Ketua LKPP: Kita Butuh UU Procurement
Terbaru

Ketua LKPP: Kita Butuh UU Procurement

Akhirnya kita punya lembaga yang mengatur ihwal belanja barang dan jasa pemerintah. Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP), nama wadah itu, baru resmi berdiri medio Mei (13/5). LKPP kukuh via Peraturan Presiden Nomor 106 Tahun 2007. Terlambat, mengingat Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) sudah mengusulkan adanya organisasi ini sejak Agustus tahun lalu.

Oleh:
Sut/Ycb/Mon
Bacaan 2 Menit
Ketua LKPP: Kita Butuh UU Procurement
Hukumonline

 

Apa latar belakang berdirinya lembaga ini?

Ide pembentukan lembaga ini sudah cukup lama, sejak 1998, ketika Pak Boediono masih menjadi Ketua Bappenas (sekarang Boediono menjadi Gubernur Bank Indonesia -red). Pengelolaan pengadaan barang dan jasa harus ditangani dengan baik. Anggaran yang disediakan oleh pemerintah cukup besar. Sayang, ditengarai banyak kebocoran. Lantas, World Bank -kalau tak salah- pada 2001 mengadakan semacam review terhadap praktek pengadaan barang dan jasa di berbagai negara. Termasuk Indonesia. Pada saat itu juga, hasil review ini merekomendasikan kepada pemerintah Indonesia untuk melakukan dua hal.

 

Apa saja itu?

Pertama, membentuk semacam lembaga tender nasional (national procurement agency). Bukan berarti kita harus kembali ke masa lalu, pada era Pak Sudharmono menjadi Menteri Sekretaris Negara. Tujuannya supaya lembaga ini memperbaiki aturan main pengadaan barang dan jasa. Misalnya yah dengan menutup celah kebocoran, persaingan tak sehat. Selain itu, guna mendorong tumbuh-kembangnya koperasi dan UKM serta produksi dalam negeri dengan memasok barang mereka kepada instansi pemerintah.

 

Kedua, aturan yang selama ini kita pakai sangat tidak memadai. Hanya sebuah Keppres. World Bank mengusulkan supaya ada rumusan setingkat undang-undang. Jadi mereka mengusulkan semacam national procurement law.

 

Kedua usulan ini bergulir terus, pemerintah Indonesia serius menanggapi rekomendasi itu. Lagipula, Indonesia memperoleh nilai 62 dari angka 100. Penilaian itu versi tahun 2007. Waktu itu belum ada lembaga ini. Kala itu masih menginduk ke Bappenas, di Direktorat Pusat Pengembangan Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa. Direkturnya Pak Agus Raharjo, sekarang beliau jadi Sekretaris Utama (Sestama) di LKPP -lembaga ini. Keppres 80/2003, banyak yang meminta agar ada aturan yang lebih tinggi setingkat UU. Mungkin setelah LKPP berdiri, nilai kita bisa meningkat.

 

Angka segitu jelek atau bagus?

Dari skala nol sampai seratus. Kita dapat nilai 62. Lumayan lah. Tidak jelek juga. Kira-kira cukup lah.

 

Berarti kita berada pada ranking berapa?

Saya kurang tahu. Tapi Amerika Serikat jauh lebih maju. Di kawasan Asia sendiri, kita masih kalah dari Filipina dan Malaysia.

 

LKPP ini ad hoc atau permanen?

Kami Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND). Kami bukan ad hoc, kami bukan komisi. Kami permanen sesuai Perpres 106/2007. LPND berarti bersifat struktural. Pejabat LPND mengenal batas usia pensiun. Saat ini ada sekitar 20 LPND. Artinya tak seperti departemen yang dipimpin oleh menteri yang jabatannya politis.

 

Berapa anggaran LKPP?

Sekitar Rp45-60 miliar. Ini untuk setting awal. Dari nol. Mungkin terlihat besar. Tapi ini untuk awal. Jika sudah berjalan, kita cuma perlu biaya operasional. Anggaran tahun ini dari Anggaran Pendapatan dan Belanja-Perubahan 2008 (APBN-P 2008). Bandingkan dengan Departemen Pekerjaan Umum, Rp38 triliun.

 

LKPP sudah terbentuk, tinggal UU Procurement...

Kalau kita sudah punya UU, payung hukumnya lebih tinggi. Itu supaya kita dapat diperbandingkan dengan negara lain ihwal pengadaan barang dan jasa. Jadi kita masih punya peluang untuk meningkatkan kinerja kita. Itulah latar belakang terbentuknya lembaga ini.

 

Departemen Keuangan juga menggaungkan reformasi keuangan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Depkeu harus melakukan reformasi keuangan. Tujuannya agar proses penggunaan anggaran pemerintah dapat dilakukan efisien. Amanat UU ini berimplikasi pada perubahan besar dalam pengelolaan anggaran pemerintah. Anggaran ini harus berbasis kinerja. Supaya tiap instansi meningkatkan kinerja dan kualitas pelayanan. Kemudian juga untuk meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya keuangan negara. Untuk mencapai ketiga tujuan itu (kinerja, kualitas pelayanan, dan efisiensi), kinerja pengadaan barang dan jasa termasuk prosesnya harus ditingkatkan mutunya.

 

Target jadinya UU Procurement ini kapan?

Ah, ini masih dalam proses. UU ini adalah inisiatif pemerintah. Kita perlu menghadap presiden untuk memperoleh izin prakarsa. Draft-nya belum ada, tapi pemikirannya sudah ada. Prosesnya masih panjang. Belum lagi jika masuk ke parlemen. Mungkin pada pemerintahan yang baru, bisa mulai dirancang.

 

Dua rekomendasi itu bisa diartikan intervensi World Bank?

Bukan. Indonesia punya kedaulatan negara. Begini. Setiap lembaga donor punya pedoman tersendiri mengenai pengadaan barang/jasa. Bahkan kerja sama bilateral pun punya aturan sendiri. Tapi, jika kita punya UU Procurement, semua pendonor atau pemberi pinjaman yang mau masuk ke Indonesia harus tunduk kepada UU tersebut. Makanya UU ini harus mengadopsi best practise. Akan kita pelajari guideline dari World Bank, ADB, JBIC, serta lembaga lainnya. Toh jika tak melakukan dua rekomendasi itu, tak ada sanksi atau konsekuensi. Tapi, best practise di kebanyakan negara seperti itu.

 

Toh masih ada kendala dalam belanja barang...

Hahaha. Memang. Masih ada tengara kebocoran melalui korupsi, kurang transparan, persainan tak sehat, tender yang tidak adil, dan sebagainya. Pada prinsipnya, kondisi pengadaan di Indonesia ini perlu diperbaiki dengan menerapkan prinsip good governance yang efisien, transparan, dan terbuka. Sekarang tender sudah diumumkan lewat media massa. Ke depan, kami juga hendak menerapkan proses pengadaan lewat elektronik atau e-procurement. Harapannya, supaya setiap orang bisa akses proses tender. Saat ini juga kita siapkan draft Perpres E-Procurement. Dengan transaksi secara online, justru mengurangi kontak langsung yang mengakibatkan transaksi tersembunyi (hidden transaction). Semua negara sudah punya sistem e-procurement. Kita ketinggalan.

 

Instansi mana yang banyak melakukan tender secara elektronik?

DPU sudah paling maju menerapkannya. DPU sangat dinamis. Harapannya semua instansi menerapkannya. Bappenas sedang membantu Departemen Keuangan menerapkan e-procurement. Mudah-mudahan bisa diterapkan Juni-Juli. Lalu ada pilot project di beberapa provinsi. Antara lain Jawa Barat, Sumatra Barat, Kalimantan Tengah, Gorontalo, Yogyakarta, Kepulauan Riau, Bali, dan Makassar.

 

Berapa anggaran belanja barang/jasa pemerintah?

Umumnya berkisar 30-35% dari total anggaran. APBN tahun ini sekitar Rp900-an triliun. Berarti sekitar sepertiga anggaran atau Rp300-an triliun untuk procurement. Angka ini sangat besar. Sayang, ada laporan terjadi inefisiensi 20-30% anggaran procurement. Besar sekali, ada pemborosan Rp60-90 triliun. 

 

Belanja barang pemerintah ini apakah mencakup BUMN?

Nah, Keppres 80/2003 memang belum spesifik mengatur BUMN. Tapi ada klausul yang mengatur tender kerja sama dengan pihak swasta (KPS). Prinsipnya, semua kegiatan tender yang sumber pendanaannya dari anggaran pemerintah, termasuk dalam lingkup tugas kami.

 

Keppres 80/2003 ini akan kita sempurnakan. Akan kita masukkan aturan belanja BUMN. Toh BUMN adalah milik negara. Operasionalnya mereka menggunakan aset negara. Walaupun mereka tidak menggunakan anggaran pemerintah, mereka beroperasi dengan menggunakan aset negara.

 

Idealnya UU Procurement mengatur semua belanja instansi, termasuk BUMN. Karena BUMN beroperasi dengan menggunakan aset pemerintah. Kita lakukan pembenahan dengan pelan-pelan. Soalnya lingkup tugas lembaga ini sangat besar. Jadi kita juga tak mau langsung menggebrak tapi tak mampu. Kita hendak memperbaiki dengan sistematis. Pembelian barang merupakan persoalan yang strategis.

 

Misalnya, pembelian senjata (alutsista). Belanja senjata selalu menarik minat negara produsen senjata. Belanja alutsista sangat strategis karena melibatkan anggaran yang besar. Hal itu juga demi keamanan negara.

 

LKPP akan mengatur sampai sejauh itu?

Bukan berarti lembaga ini mengambil alih tugas tender yang sudah biasa dilakukan oleh lembaga pemerintah maupun departemen. Fungsi utama LKPP ada empat. Pertama, fungsi regulasi. Kami akan memperbaiki aturan main. Semua aturan perundang-undangan tentang aturan main pengadaan akan kita review dan perbaiki. Prioritasnya Keppres 80/2003. Keppres ini tidak efektif dan terlalu normatif. Belum cukup mengatur hal-hal strategis. Misalnya belanja senjata. Di situ ada unsur kerahasiaan negara. Lantas dalam kondisi darurat, misalnya bencana alam. Keppres ini tidak mengatur penunjukan langsung dan harus lewat lelang umum. Kalau tunggu lelang umum, bagaimana nasib korban bencana? Keppres ini dalam hal kasus khusus seperti itu, harus diperbaiki -secara spesifik pula.

 

Toh keppres tersebut banyak pihak yang ingin merombak...

Betul. Keppres ini belum memberikan perhatian khusus dalam keberpihakan terhadap produk dalam negeri dan produk UKM. Selain itu, banyak pihak dari luar yang berkekuatan perusahaan global, pengen masuk ke sini. Bagaimana upaya proteksinya, keppres ini belum menjawabnya. Perlu regulasi dalam bentuk UU. Pertama, soal regulasi seperti itu yah.

 

Lalu fungsi LKPP yang kedua adalah pengawasan dan evaluasi. Segala kegiatan tender harus dilaporkan kepada LKPP. Bisa dibayangkan nantinya, begitu banyak -puluhan ribu- kegiatan tender yang harus kami monitor dan evaluasi. Kami perlu memikirkan mekanisme monitoring dan evaluasi. bisa berjalan efektif. Kami harus bertindak secara selektif dengan menyesuaikan kemampuan cakupan lembaga kami. Tidak mungkin kami awasi semua proses tender. Kegiatan tender pada setiap lembaga saban tahun harus tersimpan dalam suatu data base. Sehingga kita punya sistem informasi. Kita bisa memahami pola pengadaan. Lagipula, kita bisa mendeteksi pola belanja suatu departemen, apakah sudah memanfaatkan produk UKM.

 

Ketiga, kami ingin mengembangkan sumber daya manusia (SDM) para pelaku pengadaan. Ada dua golongan: penyedia barang/jasa dan penggunanya -dalam hal ini pemerintah. Baik kontraktor, konsultan -sebagai penyedia, maupun instansi pemerintah harus memahami segala seluk-beluk peraturan tentang procurement. Para penyelenggara pengadaan, seperti kita tahu, harus punya sertifikat. Sertifikat ini ada tingkatannya. Panitian tender, pimpinan proyek, kepala satuan kerja harus bersertifikat. Sertifikat ini menunjukkan kemampuan pemahaman mereka soal penunjukan pengadaan barang dan jasa. Selama ini sertifikat diterbitkan oleh Bappenas. Nantinya LKPP yang akan mengambil alih. Jadi kami akan melayani pelatihan dan ujian. Selama ini peserta ujian susah lulusnya -ada ratusan, tapi yang lulus cuma sepuluh. Pertama, bisa jadi memang si peserta yang kurang paham, atau kedua modul pelatihan ini terlalu tinggi ekspektasinya. Akan kita review modul ujian ini supaya tidak menghambat proses tender. Kalau tidak lulus, panitia tender ini tidak bisa ditunjuk. Akibatnya tender terhenti, tersendat, penyerapan anggaran terhambat.

 

Keempat, kami melakukan advokasi hukum. Kami akan memberikan penjelasan atas hal-hal yang tidak jelas. Jika ada kasus tender yang masuk ke pengadilan, kami bersedia menjadi saksi ahli. Sekarang ini marak kasus tender yang masuk. Pegiat LKPP banyak ditunjuk sebagai saksi ahli.

 

Persoalan hukum juga berkaitan dengan masalah sanggah -oleh peserta yang kalah. Selama ini, jika ada sanggah banding, sengketa, yang memutuskan adalah menteri pada departemen terkait. Ini masih jadi bias, karena yang memutuskan adalah internal instansi itu sendiri. Untuk penetapan sanggah banding, ke depannya akan kami lakukan sebagai pihak ketiga di luar instansi pembelanja dan penyedia barang/jasa. Saat ini, Bappenas menerima 20-30 aduan setiap hari. Bisa dibayangkan betapa banyaknya komplain masyarakat.

 

Untuk menjalankan keempat fungsi itu, kami punya empat deputi, selain Sestama -yang menyokong sistem pendukung. Pertama, Deputi Pengembangan Kebijakan dan Strategi Pengadaan Barang dan Jasa. Kedua, Deputi Monitoring dan Evaluasi serta Sistem Informasi. Ketiga, Deputi Pengembangan SDM. Serta keempat, Deputi Bidang Hukum dan Penyelesaian Sanggah.

 

Keppres ini banyak diakali oleh instansi dengan menerbitkan surat edaran versi sendiri...

Beberapa menteri memang menerbitkan aturan-aturan pengecualian atas klausul dalam Keppres 80/2003. Makanya, sebuah keppres memang lemah. Idealnya harus ada aturan setingkat UU.

 

Ada prioritas program kerja, mana dulu yang dilakukan?

Kami punya program jangka panjang dan jangka pendek. Jangka panjangnya secara terus-menerus akan kami sempurnakan kerangka hukum pengadaan barang/jasa. Kedua, kami hendak membangun SDM yang profesional. Salah satu kelemahan pengadaan adalah SDM yang mutunya rendah, terutama di daerah. Kebanyakan temuan KPK adalah kasus pengadaan barang/jasa di daerah. Bisa jadi petugasnya tidak memahami aturan tender. Atau memang tekanan kuat dari atasannya -misalnya bupati. Tapi, muaranya adalah pemahaman terhadap aturan main tender. Nah, kecenderungan ini bisa kita baca dengan banyaknya pejabat yang tak mau ditunjuk sebagai Kasaker. Ini bisa mengakibatkan proses tender berlarut-larut. Akhirnya, penyerapan anggaran rendah. Normalnya tender 45 hari. Tapi karena terlalu molor, banyak kontrak yang baru ditandatangani pada Mei-Juni. Padahal, setiap instansi sudah memperoleh Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) sejak 2 Januari tiap tahun. Ada pula anggaran belanja tambahan (ABT). Idealnya ABT untuk proyek yang selesai dalam jangka dua-tiga bulan. Jangan proyek jangka panjang. Ini agar penyerapan anggaran bisa maksimal.

 

Apa saja modus akal-akalan tender?

Pertama, fenomena banting-bantingan harga. Ini menyebabkan persaingan tidak sehat. Pemenang tender umumnya paling murah. Aturannya memang kita harus memprioritaskan the least bidder. Tapi jangan lupakan prinsip responsible. Tapi para panitia tender memprioritaskan yang paling murah. Padahal, tawaran harga di bawah 60% dari patokan nilai proyek hampir bisa dipastikan standar mutunya rendah. Misalnya pembangunan jalan. Kualitas aspalnya jika bagus tentu tidak mudah rusak. Jika ada penawaran sangat murah, sudah pasti mengorbankan kualitas. Tapi aturannya mengutamakan penawar termurah. Pelaksana tender harus memperhatikan spesifikasi teknis (spektek) barang. Pembangunan jalan, apa jenis pasirnya, jenis aspalnya, harus sesuai spektek.

 

Kedua, spektek barang yang susah ditemukan di pasar. Spekteknya aneh-aneh. Ini tendensius ke produk tertentu. Untuk memenangkan perusahaan tertentu. Itu betul-betul terjadi. Jika ada indikasi memenangkan produk tertentu, ini salah.

 

Ketiga, subkontrak. Hal ini tanggung jawab penuh dari kontraktor. Pengguna jasa, dalam hal ini pemerintah, bisa menolak tender yang dikontrakkan lagi ke pihak lain. Jika pengawasannya tidak benar, terjadilah peyimpangan-penyimpangan.

 

Bicara soal anggaran maupun realisasi duit pemerintah guna kulakan aset negara berarti omong masalah triliunan rupiah. Belanja tahun lalu Rp240-an triliun. Angka itu cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Namun, para penilep duit rakyat senantiasa mengincar proses pengadaan barang/jasa ini sebagai lumbung rezeki mereka. Kala itu, awal Januari 2007, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Taufiequrrahman Ruki mencatat 75% kasus korupsi berkaitan dengan procurement. Ada tengara pula dari laporan Country Procurement Assessment Report pada 2001, belanja pengadaan di Indonesia bocor 10-50%.

 

Salah satu celah terjadinya kerugian negara dari kegiatan procurement adalah payung hukum yang kurang memadai. Saat ini, ketentuan yang tengah berlaku mengatur pengadaan adalah Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Banyak kalangan dari pemerintah sendiri, yang getol akan perombakan keppres tersebut. Setidaknya ada  Departemen Perindustrian serta Departemen Komunikasi dan Informatika -era Menteri Sofjan Djalil, yang kini jadi Menteri Negara BUMN.

 

Senyampang ide revisi Keppres 80/2003 belum terealisasi, pemerintah rupanya juga lagi asyik punya mainan Rancangan Undang-Undang Procurement -yang pula tak kunjung terang posisinya. Pihak eksekutif percaya, sebuah UU lebih kuat sebagai sandaran hukum, daripada sekadar sebuah keppres.

 

Semua masalah itu, mulai dari regulasi hingga teknis pengawasan pengadaan, adalah tugas LKPP. Untuk mengetahui lebih lanjut mau dibawa kemana si jabang bayi anyar ini, hukumonline menemui Ketua LKPP, Rustam Syarif. Di kantor anyar, lantai 3A Wisma Bakrie II, bilangan Kuningan, Rustam menerima hukumonline, Rabu jelang sore (21/5). Ruang kerja Rustam tampak luas, belum marak barang maupun perabot yang mengisinya. Meja kerjanya pun masih lowong, belum ada komputer yang bertengger di atasnya. Berikut petikan wawancaranya.

Tags: