordonansi Haji atau Pelgrims Ordonantie Staatsblad Tahun 1922 No. 698. UU ini hanya terdiri dari 16 bab dengan 30 pasal.

 

UU Haji yang baru terdiri dari 17 bab dengan 69 pasal. Meski jumlah pasal kedua UU itu berbeda jauh, namun ada satu kesamaan: banyak hal yang perlu diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah maupun Keputusan Menteri. Di dalam Bab Ketentuan Penutup disebutkan, semua peraturan yang diperlukan untuk melaksanakan UU ini harus diselesaikan paling lambat enam bulan sejak UU ini diundangkan.

 

Di samping itu, saat UU ini mulai diberlakukan, UU No. 17 Tahun 1999 akan dicabut. Namun peraturan pelaksana UU No. 17 Tahun 1999 dinyatakan masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan UU Haji yang baru.

 

Tidak ada yang mengumandangkan shalawat badar di lantai tiga Gedung Nusantara dua DPR, Selasa (1/4), ketika Menteri Agama Maftuh Basyuni menyatakan persetujuan atas pengesahan Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji menjadi Undang-Undang. Jelas, sebagai regulator sekaligus operator, Depag meraih kemenangan sore itu. Bisa jadi, shalawat badar alias puja-puji kemenangan tak terdengar lantaran Depag tidak meraih kemenangan secara mutlak.

 

Dalam UU Haji yang menggantikan UU No. 17 Tahun 1999 ini wewenang Depag memang masih tetap besar. Namun departemen yang bertetangga dengan masjid Istiqlal ini tidak bisa lagi bertindak sembrono dalam menyelenggarakan ibadah haji. Tak lain karena UU ini melahirkan sebuah lembaga baru yang siap menyorot kinerja Depag, yaitu Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI).

 

Di samping untuk pengawasan, KPHI juga penting untuk menyempurnakan penyelenggaraan ibadah haji, kata Machfudhoh Aly Ubaid, membacakan pandangan akhir Fraksi PPP dalam Rapat Paripurna DPR. Fraksi PPP beralasan, ibadah haji adalah lahan basah yang kerap dijadikan 'proyek' oleh pihak-pihak tertentu. Mulai dari tahap pendaftaran hingga pemberangkatan ke Tanah Suci, ujar Machfudhoh.

 

KPHI memang digadang-gadang menjadi lembaga yang mampu membasmi penyelewengan penyelenggara ibadah haji. Di UU Haji yang baru, keberadaan Komisi ini diatur cukup rinci di Pasal 12 hingga Pasal 20.

Halaman Selanjutnya:
Tags: