Sebuah Keharusan, Keberadaan Undang-undang Khusus Bank Syariah
Utama

Sebuah Keharusan, Keberadaan Undang-undang Khusus Bank Syariah

Saat ini eksistensi bank syariah tidak bisa bilang pelengkap lagi dalam sistem keuangan yang ada. Namun begitu, bukan berarti perkembangan bank syariah bukan tanpa masalah.

Tri Hartanto
Bacaan 2 Menit
Sebuah Keharusan, Keberadaan Undang-undang Khusus Bank Syariah
Hukumonline


Hal yang paling menarik dan patut menjadi perhatian sekaligus kajian adalah nilai FDR bank syariah ini, ternyata jauh lebih baik dari FDR bank konvensional yang pada Agustus 2002 baru mencapai 46,47 persen. Data ini menunjukkan produktivitas bank syariah dalam menyalurkan pembiayaan, jauh lebih baik dibandingkan bank konvensional.

Seiring meningkatnya perkembangan bank syariah, pengamat hukum perbankan Prof. Sutan Remy Syahdeini menilai, sudah saatnya bank syariah di topang dengan regulasi yang memadai. Sampai saat ini Undang-undang yang mengatur bank syariah masih campur dengan bank konvensional. Perlu ada undang-undang khusus, karena antara bank syariah dengan konvensional sangat berbeda, tuturnya.

 

Bertolak belakang

Perbedaan mencolok yang mengharuskan dibentuknya UU tersendiri di luar UU Perbankan yang telah ada (UU No. 7 tahun 1999 sebagaimana yang telah direvisi dengan UU No. 10 tahun 1999 tentang Perbankan) diantaranya adalah banyaknya jenis jasa bank syariah yang tidak dapat ditawarkan karena terpentok aturan perbankan yang sudah ada.


Remy yang ditemui hukumonline di ruang kerjanya menyebutkan adanya batasan praktek perbankan dalam Pasal 6 dan 7 UU Perbankan yang melarang bank melakukan penyertaan modal, kecuali pada bank atau perusahaan lain di bidang keuangan. Hal ini tentu bertolak belakang dengan praktek bank syariah.

 

Salah satu jenis usaha bank syariah adalah melakukan transaksi penjualan antara lain dalam bentuk yang disebut murabaha. Ini kan jadi bertolak belakang kalau bank syariah dilarang melakukan usaha yang menjadi fokus usahanya, ucap Remy.

 

Transaksi murabaha adalah jasa pembiayaan yang mengambil bentuk transaksi dengan cicilan di mana harga barang harus telah terlunasi ketika barang diserahkan. Dalam prakteknya bank syariah seharusnya juga dapat melakukan leasing yang menurut UU Perbankan tidak boleh dilakukan oleh bank.

 

Pada saat ini, berbagai produk syariah ditawarkan kepada masyarakat. Perbankan syariah antara lain menawarkan, simpanan amanah, tabungan dan deposito wadi'ah (titipan), tabungan dan deposito mudharabah (bagi hasil), pembiayaaan mudharabah, pembiayaan musyarakah (pembiayaan bersama), dan pembiayaan Al-bai'u bithaman ajil (pembelian barang oleh bank dan dijual kepada nasabah dengan menaikkan harganya).

 

Tentu saja melihat hal ini, menurut Remy, menuntut dibentuknya UU tersendiri bagi bank syariah di luar ketentuan Perbankan yang telah ada. Selain adanya masalah prakteknya, sistem akuntansi antara bank syariah juga perbedaan dengan bank konvensional. Sehingga laporan keuangan, yakni neraca laba/rugi dari bank syariah akan berbeda dengan yang konvensional.

 

Adanya hambatan praktek yang dihadapi bank syariah diakui Bank Indonesia (BI). Nasirwan, salah seorang peneliti dalam Tim Penelitian dan Pengaturan Biro Perbankan Syariah BI, mengemukakan bahwa BI tidak menutup mata terhadap berbagai hambatan yang dihadapi perbankan syariah.

 

Namun begitu, ia mengemukakan, BI menerapkan perlakuan khususnya terhadap bank-bank syariah. Hal ini, lanjut Nasirwan, merupakan konsekuensi logis dari perbedaan karakteristik antara bank konvensional dengan bank syariah. Tapi bukan merupakan kemudahan/fasilitas bagi bank syariah. Misalnya BI mengizinkan modifikasi dari sistem musyarakah sehingga bisa comply dengan UU Perbankan yang ada, tuturnya.

 

Soal perlunya UU khususnya bank syariah, BI pun mempunyai pendapat senada dengan Prof. Remy. Bahkan, BI telah meminta Prof. Remy  untuk membuatkan draf UU Perbankan Syariah. Menurut Prof. Remy, kemungkinan draf itu akan selesai dalam waktu dua atau tiga bulan mendatang.

 

Dalam rangka pengembangan bank syriah, BI sendiri, per  Nopember 2003 sudah membentuk direktorat perbankan syariah. Sebelumnya pengurusan dan pengembangan syariah di BI ditangani bagian setingkat biro.

 

Tabel : Perkembangan regulasi bank syariah

Tahun

Perkembangan

1990 (Lokakarya MUI)

Kesepakatan untuk membentuk bank syariah

1992 (Pengenalan dual bangking system)

UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan yang memberikan kesempatan operasi bagi hasil

Bank Muamalat sebagai bank syariah pertama sebagai hasil kongres MUI

1998 (Pengenala dual system bank)

UU No. 10 tahun 1998, BI mengakui keberadaan bank syariah dan bank konvensional

Bank konvensional diperkenankan membuka kantor cabang syariah

1999 (Pengenalan instrumen moneter syariah)

UU No. 23 tahun1999; BI bertanggung jawab terhadap pengaturan dan pengawasan perbankan termasuk bank syariah

Bi berwenang untuk menetapkan kebijakan moneter berdasarkan prinsip syariah

Berdirinya bank umum syariah kedua

Dibukanya unit usaha syariah pertama

2000 (Pengenalan pasar uang syariah)

Penyusunan peraturan perbankan syariah oleh BI

Pengenalan instrumen pasar uang syariah

2002 (Penyempurnaan jaringan kantor)

PBI No. 4/1/2002 :

Konversi BUK menjadi BUS

Konversi KCK menjadi KCS

Konversi KCP/KK menjadi KCS

Membuka KCPS di KCK

Membuka unit syariah (US) di KCK

Sumber : BI

 

Perhatian semua pihak

Sejauh ini berdasarkan survei persepsi pada tahun 2000-2001 yang dilakukan BI, potensi perkembangan bank syariah cukup menggembirakan. Berdasarkan survei dari total enam propinsi yang rata-rata populasinya muslimnya 97 persen, terdapat 42 persen yang menganggap sistem bunga bertentangan dengan ajaran agama. Sedangkan yang memahami produk jasa dan manfaat bank syariah berjumlah 11 persen.

 

Persentase 42 persen persepsi masyarakat bahwa bunga haram merupakan potensi yang besar bagi pengembangan bank syariah. Pasalnya, mereka sangat mengharapkan alternatif pilihan untuk melakukan investasi yang didasarkan atas syariah. Nah, sistem bagi hasillah (profit loss sharing) yang merupakan motor pengerak bank syariah menjadi pilihan utama umat.

 

Sesungguhnya, bagi hasil sebenarnya sesuai dengan iklim usaha yang memiliki kefitrahan untung atau rugi. Tidak seperti karakteristik bunga yang memaksa agar hasil usaha selalu positif. Jadi penerapan sistem bagi hasil pada hakikatnya menjaga prinsip keadilan tetap berjalan dalam perekonomian.  

 

Namun begitu, berdasarkan survei persepsi yang dilakukan BI menunjukkan adanya kesenjangan antara kebutuhan akan jasa keuangan yang sesuai dengan prinsip syariah dengan pengetahuan mengenai jenis-jenis produk serta operasional sistem perbankan syariah.

 

Rendahnya pemahaman masyarakat terhadap sistem perbankan syariah merupakan kendala eksternal tersendiri yang dihadapi bank syariah. Berdasarkan survei BI, meski 90 persen masyarakat Indonesia adalah komunitas muslim, masih terdapat keragaman pandangan terhadap lembaga keuangan syariah. Bahkan masih ada pandangan yang keliru. Lembaga keuangan syariah masih diasosiasikan dengan lembaga yang lebih berorientasi sosial ketimbang komersial.

 

Akibat kesenjangan ini mengakibatkan rendahnya laju perpindahan permintaan dari yang bersifat potensial menjadi permintaan riil yang akhirnya akan menyebabkan kurang berhasilnya usaha untuk memobilisasi sumber-sumber dana masyarakat yang potensial sebagai dana investasi.  Institusi pendukung pengembangan bank syariah dinilai juga masih minim.

 

Sedangkan kendala eksternal lainnya adalah keperluan hadirnya lembaga keuangan pendukung, seperti auditor syariah, yang bertugas memastikan pemenuhan pelaksanaan prinsip syarian oleh bank, dan lembaga reksadana syariah yang berguna menciptakan sinergi yang lebih luas dan menumbuhkan persaingan yang sehat.

 

Pengamat ekonomi sekaligus nasabah bank syariah, Faisal H. Basri berpendapat, rendahnya pemahaman masyarakat Indonesia terhadap bank syariah merupakan kesalahan  dari para pelaku bank syariah sendiri. Para praktisi bank syariah, lanjut Faisal, kurang sekali melakukan terobosan maupun kreativitas terhadap pengembangan produk-produk bank syariah.

 

Kendala lain perkembangan bank syariah adalah penerapan sistem akuntansi syariah. Sampai saat ini, perbankan syariah belum menerapkan sistem akuntansi syariah yang diakui secara nasional.

 

Hal ini, menurut Faisal, tidak terlepas dari rendahnya kualitas sumber daya manusia para penggerak bank syariah. Di samping persoalan mendasar lain mengapa perkembangan bank syariah terkesan lambat. Ini disebabkan sebagian besar pelaku bank syariah adalah orang-orang yang selama ini bergerak di bank konvensional. Kalau mau maju kita harus mencari orang-orang baru, cetus Faisal.


Untungnya, meski menghadapi kendala internal bagaimana menyediakan sumber daya manusia dan penyediaan infrastruktur. Belakangan ini sudah bermunculan berbagai lembaga pendidikan dan pelatihan serta konsultan bisnis yang cukup membantu perkembangan lembaga keuangan syariah. Antara lain, Syariah Ekonomic Banking Institute (SEBI), Tazkia Institute yang membuka Sekolah Tinggi Syariah, Karim Business Consulting (KBC), sampai program S2 Kajian Ekonomi Syariah Universitas Indonesia.

 

Untuk keperluan pengembangan ke depan, berbagai kendala dan tantangan tersebut perlu memperoleh jawaban. Untuk itulah, perangkat hukum yang memadai, berupa UU bank syariah tersendiri, termasuk pengaturan lembaga keuangan syariah yang lengkap, perlu segera diwujudkan. Pemerintah, termasuk Bank Indonesia dan DPR merupakan pihak-pihak yang diharapkan memberikan perhatian khusus menyangkut hal ini.

Cetak biru BI terhadap target pencapaian bank syariah untuk meraih posisi yang menentukan (5 persen) bukanlah isapan jempol belaka. Paling tidak ini terlihat dari tingkat perkembangan bank syariah dalam beberapa tahun terakhir yang menunjukkan pertumbuhan yang mengesankan, baik dari volume usaha, jumlah jaringan kantor maupun performance.

 

Sebagai ilustrasi. Perkembangan bank syariah yang pada Desember 2000 hanya ada 112 kantor, tapi pada Agustus 2003 jumlah kantor bank syariah sudah menjadi 188 kantor. Sedangkan dari sudut volume, usaha transaksi bank syariah terus meningkat dari Rp1,8 triliun pada Desember 2000 menjadi Rp6,2 triliun pada Agustus 2003. 

 

Di samping performace bank syariah yang berada di atas rata-rata nasional. Peningkatan bank syariah juga tercermin dari financing deposit ratio (FDR) yang mencapai 108,03 persen pada Agustus 2003 dengan tingkat kredit macet yang cukup kecil, 3,91 persen.

Halaman Selanjutnya:
Tags: