Hakim Ad Hoc Mulai Bersidang di Pengadilan Niaga
Berita

Hakim Ad Hoc Mulai Bersidang di Pengadilan Niaga

Jakarta, Hukumonline. Selamat datang hakim adhoc! Teka-teki hakim ad hoc di Pengadilan Niaga (PN) terpecahkan sudah. Elyana, SH tampil sebagai hakim ad hoc pertama yang bersidang di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat

Leo/APr
Bacaan 2 Menit
Hakim Ad Hoc Mulai Bersidang di Pengadilan Niaga
Hukumonline
Elyana, mantan Hakim Tinggi, mulai ikut bersidang pada perkara No.45/Pailit/2000 antara BPPN (Pemohon) dengan PT Ometraco (Termohon) dan perkara No.47/Pailit/2000 antara BPPN (Pemohon) dengan PT. Mahajaya Gemilang (Termohon) di Pengadilan Niaga pada 1 Agustus 2000.

Keluarnya Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No.2 Tahun 2000 tentang Penyempurnaan Peraturan Mahkamah Agung No.3 Tahun 1999 tentang Hakim Ad Hoc merupakan salah satu faktor yang mendorong mulai bersidangnya hakim ad hoc di Pengadilan Niaga. Berdasarkan Pasal 1 (1) Perma No.2 Tahun 2000 disebutkan bahwa hakim ad hoc adalah seorang yang ahli di bidangnya dan diangkat oleh presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung (MA).

Walaupun UUK (Undang-Undang Kepailitan) telah mengatur pengangkatan hakim ad hoc, pada kenyataannya tidak mudah untuk menghadirkan hakim ad hoc ke dalam proses persidangan di Pengadilan Niaga.

Pasal 283 (3) UUK menyebutkan bahwa pada Pengadilan Niaga dapat diangkat seorang yang ahli sebagai hakim ad hoc melalui Keputusan Presiden atas usul Ketua MA. Dalam UUK tersebut, tidak dijelaskan atas dasar apa dimungkinkannya pengangkatan hakim ad hoc untuk memeriksa perkara kepailitan.

Diangkat presiden

Kriteria hakim ad hoc disebutkan dalam pasal 283 ayat 2b UUK bahwa hakim yang diangkat harus mempunyai dedikasi dan menguasai pengetahuan di bidang masalah-masalah yang menjadi lingkup kewenangan Pengadilan Niaga. Selanjutnya, tata cara pengangkatan hakim ad hoc diatur dalam Perma No.3 Tahun 1999. Menurut pasal 2 Perma tersebut, hakim ad hoc diangkat oleh presiden atas usul Ketua MA.

Berdasarkan Keppres No.71/M/1999 yang dibuat ketika BJ Habibie masih menjadi presiden, diangkatlah empat orang hakim ad hoc, yaitu Prof. Dr. Rudy Prasetya, SH dari Universitas Airlangga, Prof. Dr. C.F.G. Soenarjati Hartono, SH dari Universitas Padjadjaran, dan dua orang mantan Hakim Tinggi, Setiawan SH dan Elyana, SH

Keluarnya Perma No.3/1999 dan Keppres No.71/M/1999 ternyata juga belum membuat hakim ad hoc bisa ikut bersidang. Ada beberapa kendala teknis yuridis yang belum bisa terselesaikan. Salah satunya adalah penolakan dari salah seorang hakim ad hoc untuk disumpah oleh Pengadilan Negeri (PN).

Penolakan tersebut didasarkan pendapatnya bahwa secara hierarkhi golongan kepangkatan hakim ad hoc yang bersangkutan lebih tinggi dari Ketua Pengadilan Negeri. Oleh karena itu, menurut hakim ad hoc tadi, yang mengambil sumpahnya seharusnya adalah Ketua MA.

Kendala lainnya adalah menyangkut prosedur permohonan untuk mengajukan hakim ad hoc ke dalam persidangan. Apakah boleh di tengah-tengah proses persidangan atau harus diajukan bersamaan dengan diajukannya permohonan pailit.

Dissenting opinion

Kendala lain yang tak kalah pentingnya adalah peranan hakim ad hoc dalam memberikan dissenting opinion (pendapat yang berbeda dengan pendapat majelis hakim lainnya). UUK tidak mengatur apakah kalau ada dissenting opinion harus disampaikan dalam pembacaan putusan atau harus dimuat dalam putusan.

Praktisi hukum Hotman Paris Hutapea berpendapat bahwa selama UUK yang berlaku sekarang belum direvisi, kalau ada dissenting opinion tetap tidak bisa dimuat dalam putusan karena hal itu telah diatur dalam HIR.

Setelah ada revisi UUK dan disahkan oleh DPR barulah kita lihat apakah dalam revisi tersebut dissenting opinion boleh dimuat dalam putusan, kata Hotman Paris yang juga Ketua Asosiasi Pengacara Kepailitan.

Namun sebaliknya, praktisi hukum Abdul Hakim Garuda Nusantara memiliki pendapat yang berbeda. Jangankan dissenting opinion, pendapat dan pertimbangan tiap-tiap anggota Majelis Hakim (yang bersidang dengan atau tanpa tanpa hakim ad hoc) seharusnya juga dicantumkan dalam putusan agar ada transparansi dalam pengambilan putusan.

Kendala-kendala tersebut ternyata sudah teratasi dengan dikeluarkannya Perma No.2 Tahun 2000 yang salah satu isinya mengatur masalah dissenting opinion. Dalam Perma ini pada bagian menimbang menyebutkan bahwa dengan adanya prinsip transparansi dan profesionalisme dalam putusan perkara kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran urtang, apabila terdapat perbedaan pendapat (dissenting opinion) maka akan dicantumkan dalam lampiran putusan.

Hal itulah yang menyebabkan kesediaan Elyana, SH untuk menjadi hakim ad hoc pertama yang disumpah dan pertama ikut dalam persidangan. Ellyana membenarkan bahwa keluarnya Perma No.2 Tahun 2000 telah mendorong dirinya untuk bersedia disumpah dan ikut bersidang dalam proses persidangan di Pengadilan Niaga.
Tags: