RUU Penanganan Fakir Miskin Bukan Solusi Tunggal
Kolom

RUU Penanganan Fakir Miskin Bukan Solusi Tunggal

Adanya pemikiran akan kebutuhan terhadap RUU Penanganan Fakir Miskin ini sebenarnya justru mencerminkan bahwa keberpihakan DPR dan Pemerintah selama ini masih minim.

Bacaan 2 Menit
RUU Penanganan Fakir Miskin Bukan Solusi Tunggal
Hukumonline

Pembentukan undang-undang kerap dianggap sebagai satu-satunya solusi atas permasalahan yang muncul di masyarakat. Namun, dalam kenyataannya tidak semua undang-undang sehebat itu, bahkan tanpa disertai dengan kebijakan-kebijakan lanjutan, suatu undang-undang cenderung tidak berjalan di masyarakat. Anggapan ini pula yang sepertinya ada di benak DPR dan Pemerintah dalam memandang permasalahan penanganan fakir miskin. Kedua lembaga pembentuk undang-undang ini sepakat ingin membentuk RUU Penanganan Fakir Miskin.

 

RUU ini resmi diusulkan oleh DPR per-tanggal 27 September 2010, melalui Rapat Paripurna DPR. RUU ini termasuk dalam Prolegnas 2009-2014, dan kemudian masuk pada prioritas tahun 2010. Namun, pembahasan RUU Penanganan Fakir Miskin belum selesai sampai akhir tahun 2010, sehingga akhirnya RUU ini diluncurkan menjadi RUU prioritas pada tahun anggaran 2011.

 

Pembahasan RUU Penanganan Fakir Miskin tidak terlalu santer diberitakan di media. Akibatnya, tidak banyak masyarakat yang menaruh perhatian pada RUU ini. Padahal setidaknya ada dua hal yang menjadikan RUU Penanganan Fakir Miskin menarik untuk didiskusikan. Pertama, substansi dari RUU ini sangat berkaitan dengan Konstitusi, yaitu Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Sehingga, dapat dikatakan bahwa substansi dari RUU Penanganan Fakir Miskin akan mengatur terkait dengan hak konstitusional dari warga negara.

 

Kedua, selama ini belum ada undang-undang yang substansinya berkaitan atau memiliki keberpihakan terhadap masyarakat yang termarjinalkan, seperti masyarakat miskin, perempuan, anak, atau difabel. Sehingga dapat dikatakan bahwa RUU ini bagaikan oase di tengah maraknya RUU politik yang sedang banyak dibahas.

 

Selain jarang diberitakan, penyebutan judul dari RUU ini pun kerap keliru. Judul resmi dalam Draf terbaru adalah “Penanganan Fakir Miskin”Namun, dalam beberapa kesempatan, baik anggota DPR maupun Menteri Sosial saat ini, kerap menyebutnya sebagai RUU “Fakir Miskin”. Kesalahan ini bukanlah hal yang sepele, terutama di tengah minimnya sosialisasi kepada masyarakat.

 

Dampak yang paling dirasakan adalah masyarakat menjadi bingung apa sebenarnya yang ingin diatur dalam undang-undang ini, mengingat istilah “Fakir Miskin” memiliki cakupan yang sangat luas. Sehingga, hal ini penting untuk diperhatikan dalam strategi sosialisasi RUU, karena walau bagaimanapun hak konstituen untuk mengetahui secara benar dan menyeluruh perihal RUU ini harus tetap menjadi prioritas.

 

Isu Krusial

Dalam catatan penulis, setidaknya ada dua isu krusial yang patut diperhatikan dalam pembahasan RUU Penanganan Fakir Miskin ini, yaitu terkait dengan definisi dari istilah Fakir dan Miskin, serta penentuan standar kemiskinan.

Halaman Selanjutnya:
Tags: