Ketua MA Tuding KY Rendahkan Hakim
Utama

Ketua MA Tuding KY Rendahkan Hakim

KY berharap MA mau membuka diri untuk membicarakan pemahaman dan penerapan soal kode etik hakim.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit
Ketua Mahkamah Agung, Harifin A Tumpa kritik keras sikap Komisi Yudisial yang rendahkan hakim. Foto: SGP
Ketua Mahkamah Agung, Harifin A Tumpa kritik keras sikap Komisi Yudisial yang rendahkan hakim. Foto: SGP

Ketua Mahkamah Agung (MA) Harifin A Tumpa mengkritik keras sikap Komisi Yudisial (KY) yang dinilai menurunkan martabat lembaga peradilan terutama para hakim. Kritikan itu disampaikan di hadapan peserta Rakernas saat menutup Rapat Kerja Nasional (Rakernas) MA di Hotel Mercure Ancol, Jakarta, Kamis (22/9).

 

“KY dengan berkedok fungsi pengawasan untuk menjaga harkat dan martabat hakim, justru malah merendahkan/menurunkan harkat dan martabat hakim. Laporan-laporan masyarakat diekspos sedemikian rupa agar dapat membentuk opini bahwa korps hakim benar-benar bobrok,” kata Harifin.

 

Harifin mencontohkan tudingan yang dilontarkan KY bahwa penerimaan calon hakim 2010 ilegal karena tidak melibatkan KY. Kasus lainnya, saat salah satu Komisioner KY (Suparman Marzuki, red) menyebut adanya tarif untuk menjadi calon hakim yang dibandrol Rp300 juta dan untuk menjadi ketua pengadilan di Jakarta sebesar Rp275 juta.

 

“Kita sempat melaporkan ke polisi karena dia tidak memberi data, lalu dia menyesal melontarkan tuduhan tersebut dengan meminta maaf kepada pimpinan MA. Akhirnya, laporan kita cabut,” bebernya.         

 

Menurut Harifin, hingga kini KY masih memandang hakim sebagai objek yang tidak bermartabat, yang sebagian diisi orang-orang yang tidak jujur dan menyalahgunakan wewenangnya. “Sebagian dari mereka (Komisioner KY) kurang memahami tugas-tugas seorang hakim yang terkadang harus mempertaruhkan keselamatannya dalam mengadili perkara.”

 

Ironisnya, kata Harifin, sebagian dari Komisioner KY tingkat pemahaman ilmu hukum acaranya jauh dari memadai, tetapi mampu menyalahkan putusan. Ia mencontohkan satu kasus tindak pidana ringan yakni pemakaian tanah tanpa izin yang majelis hakimnya dilaporkan ke KY.  

 

Dalam kasus itu, majelis hakim memutus melepaskan terdakwa yang didakwa   UU No 51 Tahun 1961 yaitu memakai tanah tanpa izin yang berhak. Alasannya, bagian tanah itu masih dalam sengketa kepemilikan. Karena itu,  hakim berpendapat perbuatan terdakwa terbukti, tetapi bukan tindak pidana. “Sehingga terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum,” jelas Harifin.


Namun, hakim yang memutus itu diperiksa KY. Kemudian KY merekomendasikan agar hakim tersebut diberi rekomendasi sanksi teguran tertulis karena melanggar kode etik, bertindak tidak profesional. KY berpendapat bahwa seharusnya majelis hakim tidak memutus pidananya terlebih dahulu sebelum perkara perdata sengketa tanah itu diputus.


“Tentu saja MA menolak rekomendasi itu. Sebab, KY tidak punya kewenangan menilai putusan dan rekomendasi itu juga merupakan pendapat (hukum) keliru. Seperti halnya kasus pengaduan Antasari Azhar yang rekomendasi KY juga kita tolak karena telah memasuki wilayah teknis yudisial.”

 

Sementara itu, Wakil Ketua KY Imam Anshori Saleh tidak ingin memperpanjang polemik terkait pernyataan Ketua MA. Namun, ditegaskan Imam, semua Komisioner KY telah mencapai pendidikan tertinggi dan sebagian bahkan berlatar belakang advokat.

 

“Kalau dikatakan tidak memiliki ilmu hukum saya kira berlebihan, kami sadar berkaitan kode etik beberapa kali kita beda pendapat, saya berharap MA membuka diri dan mau berdialog soal ini, tetapi biarlah masyarakat yang menilai,” ujarnya ketika dihubungi hukumonline.

 

Jaga Integritas

Dalam kesempatan itu, Harifin juga berpesan agar jajaran aparat peradilan diminta untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan menjaga integritas moral untuk mewujudkan visi badan peradilan yang agung. “Integritas moral dari aparat peradilan terutama para hakim harus tetap dipelihara dan dijaga!” seru Harifin.

 

Harifin mengatakan jika benteng integritas moral tetap terjaga, maka seorang hakim tak akan bisa dipengaruhi pihak luar. “Seorang hakim yang tidak punya benteng integritas, ia akan mudah diintervensi untuk melakukan sesuatu yang salah dengan menerima uang sogokan atau dijanjikan menerima sesuatu (gratifikasi),” kata Harifin.

 

Menurutnya, jika integritas runtuh, makahakim hanya akan menjadi “robot” yang memenuhi keinginan pihak-pihak yang berkepentingan. Karena itu, benteng integritas inilah yang akan menentukan apakah suatu putusan adil atau tidak. ”Yang putih tidak bisa dikatakan hitam atau sebaliknya, atau yang abu-abu harus diperjelas warnanya, tak boleh dibiarkan menjadi abu-abu,” kata Harifin mengibaratkan.      

 

Ia menambahkan independensi hakim bukanlah privilege (hak istimewa), melainkan hak yang melekat bagi hakim dalam rangka menjamin pemenuhan hak warga negara untuk memperoleh peradilan yang bebas dan tidak berpihak (imparsial).

 

“Hakim yang mudah diintervensi dan disuap pihak yang beruang sangat membahayakan karena nantinya penegakan hukum akan sangat tergantung kepentingan ekonomi, golongan ekonomi lemah akan sulit memperoleh perlindungan dan keadilan,” tambahnya.

Tags: