Komnas HAM Optimis Penyelidikan Peristiwa 65 Rampung Tahun ini
Berita

Komnas HAM Optimis Penyelidikan Peristiwa 65 Rampung Tahun ini

Peristiwa 1965 tidak semestinya dilupakan begitu saja. Apalagi, jika memang benar telah terjadi pembunuhan massal dengan jumlah korban jutaan orang.

Oleh:
DNY
Bacaan 2 Menit
Komnas HAM optimis penyelidikan peristiwa 1965 rampung <br> tahun ini, foto: Sgp
Komnas HAM optimis penyelidikan peristiwa 1965 rampung <br> tahun ini, foto: Sgp

Empat puluh lima tahun sudah peristiwa Gerakan 30 September berlalu. Peristiwa yang populer disingkat G30S atau Peristiwa 65 inilah yang menjadi pangkal dinobatkannya 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila. G30S bukan semata-mata tentang terbunuhnya enam orang jenderal Angkatan Darat yang kemudian dikenal sebagai Pahlawan Revolusi.

 

Di luar para jenderal, nasib naas juga dialami ribuan atau bahkan jutaan orang lainnya yang menjadi korban stigma PKI. Pemerintahan Orde Baru pimpinan Soeharto menyebarkan stigma buruk tidak hanya kepada PKI, tetapi juga organisasi yang dituding dekat dengan PKI seperti Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) ataupun Lembaga Kebudajaan Rakjat (Lekra).

 

Korban peristiwa 65 (30 September 1965, red.) itu mengalami penderitaan luar biasa,” ungkap Wakil Ketua Komnas HAM bidang Eksternal Nurkholis kepada hukumonline melalui sambungan telepon. Imbas stigma buruk itu, lanjutnya, juga dirasakan anggota keluarga aktivis Gerwani dan Lekra.

 

Mereka, kata Nurkholis, ditangkap lalu dipenjara puluhan tanpa proses pengadilan. Setelah keluar dari penjara pun, mereka masih diperlakukan diskriminatif. Misalnya, KTP ditandai dengan hufuf XT (X-Tapol-red), sehingga mereka tidak bisa mendapatkan pekerjaan. Keturunan mereka pun tidak bisa menjadi pegawai negeri sipil. Sayangnya,  meskipun tidak separah orde baru, pasca bergulirnya reformasi stigma buruk terhadap para korban 65 masih berlanjut.

 

Imbas dari stigma buruk lainnya adalah berupa pelarangan buku. Tahun 2007, pembakaran buku-buku sejarah pernah terjadi. Meminjam istilah Sejarahwan Asvi Warman Adam dalam sebuah seminar beberapa bulan lalu, aksi pelarangan buku yang terjadi sepanjang tahun 2007 adalah peristiwa pelarangan buku paling biadab.

 

Pembakaran buku tersebut merupakan buntut Keputusan Jaksa Agung yang melarang sejumlah buku sejarah beredar di masyarakat. Yang dilarang adalah buku yang tak mencantumkan kata PKI dalam penulisan peristiwa G30S, beberapa di antaranya ditemukan pada buku-buku teks sejarah untuk SMP dan SMA.

 

Dua tahun kemudian pelarangan buku kembali terjadi. Kali ini, menimpa buku "Dalih Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto" karya John Roosa. Sejumlah kalangan menilai buku terbitan Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI) dan Hasta Mitra ini sebenarnya hanyalah sebuah karya yang bersifat akademik.

Halaman Selanjutnya:
Tags: