Tahun Pembangkangan Hukum oleh Negara
Catahu 2011:

Tahun Pembangkangan Hukum oleh Negara

Tiga putusan pengadilan yang tak dilaksanakan oleh negara, yakni kasus GKI Yasmin, Susu Berbakteri dan Ujian Nasional.

Ali
Bacaan 2 Menit
Foto: SGP (Ilustrasi)
Foto: SGP (Ilustrasi)

Tahun 2011 sebentar lagi berakhir. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, pelanggaran hukum dan hak asasi manusia (HAM) masih saja terus terjadi. Ini yang tergambar dari catatan akhir tahun 2011 (catahu) versi Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. Namun, di tahun ini ada sesuatu yang lebih menonjol, yakni kecenderungan negara dan aparatnya melakukan pembangkangan hukum.

 

Direktur LBH Jakarta Nurkholis Hidayat mengatakan istilah obstruction of justice atau pembangkangan hukum biasanya dikenakan terhadap warga negara. Ini dilakukan karena warga negara kerap menilai hukum yang berlaku dirasa tidak adil atau menindas. Dalam beberapa hal, sikap ini bisa ditolerir sebagai kesadaran hukum kritis (critical legal conciousnees) warga negara.

 

Sayangnya, pembangkangan hukum ini juga justru dilakukan oleh institusi negara selaku pembuat hukum atau penegak hukum itu sendiri. “Padahal, mereka yang paling berkepentingan atas terwujudnya masyarakat yang tertib hukum,” ujarnya di Gedung LBH Jakarta, Selasa (20/12). 

 

Pada 2011, setidaknya ada tiga kasus besar dimana negara selaku pihak yang dikalahkan oleh pengadilan justru tak mau melaksanakan putusan pengadilan itu. Pertama, kasus Wali Kota Bogor yang menolak menaati putusan peninjauan kembali Mahkamah Agung (MA) dalam kasus Izin Mendirikan Bangunan (IMB) Gereja Kristen Indonesia Yasmin.

 

Kedua, Presiden dan Menteri Pendidikan Nasional menolak menaati isi putusan MA mengenai kasus Ujian Nasional yanng dinyatakan melanggar hak atas pendidikan. Ketiga, Menteri Kesehatan, BPOM dan Institut Pertanian Bogor (IPB) menolak menjalankan putusan MA untuk mengumumkan merek susu yang berbakteri. “Itu semua merupakan sebuah obstruction of justice,” ujarnya. 

 

“Sikap pemerintah ini telah menginjak-injak supremasi hukum, membuat hukum kehilangan kepastian, dan semakin menggerus kepercayaan rakyat terhadap sistem hukum,” jelas Nurkholis lagi.

 

Berdasarkan catatan hukumonline, para abdi negara itu memang memiliki alasan masing-masing mengapa tak mematuhi putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap itu. Menteri Kesehatan (Menkes) Endang Rahayu Sedyaningsih berdalih bahwa pihaknya masih mengajukan upaya peninjauan kembali. Alasan klasik yang sering digunakan pihak yang kalah.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait