Tony Budidjaja: Tanpa Mediasi Wajib, Putusan Hakim Bisa Batal Demi Hukum
Terbaru

Tony Budidjaja: Tanpa Mediasi Wajib, Putusan Hakim Bisa Batal Demi Hukum

Mahkamah Agung sudah mengagendakan sosialisasi Perma No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan pada akhir Oktober ini. Perma 2008 ini menggantikan aturan serupa yang tertuang dalam Perma No. 2 Tahun 2003.

M-1/CRS
Bacaan 2 Menit
Tony Budidjaja: Tanpa Mediasi Wajib, Putusan Hakim Bisa Batal Demi Hukum
Hukumonline

 

Untuk mengetahui lebih banyak latar belakang Perma No. 1 Tahun 2008 dan implikasinya terhadap penyelesaian sengketa di pengadilan, hukumonline mewawancarai Tony pada 18 September lalu di bilangan Jalan Sudirman Jakarta. Anggota Indonesian Mediators Association ini menjelaskan banyak hal seputar mediasi. Berikut petikannya:

 

Bagaimana pandangan Anda tentang Perma No. 1 Tahun 2008?

Perma No. 1/2008 ini muncul karena dirasakan Perma No. 2/2003 memiliki kelemahan, ada beberapa hal yang perlu penyempurnaan. Mulai tahun 2006 dibentuk satu tim working group untuk meneliti hal-hal yang perlu disempurnakan. Produk akhirnya adalah Perma 1/2008. Working group ini terdiri dari beberapa pihakmulai sektor kehakiman, advokat, maupun organisasi yang selama ini concern terhadap mediasi yaitu IICT (Indonesian Institute for Conflict Transformation), dan dari Pusat Mediasi Nasional (PMN). Selama ini memang dua organisasi ini yang paling utama dalam mediasi. Mereka sudah terlibat sejak tahun 2003, pada saat Perma No. 2/2003 (selanjutnya disebut Perma 2003- red) lahir. IICT dan PMN membantu mensosialisasikan mediasi dan Perma itu sendiri. Perma itu kan mediasi yang diterapkan di pengadilan, mediasi yang diadopsi oleh pengadilan.

 

Saya pribadi melihat terbitnya Perma 2008 ini sebagai suatu yang positif untuk membantu masyarakat, advokat, dan hakim untuk lebih memahami mediasi. Jadi kalau dibandingkan dengan Perma 2003, Perma 2008 memang lebih komprehensif. Jumlah pasal juga jauh lebih banyak dan coba lebih detail mengatur proses mediasi di pengadilan. Walaupun saya harus katakan bahwa yang lebih detail, yang lebih lengkap belum tentu lebih baik. Karena mediasi sebagai bagian dari salah satu penyelesaian sengketa merupakan proses yang seharusnya fleksibel memberikan ruangan besar kepada para pihak melakukan perundingan atau mediasi itu sendiri agar mencapai hasil yang diinginkan. Seringkali kalau pengaturannya rigid atau detail akan memberikan beban kepada para pihak. Itu kelemahannya kalau diatur lebih rigid dan detail.

 

Salah satu ketentuan menarik dari Perma 2008 adalah Pasal 2 ayat 3,  tidak menempuh prosedur mediasi berdasarkan peraturan ini merupakan pelanggaran terhadap 130 HIR yang mengakibatkan putusan batal demi hukum. Ketentuan ini perlu diperhatikan. Jadi, memang perlu segera untuk mensosialisasikan perma ini ke berbagai pihak. Ini relatif baru. Memang, saya rasa, masih relatif banyak pihak belum terlalu paham mengenai Perma 2008. Belum tahu sama sekali ada Perma 2008 yang merupakan penyempurnaan dari Perma 2003. Langkah yang bagus Perma 2008 membuat mediasi menjadi dikenal dan proses mediasi diharapkan bisa semakin baik. Di sisi lain, perlu dibarengi dengan sosialisasi. Kalau tidak saya khawatir pelaksanaannya nanti.

 

Perma 2008 mencoba memberikan pengaturan yang lebih komprehensif, lebih lengkap, lebih detail sehubungan dengan proses mediasi di pengadilan. Diatur lebih detail, apa-apa yang harus dilakukan. Juga memberikan konsekuensi, memberikan sanksi bagi pelanggaran terhadap tata cara yang harus dilakukan, yaitu sanksi putusan batal demi hukum. Jadi kalau Perma 2003 tidak memberikan sanksi, Perma 2008 memberikan sanksi. Kalau 2003 dianggap banyak aspek yang tidak diatur terutama mediasi di tingkat banding, kasasi, pada Perma 2008 diatur kemungkinan mengenai hal itu.

 

Apa lagi perubahan mendasar Perma 2003 menjadi Perma 2008?

Selain sanksi itu, ada juga pasal 4 yang bisa disebut perubahan mendasar, yakni batasan perkara apa saja yang bisa dimediasi. Itu merupakan perubahan cukup penting, walaupun menurut saya ukurannya masih tergolong cukup luas. Belum ada kriteria yang lebih spesifik, perkara mana yang  bisa dimediasi. Pendekatan Perma ini adalah pendekatan yang sangat luas. Dalam Perma ini, semua perkara selama tidak masuk dalam yang dikecualikan, itu diharuskan untuk menempuh mediasi. Kewajiban mediasi cukup luas. Para pihak diwajibkan untuk mediasi untuk perkara-perkara sepanjang tidak dikecualikan dalam pasal 4 yaitu pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial, keberatan atas keputusan BPSK, dan keberatan atas keputusan KPPU. Semua sengketa perdata wajib terlebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui perdamaian dengan bantuan mediator. Jadi dia tidak melihat pada nilai perkara, tidak melihat apakah perkara ini punya kesempatan untuk diselesaikan melalui mediasi atau tidak, motivasi para pihaknya apa, iktikad para pihak mengajukan perkara itu apa, apa para pihak punya sincerity, artinya kemauan atau ketulusan hati untuk bermediasi atau tidak. Tidak menjadi persoalan berapa banyak pihaknya, atau pihaknya ada dimana. Jadi, pendekatannya sangat luas.

 

Selain itu, peran mediator di pasal 5 ditegaskan. Ada kewajiban bagi setiap orang yang menjalankan fungsi mediator untuk memiliki sertifikat. Nanti kita lihat positif atau negatif. Tapi paling tidak, di sini spiritnya, digunakan kata-kata, asasnya wajib memiliki. Kuncinya ada di pasal 2, kalau tidak mengikuti prosedur berarti batal demi hukum. Yang jadi masalah adalah apakah SDM kita cukup. Apakah mediator-mediator yang qualified atau memenuhi kualifikasi sudah cukup tersedia di Indonesia. Jangan cuma lihat Jakarta saja. Di Jakarta pun bisa jadi belum cukup.

 

Apa implikasi luasnya perkara yang bisa dimediasi?

Upaya mediasi wajib ini harus dilakukan dengan hati-hati. Ini untuk mencegah penyalahgunaan oleh pihak yang tidak beriktikad baik. Sistim pengadilan sekarang banyak dikeluhkan memberikan kesempatan bagi pihak yang beriktikad tidak baik untuk mengajukan perkara atau gugatan yang tidak cukup kuat kepentingan hukumnya atau alas haknya. Tujuannya hanya untuk mengganggu atau merepotkan pihak lain. Saya tidak mau mediasi wajib ini menambah peluang bagi pihak-pihak seperti itu memberatkan pihak lain. Mediasi wajib akan berakibat proses berperkara di pengadilan semakin panjang karena ada prosedur yang wajib ditempuh. Bukankah mediasi bagian dari alternatif penyelesaian sengketa yang harusnya dilakukan voluntir? Karena kesuksesan mediasi sangat tergantung pada kemauan atau keinginan para pihak. Kalau mereka tidak mempunyai keinginan atau kemauan bermediasi apa gunanya dipaksa? Ada orang bilang we can bring the horse to the water but we cannot force the horse to drink. Ini buat mereka yang tidak setuju pada mediasi wajib. Tapi bagi mereka yang setuju dengan mediasi wajib, mereka bilang betul kita tidak bisa memaksa kuda iuntuk minum, tapi if you do it, it usually does drink. Kita bawa kuda ke sana, ada kalanya, atau kadang-kadang, kuda itu akan minum juga. Jadi, selama itu bukan hal yang merugikan, ya tidak ada salahnya dicoba. Yang harus kita perhatikan adalah waktu. Kalau untuk sengketa-sengketa bisnis, semakin panjang waktu yang terbuang merupakan salah satu hal yang perlu diperhitungkan. Apalagi kalau mereka hire lawyer yang men-charge-nya per jam. Semakin panjang kan semakin buat beban. Harus diakui, sistim peradilan kita masih unpredictable, sangat sulit diperhitungkan mengenai batas waktunya, mengenai kapan suatu perkara selesai.

 

Kadang kita dapat pertanyaan, kapan sih perkara ini akan selesai? Kita tidak tahu. Kalau kita pikir, setelah putusan di MA maka perkara sudah selesai kan tidak juga, banyak yang mengajukan PK. Apakah PK menyelesaikan masalah? Seringkali tidak juga, sering mereka protes, coba melawan, gugatan balik atau melakukan upaya perlawanan atas eksekusi. Kita harus hati-hati dalam menerapkan mediasi wajib, kriteria perkara yang perlu diajukan kepada mediasi atau yang perlu diwajibkan, menurut saya perlu diberikan kriteria yang lebih spesifik. Saya termasuk yang setuju pada mediasi wajib tapi kriteria perkaranya perlu dibuat lebih spesifik. Batasannya diperjelas. Apa yang salah dengan pengadilan niaga? Pengadilan PHI? Kalau PHI, kita masih bisa terima di akal karena sebelum masuk ke PHI ada mediasi wajib sebelum perkara sampai ke PHI. Tapi bagaimana dengan di pengadilan niaga? Pengadilan niaga kan punya kewenangan atas perkara haki, hak cipta, paten, merek. Itu kan perkara bisnis yang punya peluang yang sama untuk dimediasi. Apakah karena hakim terjepit waktu harus memutus dalam waktu sekian hari, lalu mediasi dikorbankan?  

 

Menurut saya, seharusnya kriteria perkara yang dapat dimediasikan juga harus dipertegas, dipersempit, diperjelas. Kalau tidak, akan menjadi beban hakim mediator dan beban bagi para pihak sendiri. Sebab, mereka harus menempuh proses mediasi wajib, minimal harus menyisihkan waktu dan biaya untuk menempuh mediasi. Waktu dan biaya itu tidak bisa dilepaskan, saling bergantung. Kalau batasan-batasannya apa, itu memang harus dilakukan penelitian dengan seksama, sesuai peradilan kita. Misalnya apakah ada keharusan para pihak membuat komitmen untuk berkooperasi karena negosiasi atau mediasi baru akan efektif kalau mereka mau menunjukkan sikap bekerjasama.  

 

Mereka komit mau menempuh mediasi. Bukan berarti harus setuju dengan apa yang dicapai, tapi mereka sincere mau. Kalau dari awal mereka tidak ada sincerity untuk ikut, apa gunanya? Itu akan membuat proses akan menjadi panjang. Itu hanya contoh. Menurut saya, itu harusnya lahir dari suatu penelitian, diteliti dulu kondisi Indonesia bagaimana. Saya kuatir karena sekarang saja kita belum bisa mengatasi persoalan penyalahgunaan sistim peradilan, gugatan-gugatan yang asal, yang tidak serius, yang ngawur, buat ngerepotin pengadilan, pihak yang digugat, kemudian ditambah lagi dengan adanya mediasi wajib. Bayangkan pihak yang digugat, bagaimana mereka harus mengorbankan banyak waktu, biaya untuk hal seperti ini.

 

Jadi, dasarnya adalah sincerity para pihak?

Iya. Orang itu harus sincere. Kalau dia tidak sincere, punya kemauan untuk berpartisipasi, datang atau bahkan tidak mau datang untuk bermediasi, kasihan karena biaya pemanggilan sudah keluar. Pihak lawan juga sudah datang. Komitmen untuk berpartisipasi seharusnya muncul dari awal. Jadi sudah ditentukan mediasi itu wajib atau tidak. Kalau dari awal mereka tidak mau, bisa dipertimbangkan bahwa itu bukan hal yang diwajibkan. Tapi dilemanya di situ. Ada kekhawatiran, orang kita kalau tidak dipaksa susah, sehingga pendekatannya harus hati-hati.

 

Apakah dengan mediasi wajib menjadikan kualitas mediasi menurun. Jadi, semacam formalitas belaka?

Pada tahun 2003, kita jumpai banyak kejadian seperti itu. Banyak pihak menggunakan mediasi karena tuntutan dari Perma. Seperti formalitas yang belum ada sanksinya. Sekarang juga bisa masuk ke jebakan yang sama. Mereka mengikuti proses mediasi bukan karena keinginan hati, bukan karena mereka melihat ada peluang baik dari mediasi, atau mereka melihat ada keuntungan dari mediasi. Tetapi lebih karena kekhawatiran putusan mereka akan batal demi hukum apabila tidak mengikuti proses mediasi sebelumnya. Sangat mungkin kualitas menurun karena sekarang saja pemahaman masyarakat mengenai mediasi relatif masih kurang baik. Mereka kurang memahami apa itu nature mediasi, dan apa manfaatnya. Banyak masyarakat yang memahami mediasi sekedar bertemu dengan pihak ketiga sebagai mediator tapi mereka tidak melihat ada manfaat lebih dari mediasi. Jadi pemahaman mengenai mediasi itu penting. Seharusnya itu lebih awal dilakukan sebelum memberikan kewajiban. Tapi kita terbalik. Harusnya, mereka sudah paham, tuntutan masyarakat akan mediasi diatur lebih tinggi maka pengadilan memfasilitasi. Ya sudah mediasi diatur supaya mengakomodasi kebutuhan masyarakat. Tapi saat ini, masyarakat belum ada kebutuhan mendesak sebenarnya. Belum ada. Bahkan kebanyakan masyarakat kita belum terlalu paham mengenai mediasi, tapi sudah dipaksakan dulu. Bahkan pada Perma 2003, saya masih jumpai, banyak orang, bahkan lawyer atau non lawyer komplain mengapa harus mediasi karena akan buang biaya dan waktu. Saya sebenarnya juga ingin tahu reaksi dari lawyer. Saya ingin tahu apakah mereka merasa terbantu atau merasa semakin terbebani dengan perma ini.

 

Apakah dalam pengalaman selama ini, Anda merasa terbantu?

Seharusnya tujuannya untuk membantu. ADR, termasuk mediasi, kan tujuannya untuk membantu menyelesaian sengketa. Termasuk alternatif yang worth, Worthy alternative buat para pihak di samping litigasi. Filosofi ADR adalah untuk membantu, bukan untuk membebani. Bisa membantu kebutuhan atau kepentingan para pihak. Kalau membebani, justru akan bertentangan. Kalau litigasi itu memang strict, ada kewajiban yang harus diikuti dan demikian juga dengan arbitrase. Tapi ADR atau mediasi itu tujuannya untuk membantu. Dikembalikan lagi ke sini apakah akan membantu para pihak atau justru akan semakin membebani para pihak. Karena ada kewajiban bagi para pihak termasuk lawyer untuk memahami perma ini, pasal demi pasal yang cukup banyak. Sebanyak 27 pasal itu harus dipahami karena pelanggaran terhadap ketentuan ini berakibat putusan batal demi hukum. Ini jadi beban bagi mereka. Sebenarnya waktu itu ada opsi Perma tidak perlu terbit. Perma cukup mengatur ada kewajiban untuk mediasi, misalnya, tata caranya diatur terpisah, waktu gampang disesuaikan. Seperti peraturan pelaksana. Yang terjadi malah peraturan pelaksana dimasukkan ke dalam Perma ini dan kemudian diwajibkan juga. Mediasi yang harusnya volunteer, fleksibel dibuat begitu rigid, atau kaku bahkan pelanggaran berakibat putusan batal demi hukum. Ini yang harus diwaspadai. Diatur secara cukup rigid tentang tata caranya dan sanksinya. Kita lihat saja nanti reaksi masyarakat seperti apa. Saya duga pasti ada yang keberatan. Pasti ada pro dan kontra, ya tidak apa-apa. Indonesia kan seperti itu, lakukan dulu tanpa penelitian yang benar, kalau salah nanti kita perbaiki. Tambah kerjaan lagi.

 

Bagaimana kalau di suatu daerah tidak ada mediator bersertifikat?

Mesti dibedakan antara mediasi di pengadilan berdasarkan Perma 2008 dengan mediasi di luar pengadilan. Katakanlah mediasi di pengadilan. Pasal 5 Perma 2008 menyebut pada asasnya mediator wajib memiliki sertifikat. Lalu, jika dalam wilayah sebuah pengadilan tidak ada hakim, advokat, akademisi hukum, dan profesi bukan hukum yang bersertifikat mediator, hakim di lingkungan pengadilan yang bersangkutan berwenang menjalankan fungsi mediator. Walaupun tidak punya sertifikat, hakim bisa berperan sebagai mediator.

 

Inilah pertanyaan saya juga, apakah SDM kita sudah siap menjadi mediator yang qualified dan kompeten. Kini kita punya mediasi wajib. Nyatanya, selama ini tidak gampang melahirkan mediator yang handal dan kompeten. Buat saya, untuk menjadi mediator yang qualified paling tidak ada 3K: kompetensi, komitmen, dan karakter.

 

Kompetensi dimiliki lewat pelatihan dan pendidikan. Sifatnya terus menerus. Mediator perlu meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk mengurus orang yang bersengketa, mau mempelajari kasusnya secara seksama, mau mendengar keluhan para pihak. Komitmen juga penting bagi mediator. Walaupun mediator punya kompetensi, dan punya komitmen, tapi dia harus punya karakter yang mendukung seperti sabar dan mau mendengar. Kalau karakter seperti itu tidak dimiliki ya susah jadi mediator. 3 K itu harus ada. Sekarang untuk kompetensi saja belum cukup banyak orang yang punya

 

Dibandingkan dengan jumlah kasus per tahun saya kira belum sebanding dengan jumlah mediator.  Juga, keberadaan para mediator, yang masih lebih banyak terkonsentrasi di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya dan Semarang.

 

Ada kalanya hakim sulit mengikuti pelatihan mediator karena persoalan waktu...

Pertanyaan seperti itu pernah terlontar dalam suatu forum yang dihadiri Ibu Susanti Adi Nugroho (hakim agung � red). Bagaimana kalau kondisi di suatu tempat tidak ada mediator bersertifikat. Jawabannya, kita lihat kasus per kasus. Kita jelaskan mengapa di Indonesia butuh sertifikat karena mereka mengkhawatirkan kemampuan pihak ketiga. Sertifikasi jadi semacam quality control. Kita punya jaminan bahwa si mediator punya paling tidak minimum requirement. Konsekuensinya, pasal 2 Perma 2008, pelanggaran karena tidak menempuh mediasi berdasarkan Perma, putusan batal demi hukum. Sebenarnya ini peluang bagi teman-teman yang berprofesi sebagai mediator. Mediasi diwajibkan dan perkara yang dimediasikan begitu. Itu kan peluang. Kalau saya sebenarrnya masih melihat dari idealismenya, ada semacam panggilan. Ada juga yang menyarankan kami secara resmi masuk ke pengadilan. Kalau itu, nantilah kami pikirkan karena sejauh ini kami dari IICT lebih sebagai trainer. Kita tidak mau ada konflik kepentingan karena kita mediator. Tapi kita butuh contoh mediator mana yang bisa menjalankan.  Sekarang banyak orang pasang papan nama atau label mediator, cuma apakah mereka siap menghadapi tantangan? Kan mesti diuji. Makanya cukup kompleks persoalannya. Kemauan masyarakat yang minim soal mediasi, dukungan prasarana juga minim, lembaga penyedia jasa mediasi belum benar-benar siap untuk memberikan jasa secara profesional

 

Berdasarkan pengamatan Anda selama ini, apa saja hambatan dalam mediasi?

Dukungan perangkat hukum juga perlu. Sejauh ini mediasi atau ADR baru diatur dalam UU No. 30/1999. Namun pengaturan  tentang ADR seperti mediasi masih minim. Yang dibutuhkan adalah pengakuan atau penghargaan terhadap kesepakatan yang diperoleh dari proses mediasi. Harus ada pengakuan atau penghargaan hukum atas kesepakatan mediasi. Jangan sampai masyarakat atau para pihak menghabiskan waktu dan biaya untuk mencapai kata sepakat, tetapi kesepakatannya tidak mendapat pengakuan atau penghargaan sebagaimana mestinya.  Masalahnya, sekarang pengadilan masih melihat kesepakatan yang dibuat di luar pengadilan tidak bisa langsung dieksekusi secara serta merta.  

 

Kalau ada pihak yang ingkar janji, mereka harus mengajukan gugatan ke pengadilan karena berdasarkan pasal 1888 KUH Perdata menyatakan bahwa perdamaian mempunyai kekuatan hukum yang sama seperti putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Artinya, putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap sudah siap langsung dieksekusi. Tapi ketentuan ini prakteknya belum bisa dijalankan sebagaimana mestinya. UU No. 30/1999 sebenarnya menyebutkan kesepakatan bisa didaftarkan di pengadilan untuk keperluan eksekusi. Itu pun dalam praktek mengalami banyak hambatan. Banyak pengalaman menunjukkan para pihak mencoba mendaftar ke pengadilan, eh pengadilan malah bingung mengapa harus didaftarkan.

 

Perma 2008 juga membedakan perdamaian yang dibuat dalam bentuk akta perdamaian dengan kesepakatan perdamaian. KUHPER dan UU No. 30/1999 tidak membedakan. Ini menjadi tantangan bagi manusia yang menjadi mediator. Untuk mengurangi dampak negatifnya, perlu sosialisasi kepada para pemangku kepentingan.

 

Tantangan berikutnya adalah penyediaan fasilitas, ruang pertemuan yang memadai untuk proses mediasi. Kalau tempatnya tidak memadai justru akan menyulitkan para pihak. Perma 2008 memungkinkan mediasi berlangsung di luar. Kalau mediasinya di pengadilan, apakah fasilitas pengadilan memadai. Bagaimana kalau kondisi ruangan panas, ramai hiruk pikuk dimana sulit mendapatkan privacy dan keamanan. Itu malah membuat orang stress, mediasi jadi menegangkan. Begitu masuk pengadilan, auranya sudah tidak enak. Jadi, tantangan ke depan menurut saya adalah soal hukum, sumber daya manusia dan fasilitas.

 

Bagaimana kekuatan hukum perdamaian hasil mediasi?

Pada pokoknya kalau dilihat dari kacamata hukum, perdamaian yang dibuat secara sah akan mengikat. Bahkan menurut pasal 1888 KUH Perdata, mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan putusan pengadilan, yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Artinya, sudah berkekuatan hukum mutlak, sudah tidak bisa diapa-apain lagi.  Cuma, Undang-Undang juga berusaha memberikan perlindungan dari hal-hal eksepsional. Misalnya, perdamaian itu dibuat karena ada misrepresentasi, bahan perkaranya sudah keburu diputus. Ada eksepsi pengecualian yang memungkinkan suatu perdamaian bisa dituntut pembatalannya. Apabila perdamaian dibuat secara sah memenuhi semua persyaratan yang ditentukan, perjanjian itu harusnya berkekuatan hukum mutlak. Tetapi kalau misalnya ada cacat dalam pembuatan perdamaian tersebut tentu saja dapat dibatalkan.

 

Bukankah putusan arbitrase pun dapat dibatalkan oleh pengadilan?

Tapi dalam situasi yang terbatas kan? Menurut pasal 70 UU No. 30/1999, ada tiga alasan: penipuan, ada dokumen palsu yang penyesatan, dan konspirasi. Perdebatannya apakah hanya tiga alasan tadi atau alasan lain, alasan pembatalan putusan arbitrase tetap harus dibatasi. Dalam RV memang ada dua belas alasan mengajukan pembatalan. Cuma, RV kan dinyatakan tidak berlaku. Sayang, nampaknya pembuat undang-undang tidak membagi mengapa alasan-alasan dalam RV tidak cukup dapat diterima.

 

Entah bagaimana pembuat Undang-Undang hanya menyebutkan tiga alasan walaupun pada bagian penjelasan umum UU itu disebutkan contoh karena ada kata-kata antara lain alasan-alasan yang disebutkan di sana. Sebenarnya di bagian lain UU No. 30/1999 juga ada di penjelasan yang memberikan edukasi bahwa putusan arbitrase dapat dibatalkan dalam hal kondisi lain yang disebutkan pasal 70. Saya termasuk yang tidak setuju bahwa tiga alasan yang disebutkan pasal 70 merupakan satu-satunya alasan untuk pembatalan. Lagipula tiga alasan itu dan penerapan secara kaku bisa melukai rasa keadilan

 

Pandangan Anda terhadap mediasi pada tingkat banding dan kasasi?

Saya kira positif sekali ya. Jadi mediasi harus dipahami sebagai proses yang bisa berjalan berdampingan dengan proses litigasi. Jangan melihat mediasi sebagai proses yang terpisah, melainkan bisa berdampingan. Justru itulah keunikan dari mediasi, bisa berjalan berdampingan,  bisa melengkapi sepanjang belum ada putusan yang berkekuatan hukum tetap.

 

Menurut Anda, apakah hakim kita sudah siap menyelesaikan sengketa lewat mediasi?

Tergantung dari kacamata hakim mengenai mediasi. Ada yang memahami mediasi dengan baik, punya komitmen. Ada juga yang melihatnya hanya sebagai suatu kewajiban belaka yang dimana orang yang bersangkutan belum memahami manfaatnya. Dalam prakteknya memang masih banyak kasus dimana proses mediasinya bisa dikatakan belum berjalan dengan baik. Agar berjalan dengan baik, tanggung jawab proses mediasi itu bukan hanya di tengan mediator, tetapi semua pihak, agar berkomitmen untuk mau berpartisipasi.

 

Apakah proses sertifikasi hakim dan non hakim sama?

Sama. Mereka ikut training yang 40 jam, ikut ujian. Mereka lulus baru mendapat sertifikat.

 

Bagaimana kekuatan hukum akta perdamaian dengan kesepakatan perdamaian yang tidak dituangkan dalam akta?

Buat saya sebenarnya membingungkan penggunaan istilah akta secara hukum sebenarnya tidak tepat. Akta itu apa sih? Akta itu setiap surat yang dibuat secara formal yang dibubuhi tanda tangan. Di sini, akta diartikan sebagai putusan perdamaian. Harusnya kalau mau ya putusan perdamaian putusan pengadilan. Definisi perdamaian jangan gunakan kata akta perdamaian. Penggunaan acta van dading itu agak confusing sebenarnya. Kata kesepakatan perdamaian yang dibuat secara tertulis, itulah akta perdamaian. Tetapi di sini pengertian akta perdamaian itu putusan perdamaian.

 

Perma No. 1 Tahun 2008 membawa beberapa perubahan penting, bahkan menimbulkan implikasi hukum jika tidak dijalani. Misalnya, memungkinan para pihak menempuh mediasi pada tingkat banding atau kasasi. Perubahan-perubahan itu penting dipahami oleh para hakim, penasihat hukum, advokat, pencari keadilan, dan mereka yang berkecimpung sebagai mediator atau arbiter.

 

Perma No. 1 Tahun 2008 terbit setelah melalui sebuah kajian oleh tim yang dibentuk Mahkamah Agung. Salah satu lembaga yang intens mengikuti kajian mediasi ini adalah Indonesian Institute for Coflict Transformation (IICT). Tony Budidjaja, adalah seorang advokat yang mengendalikan lembaga ini. Advokat yang pada 2006 terpilih sebagai �sia Law Leading Lawyers ini satu diantara sedikit advokat yang sangat concern pada masalah mediasi dan alternatif penyelesaian sengketa.

Tags: