LSM Kritik Penggunaan KUHP Militer untuk Kasus Papua
Berita

LSM Kritik Penggunaan KUHP Militer untuk Kasus Papua

Penggunaan Pasal 103 ayat (1) KUH Pidana Militer terhadap empat anggota TNI yang didakwa menganiaya warga Papua dinilai tak tepat. Pasal itu tak berbicara mengenai penganiayaan tetapi ‘hanya melanggar perintah atasan’.

Oleh:
Ali
Bacaan 2 Menit
LSM kritik penggunaan KUHP militer untuk<br> Kasus Papua, Foto: Ilustrasi (Sgp)
LSM kritik penggunaan KUHP militer untuk<br> Kasus Papua, Foto: Ilustrasi (Sgp)

Kasus dugaan penganiayaan yang dilakukan anggota TNI terhadap warga Papua yang diduga sebagai aktivis Organisasi Papua Merdeka (OPM) beberapa waktu lalu menimbulkan kontroversi. Penganiayaan yang sempat terekam dan ditayangkan di situs video terbesar di dunia, www.youtube.com, ini menuai kecaman dari dalam maupun luar  negeri.

 

Tak mau terus menerus dikritik, TNI pun langsung mengambil langkah cepat. Oditur Militer bahkan telah melimpahkan kasus ini ke Pengadilan Militer III-19 di Papua. Dakwaan terhadap empat anggota TNI yang menjadi terdakwa telah dibacakan pada akhir pekan lalu, Jumat (5/8). Hari ini, Senin (8/11), sidang kembali digelar untuk mendengarkan keterangan saksi.

 

Namun, langkah cepat Oditur Militer ini dianggap sebagai angin lalu oleh aktivis HAM. Koordinator Peneliti Imparsial Batara Ibnu Reza mengkritisi penggunaan KUHP Militer dalam kasus ini. “Pasal yang digunakan ancaman hukumannya maksimal hanya dua tahun,” ujarnya di Jakarta, Senin (8/11).

 

Sekedar mengingatkan, empat terdakwa yang dibawa ke meja hijau adalah Praka Sahminan Husein Lubis (Anggota Pos Gurage), Prada Dwi Purwanti (Anggota Pos Gurage), Prada Joko Sulistiono (Anggota Pos Kalome), dan Letnan Dua Infantri Cosmos. Mereka didakwa dengan Pasal 103 ayat (1) KUHPM jo Pasal 55 KUHP.

 

Batara menjelaskan pasal ini memang kerap menjadi favorit Oditur Militer untuk menjerat prajurit TNI yang bermasalah. Namun, lanjutnya, untuk konteks penganiayaan berat seperti kasus Papua sangat tidak tepat menggunakan Pasal 103 ayat (1) KUHPM. “Pasal ini mengatur tentang tindakan menolak atau dengan sengaja tidak mentaati suatu perintah dinas,” tuturnya.

 

Lebih lanjut, Batara menduga sebagai usaha memutus rantai komando dengan perintah interogasi yang dilakukan oleh terdakwa dalam peristiwa itu. Terdakwa memang sempat berdalih bahwa tindakannya itu sebagai bentuk interogasi terhadap aktivis OPM yang menyimpan senjata AK-47. “Ini upaya memutus rantai komandan dengan komandan mereka,” duganya.

 

Direktur Program Imparsial Al Araf meminta agar Komnas HAM untuk segera menyelidiki kasus ini. Bila pengadilan militer tak menyentuh kasus penyiksaannya, ia berharap Komnas HAM bisa melakukan itu. “Komnas HAM harus menyelidiki penyiksaan yang termasuk dalam pelanggaran HAM mengingat penyiksaan tidak masuk dalam dakwaan dalam pengadilan militer,” jelasnya.

 

UU Peradilan Militer 

Al Araf menambahkan kasus ini seharusnya bisa menjadi cambuk Pemerintah dan DPR untuk merevisi UU No 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. “Seharusnya, undang-undang itu segera direvisi. Anggota militer harus bisa diadili di peradilan umum atau peradilan HAM,” ujarnya.

 

Selama ini, lanjutnya, anggota militer yang melakukan tindak pidana terhadap rakyat sipil selalu diadili di pengadilan militer. Padahal, aturan dan ancaman hukuman dalam KUHP Militer tak cukup memberi efek jera kepada para militer tersebut. “Ancaman hukumannya sangat ringan,” tambahnya.

 

Sebelumnya, Anggota Komisi I DPR Effendy Choirie mengatakan meski tak diagendakan pada 2010, ia berharap RUU Peradilan Militer tetap bisa dibahas kembali pada 2011 mendatang. Menurut Effendy, RUU yang hampir rampung seharusnya dibahas kembali pada periode berikutnya.

 

Politisi PKB ini menegaskan bahwa revisi UU Peradilan Militer merupakan bagian dari reformasi di lingkungan TNI untuk aspek hukum. Menurutnya, setiap warga negara Indonesia yang melakukan tindak pidana umum, termasuk anggota militer, harus diadili di peradilan umum.

 

Di periode yang lalu, revisi ini sudah hampir selesai. “Tinggal dua pasal atau satu pasal yang terkait dengan prajurit yang melakukan tindak pidana umum,” terang Effendy. “Menurut keinginan tentara tetap diadili di pengadilan militer. Sementara menurut kita, itu diadili di peradilan umum,” lanjutnya.

 

Walaupun revisi UU peradilan Militer terhambat hanya karena satu permasalahan, Effendy mengaku tidak akan berkompromi. Dia menilai bahwa anggota militer yang melakukan tindak pidana umum, mutlak harus diadili di peradilan umum. “Kalau sesuai dengan reformasi hukum ya harus iya,” tegasnya.

 

Tags: