Konsep CSR dalam UU Perseroan Terbatas Dinilai Keliru
Berita

Konsep CSR dalam UU Perseroan Terbatas Dinilai Keliru

Keterlibatan perusahaan dalam forum multipihak belum secara formal dan optimal. Masih sebatas tamu undangan.

Mys
Bacaan 2 Menit
CSR bukan hanya mempekerjakan warga sekitar, membangun <br>jalan, mendirikan sekolah, tetapi juga bagaimana<br> perusahaan menangani konsumen. Foto: Ilustrasi (Sgp)
CSR bukan hanya mempekerjakan warga sekitar, membangun <br>jalan, mendirikan sekolah, tetapi juga bagaimana<br> perusahaan menangani konsumen. Foto: Ilustrasi (Sgp)

Konsep Corporate Social Responsibility (CSR) atau Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dinilai keliru. Konsep CSR terbaru versi ISO 26000 justru memberikan pengertian yang lebih luas dan terarah. CSR bukan hanya menyangkut isu mempekerjakan warga sekitar atau membangun jalan dan mendirikan sekolah, tetapi juga bagaimana perusahaan menangani konsumen.

 

Kritik terhadap konsep CSR dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas (UUPT) disampaikan peneliti Lingkar Studi CSR, Jalal, dalam seminar ‘Transparansi Migas dan Pembangunan Berkelanjutan: Inovasi Blora dan Bojonegoro’ di Jakarta, Kamis (02/12). “CSR salah didefinisikan di Indonesia,” tegas Jalal. “Definisi dalam UUPT itu ketinggalan zaman,” sambungnya.

 

Pasal 1 angka 3 UUPT menyebutkan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya. Definisi ini tidak sejalan dengan pasal 74 ayat (1) yang membatasi tanggung jawab CSR hanya pada perusahaan industri ekstraktif.

 

CSR, kata dia, harus dipandang dalam arti luas. Tata kelola perusahaan yang baik adalah wujud CSR. Tata kelola itu diwujudkan lagi dalam bentuk transparansi dan akuntabilitas. “Perusahaan yang tidak transparan dan akuntabel sudah mati CSR-nya,” kata dia.

 

Sebagai regulator, Pemerintah seyogianya tidak puas hanya dengan laporan tahunan perusahaan. Laporan tahunan perusahaan tak menggambarkan secara jelas konsep CSR sebagaimana dalam UUPT. Laporan perusahaan seharusnya memperlihatkan kesinambungan (sustainable report) tindakan perusahaan dalam aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan.

 

Menurut dia, ukuran dan konsep CSR di Indonesia seharusnya mengikuti standar-standar global. Pemerintah juga tidak berkutat pada UUPT semata. Ia menyinggung pentingnya menyesuaikan konsep CSR dengan ISO 26000. Konsep guidance standard on social responsibility dalam ISO ini sudah diperkenalkan sebelum UUPT disahkan, sehingga pembuat Undang-Undang bisa memproyeksikan perkembangan. ISO 26000 sendiri baru dilansir resmi pada 1 November lalu dan sudah menjadi rujukan konsep dan implementasi CSR pada level internasional.

 

Kelemahan lain dalam konsep CSR di Indonesia adalah sifat wajib. Yanti Koestoer, Direktur Eksekutif Indonesia Business Link juga pernah menyinggung masalah ini. Yanti dan Jalal berpendapat sifat CSR seharusnya adalah sukarela.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait