MK Dituding Manipulasi Fakta Persidangan UU Penodaan Agama
Berita

MK Dituding Manipulasi Fakta Persidangan UU Penodaan Agama

MK membantah segala tudingan. Ketua MK menyebut para pemohon anak muda yang genit kebablasan.

Oleh:
Fat/Ali
Bacaan 2 Menit
MK Dituding Manipulasi Fakta Persidangan UU Penodaan Agama
Hukumonline

Gagal di Mahkamah Konstitusi (MK),  pemohon uji materi UU No 1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama mengadu ke DPR. Kamis (22/4), mereka mendatangi Fraksi PDIP. Fraksi partai berlambang banteng moncong putih itu diminta untuk melakukan eksaminasi terhadap putusan MK yang menyatakan UU Penodaan Agama konstitusional. Putusan itu dinilai pihak pemohon janggal.

 

Uli Parulian Sihombing, salah seorang kuasa hukum pemohon, menuding MK telah melakukan manipulasi fakta persidangan. Uli, misalnya, mengutip bunyi pertimbangan putusan MK bahwa Komnas HAM merekomendasikan agar UU Penodaan Agama tidak dicabut karena masih dibutuhkan.

 

Padahal, kata Uli, justru menyatakan bahwa Pasal 1 sebaiknya dicabut, sedangkan Pasal 4 direvisi. “Ini membuktikan, bahwa putusan MK mengenyampingkan perbedaan pendapat Ketua komnas HAM Ifdhal Kasim terkait Pasal 1 dan Pasal 4,” ujar Uli yang mengklaim memiliki bukti notulensi persidangan.

 

Manipulasi fakta lainnya, urai Uli, ketika MK menyatakan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri tertanggal 14 Maret 2006 tentang Pencatatan Perkawinan Penghayat Kepercayaan, khususnya poin 2 dan 3, tidak ada kaitannya dengan UU Penodaan Agama. “Pernyataan MK ini salah,” tukasnya. Surat edaran tersebut justru menyebutkan bahwa perkawinan akan dicatat oleh kantor catatan sipil apabila masyarakat tersebut menundukkan diri pada salah satu agama berdasarkan UU Penodaan Agama.

 

Uli juga mempersoalkan pertimbangan MK yang menyatakan jika UU penodaan ini dicabut maka kekerasan atas nama agama akan terjadi. Pertimbangan ini, menurut Uli, bertentangan dengan keterangan ahli Prof Nur Syam. “Setidaknya selama waktu empat bulan dengan 12 kali persidangan terlihat hakim di MK tidak independen dan sangat subjektif. Ini menunjukkan wibawa MK semakin berkurang,” katanya.

 

Kuasa Hukum pemohon lainnya, Choirul Anam menilai putusan MK semakin menegaskan bahwa diskriminasi benar terjadi di negara ini. Diskriminasi itu di antaranya terlihat dari struktur Departemen Agama yang hanya mengadakan Direktorat Jenderal untuk agama tertentu. Menurutnya, agama dan  kepercayaan lain seharusnya juga memiliki direktorat jenderal.

Tags: