Demi Peradilan yang Bersih, Semua Cara Harus Dilakukan
Berita

Demi Peradilan yang Bersih, Semua Cara Harus Dilakukan

Mulai dari rekrutmen dan pelatihan hakim sampai mempercepat pembahasan RUU Komisi Yudisial.

M-8
Bacaan 2 Menit
Demi Peradilan yang Bersih, Semua Cara Harus Dilakukan
Hukumonline

 

Urgensi UU Komisi Yudisial

Praktisi hukum Bambang Widjojanto, di tempat yang sama, juga tak menutup mata dengan fakta suburnya mafia peradilan. Hal itu bahkan diperparah dengan tak kunjung transparannya Mahkamah Agung sebagai salah satu pemegang kekuasaan kehakiman tertinggi di negeri ini. Bambang merujuk pada laporan hasil pemeriksaan semester I Tahun 2008 yang dilansir Badan Pemeriksa Keuangan yang menunjukkan adanya masalah pelaporan anggaran uang negara dan biaya perkara oleh Mahkamah Agung.

 

Untuk itu, Bambang berharap kelompok masyarakat ikut berperan dalam mendorong transparansi dan akuntabilitas di tubuh lembaga peradilan. Setidaknya ada tiga cara yang bisa dilakukan oleh kelompok masyarakat, yaitu melakukan penguatan dari dalam lembaga peradilan, menjadi watch dog atau membantu Komisi Yudisial (KY) melakukan berbagai upaya demi peningkatan martabat dan keluhuran pelaku lembaga kekuasaan kehakiman.

 

Tak hanya Bambang yang menyerukan agar kelompok masyarakat mendukung KY untuk mewujudkan peradilan yang bersih. Wakil Ketua KY Thahir Saimima ketika membuka seminar sudah langsung menyuarakan hal serupa. Memberdayakan Komisi Yudisial. Karena itu saya berharap RUU Komisi Yudisial segera dituntaskan oleh DPR sebelum pergantian anggota DPR yang baru, kata Thahir.

 

Masih di tempat yang sama, Anggota Komisi III DPR RI, Lukman Hakim Saifuddin, memberikan alasan mengapa sampai saat ini DPR belum juga mengesahkan RUU Komisi Yudisial. Menurut Lukman ini dikarenakan konsentrasi anggota komisi III tersedot untuk membahas RUU Pengadilan Tipikor. Ia menambahkan, lebih kurang 80 persen Panitia Khusus RUU Pengadilan Tipikor adalah anggota Komisi III. Jadi hanya permasalahan waktu saja, tukasnya.

 

Lagipula, lanjut Lukman, tak ada masalah prinsipil kalau RUU Komisi Yudisial tak disahkan oleh DPR periode sekarang. Hal itu karena UU Mahkamah Agung terbaru No 3 Tahun 2009 sudah bisa menjadi acuan dan payung hukum bagi Komisi Yudisial sendiri untuk menjalankan tugas dan kewenangannya.

Todung Mulya Lubis, Ketua Transparansi Internasional Indonesia memaparkan hasil survey indeks suap di lembaga pengadilan hanya 30 persen. Posisi pengadilan ada di posisi delapan di bawah kepolisian dan imigrasi yang indeks suapnya mencapai 40 persen.

 

Dari segi peringkat, pengadilan memang hanya berada di posisi delapan. Tapi jika dilihat dengan kriteria jumlah rata-rata uang suap yang beredar, pengadilan menempati posisi pertama. Setiap transaksi suap di pengadilan rata-rata sebesar Rp102,4 juta. Bandingkan dengan jumlah rata-rata uang suap di kepolisian maupun imigrasi yang ‘hanya' Rp2,2 dan Rp2,8 juta per transaksi suap. Todung mengungkapkan hasil temuan TII itu dalam sebuah seminar untuk memperingati 4 tahun keberadaan Komisi Yudisial, Selasa (4/8) di Jakarta.

 

Ada beberapa hal yang membuat keadaan peradilan di Indonesia begitu akut. Menurut Todung salah satunya adalah kualitas dari Sumber Daya Manusia (SDM) khususnya yang menduduki posisi hakim. Rekrutmen hakim itu sangat penting karena sekarang kita dihadapkan pada satu kenyataan the best man yang keluar dari fakultas hukum nggak ada yang mau jadi hakim. Maunya jadi konsultan hukum, pengusaha atau masuk deplu, kata Todung

 

Tapi, lanjut Todung, tidak fair kalau hanya menunjuk hakim saja sebagai salah satu ‘aktor' dalam mafia peradilan. Mafia peradilan adalah satu kartel yang melibatkan banyak elemen, lanjutnya. Ia menyebutkan adanya keterlibatan tersangka, terdakwa, jaksa, polisi, advokat yang masuk di dalam kartel mafia peradilan itu yang tidak bisa tidak disalahkan juga. Bahkan Todung juga merasa ada wartawan yang ikut nyemplung kedalam mafia peradilan ini.

 

Menanggapi kritikan Todung, hakim agung Artidjo Alkostar menyatakan bahwa permasalahan inkomepetensi hakim salah satunya karena sistem perekrutan hakim di Indonesia berbeda dari sistem yang ada di luar negeri. Misalnya di Jerman, dimana diadakan pelatihan dan 10 yang terbaik harus menjadi hakim. Atau di negara anglo saxon dimana lawyer dipromosikan sebagai hakim. Artidjo  berharap kedepan akan ada suatu terobosan untuk melakukan perekrutan yang lebih baik lagi.

Halaman Selanjutnya:
Tags: