"Bangkit dari Kubur" Karena Dimohonkan Pailit
Utama

"Bangkit dari Kubur" Karena Dimohonkan Pailit

Seorang kreditur mengajukan permohonan pailit terhadap seorang pengusaha. Padahal si pengusaha sudah meninggal dunia pada dua tahun silam. Terganjal pasal 210 UU Kepailitan?

Oleh:
IHW
Bacaan 2 Menit
Hukumonline

 

Pihak keluarga William jelas terperanjat saat menerima relaas panggilan sidang dari juru sita Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Mereka heran mengapa setelah lebih dari dua tahun kematian William, masih ada pihak yang melakukan penuntutan secara hukum. Mereka lantas menunjuk kantor hukum Worotijan, Sihombing & Partners sebagai kuasa hukum untuk meladeni Michael di persidangan.

 

Rudy Sihombing, salah satu kuasa hukum ahli waris William, kepada hukumonline menyatakan permohonan pailit yang disampaikan Michael Kong adalah tindakan hukum yang keliru. Karena mereka berusaha memailitkan orang yang sudah meninggal, Rudy berujar sambil menyebutkan Surat Kematian Nomor 01/AK/2006 yang dibuat Dinas Kependudukan Kabupaten Pasir, Kalimantan Timur.

 

Pasal 210 UU Kepailitan?

Lebih jauh Rudy menyitir ketentuan Pasal 210 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU (UU Kepailitan). Berdasarkan pasal itu, permohonan pernyataan pailit harus diajukan kepada Pengadilan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari setelah debitor meninggal, jelas Rudy. Artinya, masih menurut Rudy, permohonan Michael telah melewati batas waktu yang ditentukan.

 

Pendapat Rudy diamini Ricardo Simanjuntak. Praktisi Hukum Kepailitan ini menyatakan ketentuan Pasal 210 UU Kepailitan itu secara formal membatasi pembahasan mengenai Kepailitan Harta Peninggalan. Pasal 210 itu sifatnya imperatif, kata Ricardo melalui telepon.

 

Dalam konteks perkara ini, Ricardo berpendapat, kemungkinan besar permohonan pailit yang diajukan Michael akan terganjal aturan Pasal 210 UU Kepailitan itu. Walaupun kreditur bisa saja berdalih bahwa batas waktu 90 hari itu mulai dihitung sejak kreditur mengetahui meninggalnya debitur. Bukan sejak kematian debitur, ungkapnya.

 

Kebetulan pernyataan Ricardo yang terakhir mirip dengan tanggapan pemohon. Sebagaimana tertuang dalam berkas tanggapannya, Asrial, kuasa hukum Michael mengaku baru mengetahui kematian William ketika di persidangan. Sebelumnya sama sekali tidak diketahui.

 

Namun begitu, tampaknya Michael dan kuasa hukumnya tidak lantas percaya begitu saja dengan kematian William. Buktinya, mereka mempermasalahkan Surat Kematian itu  yang dinilai tidak memiliki kekuatan sebagai alat bukti yang otentik. Alhasil, mereka tetap berpegang teguh  dan tidak berniat untuk mencabut permohonannya.

 

Sengketa Perdata

Lebih lanjut Ricardo menuturkan, Michael dan kuasa hukumnya tidak perlu berkecil hati jika permohonan pailitnya tidak diterima pengadilan. Ada mekanisme lain yang bisa ditempuh oleh mereka, yaitu mengajukan gugatan perdata biasa ke pengadilan negeri.

 

Pernyataan Ricardo itu terlontar dengan alasan pada prinsipnya kewajiban seseorang tidak akan hilang meski ia sudah meninggal dunia. Sama dengan haknya, kewajibannya dapat beralih ke ahli waris, tukasnya. Untuk merebut hak dari ahli waris, si kreditur harus menempuh gugatan perdata biasa. Itu ketika jangka 90 hari setelah kematian debitur lewat ya, ingatnya.

 

Lagi-lagi pendapat Ricardo mirip dengan argumen Rudy Sihombing.  Atas permohonan pailit itu, Rudy mengajukan eksepsi kompetensi absolut yang menyatakan bahwa Pengadilan Niaga tidak berwenang mengadili perkara ini. Lebih tepat kalau ke peradilan perdata di pengadilan negeri. Karena hubungan hukum yang baru adalah antara ahli waris dengan kreditur. Bukan lagi kreditur dengan debitur yang sudah meninggal, jelasnya.

 

Namun dengan alasan pembuktian dan pemeriksaan perkara pailit dilakukan dengan sederhana dan singkat, majelis hakim yang diketuai Sugeng Riyono baru akan memutus mengenai eksepsi kompetensi absolut itu bersamaan dengan putusan akhir.

 

Kejaksaan sebagai kreditur

Untuk memenuhi syarat "adanya dua atau lebih kreditur", kuasa hukum Michael Kong di dalam berkas permohonan menggandeng Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat sebagai kreditur lain. Disebutkan bahwa William memiliki kewajiban kepada negara untuk membayar uang pengganti Rp7,5 miliar.

 

Sekadar informasi, Pada 2004, William memang pernah diputus bersalah melakukan korupsi oleh PN Jakarta Pusat. Mantan Dirut PT Sebatin ini dinyatakan telah merugikan keuangan negara lantaran kredit macetnya di Bank Mandiri. Ia akhirnya dihukum penjara satu tahun dan membayar uang pengganti sebesar Rp7,5 miliar. Saat itu, Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat mengajukan banding, meski belakangan dicabut. Kabarnya William belum melunasi uang pengganti itu.

 

Mengenai tidak dibayarkannya uang pengganti itu (sebagai alasan adanya utang yang jatuh tempo), Rudy memiliki argumen sendiri. Menurutnya Kejari tidak berhak bertindak sebagai kreditur. Pasalnya, dalam perkara pailit ini William Bong disasar sebagai pribadi, bukan Dirut PT Sebatin. Sementara William dihukum pidana dalam kapasitasnya sebagai kuasa dari PT Sebatin, tandasnya.

Judul di atas tidak bermaksud untuk menakuti Anda. Bukan pula judul acara mistik di televisi. Ini nyata, terjadi di Indonesia. Orang yang sudah meninggal bertahun-tahun seolah bisa "hidup" lagi dan malah dimohonkan pailit. Kasus ini tercatat di Pengadilan Niaga pada PN Jakarta Pusat. Permohonannya sudah mulai disidangkan.

 

Kasus langka ini menimpa William Bong Kon Ho. Meski sudah dinyatakan meninggal pada Maret 2006 silam, ia tetap dimohonkan pailit oleh seseorang yang mengaku sebagai kreditor almarhum. Adalah Michael Kong Kenneth Kitson, warga negara Singapura, yang bertindak sebagai kreditor itu.

 

Michael Kong mengajukan permohonan pailit ke Pengadilan Niaga PN Jakarta Pusat pada 8 April 2008. Berkas permohonan Michael diberi nomor register 18/Pailit/2008/PN.Niaga.Jkt.Pst. Dalam salah satu petitumnya, Michael menuntut, menyatakan Termohon Pailit/William Bong Kon Ho beralamat di Jl. H Agus Salim No 65 Rt 08/04 Kelurahan Gondangdia – Menteng, Jakarta Pusat, PAILIT dengan segala akibat hukumnya.

 

Boleh jadi Michael Kong tidak mengetahui perihal kematian William Bong. Baginya yang terpenting adalah menagih uang yang pernah dipinjamkannya ke William Bong sebesar AS$250 ribu pada Juli 2001. Ia mengantongi bukti Surat Pernyataan Hutang yang ditandatangani William. Lantaran dianggap tidak kooperatif, Michael Kong, melalui kuasa hukumnya dari kantor Asrial S.H Law Firm, memilih untuk menempuh jalur hukum ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.

Tags: