Ikhwan Hendrato:
Suka Duka Memimpin Pengadilan di Daerah Bekas Konflik
Profil

Ikhwan Hendrato:
Suka Duka Memimpin Pengadilan di Daerah Bekas Konflik

Pernah dikirimi SMS yang berisi provokasi konflik antar agama di Tobelo.

Oleh:
Ali
Bacaan 2 Menit
Ikhwan Hendrato. Foto: Ali
Ikhwan Hendrato. Foto: Ali

Akhir Juni 2009, Ikhwan Hendrato –hakim yang bertugas di Pengadilan Negeri Sukoharjo- sedang sibuk mengurus sebuah seminar. Lalu, tiba-tiba teman sesama hakim mengabarkan bahwa di internet ada TPM (Tim Promosi dan Mutasi) dari Mahkamah Agung (MA), sebuah sistem promosi dan mutasi bagi para hakim di lingkungan MA. Ikhwan yang baru bertugas tiga tahun di Pulau Jawa (Sukoharjo) merasa namanya tak akan masuk ke dalam TPM itu.

Maklum saja, kelazimannya saat itu adalah seorang hakim akan bertugas di pulau Jawa minimal selama dua periode (enam tahun) setelah melanglang buana ke luar pulau Jawa. Sebelumnya, ia menjabat sebagai hakim di Pengadilan Negeri (PN) Kutacane Nangroe Aceh Darussalam (1999-2002) dan Pengadilan Negeri (PN) Tarutung Sumatera Utara (2002-2006).    

Namun, takdir berkehendak lain. “Kami buka satu per satu. Lalu, muncul nama saya. Saya kaget. Saya lihat lagi, ternyata jadi Wakil Ketua Pengadilan Negeri (PN) Tobelo. Saya nggak tahu dimana Tobelo ini,” ungkap alumnus Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, Palembang ini kepada hukumonline, di kantornya di PN Tobelo, Rabu (25/4).

Ikhwan lalu mengabarkan informasi ini kepada istrinya yang juga menjadi panitera pengganti (PP) di PN Sukoharjo. “Saya bilang, dek saya masuk TPM. Dia tanya dimana? Tobelo. Istri saya nangis. Dia tanya Tobelo itu dimana, yah? Nggak tahu saya bilang,” tuturnya. Ikhwan akhirnya mencari agenda dan menemukan bahwa Tobelo itu merupakan daerah di Kabupaten Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara.

Itulah awal Ikhwan mengenal Tobelo. Ia bertugas di PN Tobelo sebagai Wakil Ketua PN sejak 2009-2011, hingga akhirnya menjadi orang nomor satu di lembaga yudikatif Tobelo ketika diangkat sebagai Ketua PN sejak 2011.

Di awal tugasnya, Ikhwan mengaku sempat mencari info di internet seputar Tobelo. Ia pun menemukan bahwa daerah ini pernah mengalami konflik hebat antar agama, Kristen-Islam, pada sekitar 1999-2000.

“Awalnya saya takut ke mari. Saya buka internet dan buka situs Halmahera Utara. Pada saat saya tinggal di rumah, saya tanya ke tetangga, mereka bilang sudah nggak ada masalah. Dan saya rasakan itu. Tak begitu ada rasa perbedaan antara Nasrani dan Muslim,” ujar pria muslim yang cukup religius ini. Sedangkan, Tobelo merupakan daerah yang mayoritas dihuni penduduk beragama Kristen.

Meski perdamaian telah dicapai, ternyata Ikhwan masih sempat merasakan ‘sisa-sisa’ konflik yang menyebabkan ratusan korban jiwa meninggal itu. Salah satunya adalah pesan singkat melalui handphone yang bernada provokasi. “Saya pernah terima SMS yang isinya menyatakan awas, hati-hati dan sebagainya. Ada upaya provokasi. Saya terima itu tiga kali di sini. Ternyata bukan hanya saya saja yang terima, teman sesama hakim yang lain juga menerima pesan yang sama,” ujarnya.

Ikhwan menyadari bahwa sosok seorang pengadil harus netral atau imparsial (tak memihak). Inilah yang ia terus sampaikan kepada para hakim-hakim di PN Tobelo saat ini. “Kalau mengenai konflik, saya tekankan ke teman-teman, kita harus memisahkan. Mana yang jadi masalah agama dan mana yang jadi tugas kita sebagai hakim. Karena pada saat kita berpihak, kita tak bisa lagi adil. Kita tak perlu lihat ini yang disidangkan agamanya apa,” tuturnya membeberkan ‘instruksi’nya kepada hakim-hakim yang lain. 

Perjalanan Karier

Jabatan

Tahun

Staf Pusdiklat Departemen Kehakiman

1994-1997

Calon Hakim PN Purwakarta

1997-1999

Hakim PN Kutacane Aceh Tenggara

1999-2002

Hakim PN Tarutung

2002-2006

Hakim PN Sukoharjo

2006-2009

Wakil Ketua PN Tobelo

2009-2011

Ketua PN Tobelo

2011- Sekarang


Listrik Mati
Memimpin lembaga yudikatif di daerah bekas konflik, bukan satu-satunya tantangan yang dihadapi Ikhwan. Pria berdarah Jawa, Batak dan Minang ini harus menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. “Dari segi budaya, tak masalah karena saya sering ditugaskan di daerah sehingga bisa cepat menyesuaikan diri. Yang saya kaget, biaya hidup di sini yang tinggi. Bisa dua atau tiga kali dibanding dengan di Jawa,” ujarnya.

Tantangan lainnya adalah kondisi listrik yang sering mati. “Yang pertama, tentu masalah byar-pet listrik. Dulu lebih parah lagi dari sekarang. Kami hanya pakai 6 atau 8 jam sehari. Bergiliran. Ini sih sudah agak mending. Sekarang sudah mulai bagus,” ungkap pria yang memperoleh gelar magister hukum dari Universitas Sebelas Maret, Surakarta ini.

Selain itu, upaya untuk terus meng-update informasi dan pengetahuan hukum juga menjadi tantangan sendiri. Toko buku hanya tersedia di Ternate, yang lamanya perjalanan dari Tobelo selama empat jam perjalanan darat ditambah 45 menit menggunakan speadboat. “Kalau saya ke Ternate, saya wajibkan diri saya untuk singgah ke toko buku. Kami juga heran seharusnya hakim di daerah terpencil dituntut profesional dan mengupdate informasi tapi tak disediakan untuk itu,” ujarnya.

Meski begitu, Ikhwan mengaku siap terus mengabdi sebagai hakim, profesi mulia yang seharusnya diimpikan oleh setiap sarjana hukum. Bahkan, ketika ditanya harapannya ke depan mau bertugas kemana, dia hanya menyerahkan kepada pimpinan MA. “Selaku hakim, saya siap dimana saja. Di ujung Sumatera bagian utara sudah. Ini di timur juga sudah. Kemana saja saya terima,” ujarnya.

Namun, sebagai kepala keluarga dengan dua anak, Ikhwan tentu mendambakan dekat dengan keluarganya di Pulau Jawa yang telah ditinggalkannya sejak 2009. “Harapan saya selaku pribadi, kalau bisa saya dekat dengan anak istri. Kalau bisa di Pulau Jawa,” pungkasnya. 

Tags: