Membangun Peran Penting Pelaku Perkawinan Lintas Negara
Perca Indonesia

Membangun Peran Penting Pelaku Perkawinan Lintas Negara

Perca Indonesia. Salah satu wadah yang menaungi kebutuhan dan aspirasi masyarakat perkawinan campuran secara terpadu.

Oleh:
Dny/Mys
Bacaan 2 Menit
Membangun peran penting pelaku perkawinan lintas negara, <br> Foto: Istimewa
Membangun peran penting pelaku perkawinan lintas negara, <br> Foto: Istimewa

“Yang kami inginkan tidak aneh-aneh”. Kata-kata tegas itu diucapkan Melva Nababan di suatu sore ketika berbincang dengan hukumonline. “Hak kami sebagai warga negara Indonesia, yang masih boleh membangun satu keluarga yang sejahtera dan utuh”. Dalam membangun rumah tangga itu, seyogianya tidak ada diskriminasi. Apalagi memandang sebelah mata terhadap warga negara Indonesia yang menikah dengan warga negara asing.

 

Melva bukan orang pertama yang menikah dengan warga negara asing, dan bukan satu-satunya perempuan Indonesia yang memperjuangkan nasib pelaku perkawinan campuran. Bersama ratusan teman senasib, Melva membangun komunitas bernama Masyarakat Perkawinan Campuran Indonesia, disingkat Perca Indonesia. Dalam struktur organisasi yang diperkenalkan ke publik sejak 14 Mei 2008 ini, kini Melva duduk sebagai Ketua Dewan Pengawas.

 

Pendirian Perca Indonesia tentu bukan sekadar tempat bernostalgia bagi perempuan Indonesia yang menikah dengan pria asing, atau sebaliknya. Didirikan dengan Akta Pendirian Perkumpulan di depan notaris Soetjipto, Perca Indonesia punya visi yang tegas: membangun peran penting masyarakat perkawinan campuran bagi Indonesia.

 

Tak dapat dipungkiri, selama puluhan tahun nasib WNI –khususnya perempuan—yang menikah dengan orang asing sering terkatung-katung. Malah acapkali terseret ke problematika hukum yang rumit, antara lain karena posisi mereka sebagai sponsor bagi suami. Masalahnya beragam, mulai dari rebutan anak, pembagian harta, hingga posisi hukum masing-masing pasangan (misalnya jika terjadi perceraian). Inilah ironi yang terjadi ketika WNI menikah dengan WNA.

 

Salah satu yang membuat ironi itu adalah keterbatasan akses dan komunikasi para pelaku perkawinan campuran. Menyadari hal itu, para pelaku perkawinan campuran, termasuk anggota Perca Indonesia, aktif menyuarakan kesamaan perlakuan hukum. Tercatat betapa para pelaku perkawinan secara serius mengadvokasi proses pembahasan RUU Kewarganegaraan –kemudian menjadi UU No. 12 Tahun 2006. Perjuangan mengawal UU ini bisa dibilang berhasil, terutama menyangkut kewarganegaraan anak hasil perkawinan campuran.

 

Anggota Perca Indonesia juga ikut mengawal proses pembahasan RUU Keimigrasian di Senayan. Bukan hanya mengirimkan surat dan memberikan masukan tertulis tetap juga turun langsung mengawal proses pembahasan. Saat itu Perca sempat mengusulkan konsep izin tinggal tetap dimasukkan ke dalam RUU Keimigrasian. Lepas dari masuk tidaknya usulan itu, yang lebih hakiki adalah pengakuan terhadap para pelaku perkawinan campuran. “Bisa juga melakukan kegiatan-kegiatan sebagai anggota masyarakat, dalam arti bisa berkarya, bisa berpenghidupan,” kata Ani, panggilan Juliani W. Luthan, Wakil Ketua Perca Indonesia.

 

Mengawal proses pembuatan peraturan perundang-undangan sudah menjadi salah satu agenda Perca. Selain revisi UU Ketenagakerjaan, pekerjaan rumah para aktivis Perca adalah mengawal regulasi properti. Menteri Negara Perumahan Rakyat dan Kepala Badan Pertanahan Nasional tengah menggodok kemungkinan asing memiliki properti di Indonesia. Menurut Melva, lewat pertemuan anggota, masalah-masalah hukum itu acapkali dibahas. Adakalanya proses pembahasan itu dilakukan serius bersama pemangku kepentingan. Pada 20 Juli lalu, misalnya, pengurus Perca Indonesia berkeliling Batam, Jakarta, dan Bali dalam rangka Roadshow Lingkar Studi tentang Keimigrasian. Tiga kota itu dianggap ‘kantong domisili’ pelaku perkawinan campuran.

Tags: