Tuna Netra Gugat Panitia Ujian Advokat
Berita

Tuna Netra Gugat Panitia Ujian Advokat

Lantaran tak diizinkan menggunakan software khusus di komputer untuk tuna netra.

Ali
Bacaan 2 Menit
Tuna Netra Gugat Panitia Ujian Advokat
Hukumonline

Orang buta atau tuna netra dilarang menjadi advokat. Kalimat itu mungkin yang ada di benak Deanna Jones, wanita berusia 44 tahun asal Amerika Serikat (AS). Lulusan Vermont Law School ini terancam tidak bisa meneruskan cita-citanya sebagai advokat karena ujian advokat di Amerika Serikat ternyata “tidak ramah” untuk tuna netra.

 

Sebagaimana dilansir http://www.vermonttoday.com, Jones menggugat The National Conference of Bar Examiners (Panitia ujian advokat yang dibentuk oleh organisasi advokat Amerika Serikat) dan The Act Inc. Testing Company (ACT, perusahaan yang mengelola ujian ini). Pihak tergugat dinilai tak mengakomodasi tes khusus untuk para tuna netra yang ingin menjadi advokat di Vermont, Amerika Serikat. Padahal, para tuna netra membutuhkan alat khusus dalam mengikuti setiap ujian.

 

Alat itu adalah dua perangkat lunak (software) komputer yang dapat membantu tuna netra membaca dengan baik. Alat semacam ini yang kerap digunakan ketika kuliah di Fakultas Hukum. Alat ini juga yang membantu Jones sehingga ia memperoleh nilai rata-rata B di kampusnya.

 

Masalahnya, sistem ujian advokat yang dikenal dengan The Multistate Profesional Responsibility Examination masih menggunakan pensil dan kertas ujian. Tanpa komputer, sehingga tentu saja software khusus untuk para tuna netra juga tak bisa digunakan.

 

“Seharusnya yang mesti dipastikan adalah kemampuan dari masing-masing orang yang diuji, bukan cacat yang dimiliki orang tersebut yang diuji,” jelas Jones.

 

Dalam gugatannya, yang didaftarkan di Pengadilan Negeri Burlington Amerika Serikat, Jones menyatakan tanpa menggunakan dua perangkat lunak Kurzweil 3000 dan layar ZoomText Access, ia tak akan bisa maksimal. Hasilnya, tentu bukan pengetahuan hukumnya yang diukur, tapi keterbatasan sensoriknya sebagai penyandang tuna netra.   

 

Selain itu, gugatan ini juga menyatakan tergugat telah melanggar Undang-undang tahun 1990 yang mengatur penyandang cacat. Tujuan undang-undang ini adalah untuk mengakhiri diskriminasi terhadap para penyandang cacat.

 

The National Conference of Bar Examiners, berkedudukan di Madison, belum memberikan komentar mengenai gugatan ini. Sementara, Juru Bicara ACT Scott Gomer mengatakan perusahaannya akan menyediakan weblink mengenai hal-hal apa yang sangat dibutuhkan oleh penyandang cacat, termasuk tuna netra. Panitia bisa berupa pemberian huruf Braille, print dalam ukuran besar atau dalam format audio.   

     

Jones berpendapat penyediaahuruf Braille mungkin saja bisa membantunya untuk lulus ujian tetapi tidak akan membantunya untuk melakukan yang terbaik. Setiap orang yang mengikuti ujian tentu ingin mendapat hasil yang maksimal, bukan hanya sekedar lulus. Ia yakin software khusus untuk tuna netra bisa membuatnya maksimal menjawab soal.

 

Pengacara Jones, Goldstein mengatakan telah menangani kasus-kasus yang mirip selama seperempat abad sebagai pengacara untuk Federasi Nasional Tuna Netra. Ia mengatakan kelompok itu telah memenangkan dua kasus di California. 

 

Bantuan Asisten

Di Indonesia, kondisi mirip juga pernah terjadi. Seorang sarjana hukum yang juga tuna netra, Sugianto Sulaiman juga pernah memiliki kendala yang sama. Namun, meski memiliki keterbatasan, Sugianto tetap diizinkan mengikuti ujian dengan bantuan asisten yang bertugas membacakan soal, dalam rangka mendapatkan izin profesi advokat -kala itu masih bernama Surat Keputusan Pengadilan Tinggi-.

 

Profesi officium nobile akhirnya bisa ia sandang. Namun, Sugianto tak berhenti sampai di situ. Kariernya di dunia advokat juga cemerlang. Ia pernah menjabat sebagai Kepala Divisi Hubungan Luar Negeri DPP Serikat Pengacara Indonesia (SPI). Sugianto juga tercatat sebagai salah seorang kuasa hukum Kepala Divisi Corporate Legal Bank Century, Arga Tirta Kirana yang sempat menyita perhatian publik di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

 

Kisah Sugianto ini semoga bisa menjadi pelajaran bagi Jones untuk tidak pernah berhenti mengejar cita-citanya.

Tags: