Denda Administratif atas Perkawinan di Luar Negeri yang Tidak Dilaporkan
Berita

Denda Administratif atas Perkawinan di Luar Negeri yang Tidak Dilaporkan

Pemerintah Daerah berhak mengatur besaran denda administratif kepada pasangan yang terlambat melapor. Dijadikan sebagai sumber pendapatan daerah.

Oleh:
Mys/M-1
Bacaan 2 Menit
Denda Administratif atas Perkawinan di Luar Negeri yang Tidak Dilaporkan
Hukumonline

 

Peraturan perundang-undangan berbeda dalam menentukan batas waktu kewajiban melapor. Berdasarkan UU Perkawinan, setiap peristiwa kependudukan wajib dilaporkan paling lama satu tahun tahun. Sebaliknya, berdasarkan pasal 37 UU Administrasi Kependudukan, pencatatan perkawinan di luar negeri paling lambat harus dilaporkan 30 hari sejak pasangan bersangkutan kembali ke Indonesia. Jika batas waktu pelaporan terlewati, pasangan perkawinan bisa dikenakan denda administratif. Selain mencatatkan perkawinan di luar negeri, pasangan yang telat melaporkan kelahiran, pembatalan perkawinan, perceraian, kematian, adopsi dan perubahan nama juga bisa dikenakan denda sejenis.

 

Pencatatan perkawinan dilaksanakan di instansi yang berwenang di negara tempat perkawinan berlangsung. Kalau negara tersebut tak mengenal pencatatan perkawinan bagi warga asing, maka pencatatan dilakukan oleh perwakilan Indonesia di negara tersebut dengan syarat pasangan tadi memenuhi persyaratan. Misalnya salinan paspor dan KTP, pasphoto, dan surat keterangan terjadinya perkawinan di negara setempat. Petugas konsuler selanjutnya mencatatkan perkawinan itu dalam Register Akta Perkawinan. Perwakilan Indonesia wajib menyampaikan data perkawinan itu ke Kantor Catatan Sipil di Indonesia.

 

Meskipun sudah mencatat dan melapor ke perwakilan Indonesia di luar negeri, pasangan WNI yang menikah tetap harus melapor ke Kantor Catatan Sipil setempat sekembalinya mereka ke Indonesia. Jika tidak, pasangan ini bisa dikenai denda administratif.

 

Sebagai sebuah peristiwa dalam kehidupan, perkawinan pasangan laki-laki dan perempuan warga negara Indonesia (WNI) harus dicatatkan. Pentingnya pencatatan perkawinan bagi pasangan WNI semakin dipertegas secara teknis dalam Peraturan Presiden No. 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.

 

Perpres ini merupakan peraturan pelaksanaan dari UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan UU No. 23 Tahun 2006. Salah satu hal penting dalam Perpres ini adalah administrasi kependudukan bagi pasangan WNI yang menikah di luar negeri. Kini, semakin banyak pasangan WNI yang melangsungkan perkawinan di luar negeri karena alasan tertentu.

 

Pasangan WNI yang menikah di luar negeri wajib mencatatkan dan melaporkan peristiwa perkawinan itu. Jika tidak, pasangan tersebut terancam denda administratif. Perpres No. 25 Tahun 2008 memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah (Pemda) untuk mengatur besaran denda administratif tersebut. Bahkan Pemda boleh menjadikan denda tersebut sebagai sumber pendapatan asli daerah (PAD). Ketentuan ini diatur dalam pasal 107 Perpres 25. Salah satu yang sudah mencantumkannya sebagai pendapatan daerah adalah DKI Jakarta, melalui Perda No. 1 Tahun 2006 tentang Retribusi Daerah.

 

Besaran denda tetap harus memperhatikan kondisi masyarakat setempat. Untungnya, UU Administrasi Kependudukan memberikan batasan maksimal yang tegas, yakni tidak boleh lebih dari satu juta rupiah. Pengamat masalah kependudukan dan catatan sipil Sulistyowati Sugondho sependapat dengan syarat tersebut agar penetapan denda bersifat adil. Kalau pasangan berdomisili di daerah miskin, lalu dikenakan denda administratif yang tinggi, tidak fair, ujar Ketua Konsorsium Catatan Sipil itu.

 

UU Perkawinan 1974 juga mengatur masalah ini, bahkan menyinggung keabsahan perkawinan yang berlangsung di luar negeri. Berdasarkan pasal 56 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974, perkawinan demikian sah apabila dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara setempat, sekaligus tidak melanggar peraturan perundang-undangan Indonesia.

Tags: