Pertamina Butuh Regulasi Khusus Kelola Blok Migas
Utama

Pertamina Butuh Regulasi Khusus Kelola Blok Migas

Jusuf Kalla mempertanyakan kesiapan dan kemampuan Pertamina untuk mengelola seluruh blok migas yang masa kontraknya akan habis.

Oleh:
M Agus Yozami
Bacaan 2 Menit
 Marwan Batubara (kanan), Direktur Eksekutif IRESS. Foto: Sgp
Marwan Batubara (kanan), Direktur Eksekutif IRESS. Foto: Sgp

Indonesian Resources Studies (IRESS) menyarankan pemerintah membuat regulasi khusus untuk menunjuk PT Pertamina (Persero) agar bisa mengelola seluruh blok migas di Indonesia yang masa kontraknya sudah habis. Hal ini disampaikan Direktur Eksekutif IRESS Marwan Batubara dalam sebuah diskusi di Gedung DPD, Selasa (17/7).

Marwan mengatakan, PP No. 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi belum otomatis mendukung BUMN, terutama Pertamina untuk menguasai blok-blok migas di Tanah Air. Menurutnya, ada multitafsir dalam aturan itu tentang kelanjutan pengelolaan blok migas yang habis masa kontraknya.

Dia menyarankan pemerintah merevisi Pasal 28 dalam PP No. 35 Tahun 2004 untuk memberi kepastian hukum yang memihak kepentingan nasional dan penguasaan oleh BUMN, khususnya Pertamina. Salah satu caranya dengan menerbitkan peraturan khusus berupa PP atau Permen baru.

Marwan menambahkan, jika blok migas yang kontraknya habis dan diserahkan ke Pertamina, maka perusahaan pertambangan milik negara itu bisa mengundang partisipasi kontraktor lama atau kontraktor lain setelah mempertimbangkan berbagai kepentingan objektif. “Melalui aturan baru bisa diperoleh rujukan standar yang mengatur status dan kelanjutan kontrak-kontrak blok migas yang akan berakhir,” katanya.

Anggota Komisi VI DPR Chandra Tirta Wijaya sependapat dengan Marwan. Dia mengatakan, hingga kini belum ada regulasi yang tegas soal bagaimana mekanisme dan prosedur jika kontrak migas berakhir. Menurutnya, kondisi ini rawan menimbulkan moral hazard, sekaligus menghilangkan kesepakatan bagi BUMN, khususnya Pertamina untuk menguasai blok-blok migas.

Dia juga mengingatkan kepada pemerintah terdapat puluhan kontrak migas yang akan habis masa kontraknya, seperti di Siak dengan operator PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) pada 2013. Di Gebang, dengan operator JOB Pertamina-Costa pada 2015. Lalu Blok Mahakam, dengan operator Total EP Indonesia, Offshore North West Java (ONWJ) yang dikelola PT Pertamina Hulu Energi, Attaka (Inpex Corp) dan Lematang (PT Medco EP Indonesia) pada tahun 2017.

Kemudian pada 2018, kontrak yang akan habis di Tuban, Joint Operating Body (JOB) Pertamina-Petrochina, Ogan Komering (JOB Pertamina-Talisman), North Sumatera Offshore B (Exxon Mobil), Southeast Sumatera (CNOOC).

Untuk diketahui, Pasal 28 ayat (9) menyatakan, Pertamina bisa mengajukan permohonan kepada Menteri ESDM untuk wilayah kerja yang habis jangka waktu kontraknya. Lalu ayat (10) menyatakan, Menteri bisa menyetujui permohonan dengan mempertimbangkan program kerja, kemampuan teknis dan keuangan Pertamina sepanjang saham Pertamina 100% dimiliki oleh negara dan hal-hal lain yang berkaitan dengan kontrak yang bersangkutan.

Berdasarkan landasan hukum tersebut, lanjut Chandra, maka BUMN/Pertamina lah yang paling berhak mengelola atas blok migas yang akan segera habis kontraknya. “Soalnya seluruh keuntungannya akan menjadi pendapatan negara dalam APBN,” tutur politisi PAN ini.

Namun, Sesditjen Migas Edy Hermantoro mengatakan kalau pemerintah tidak berniat merevisi PP No. 35 Tahun 2004. Menurutnya, pemerintah sedang menyiapkan satu regulasi baru berupa Keputusan Menteri yang bisa langsung memberikan pengelolaan blok migas yang habis masa kontraknya kepada Pertamina.

“Saya rasa tidak perlu ada yang direvisi, tapi kami sedang mengatur Kepmen baru, hanya saja belum final,” katanya.

Pesimis
Pengamat perminyakan Kurtubi merasa pesimis Pertamina bisa langsung mengelola blok-blok migas yang selama ini dikelola perusahaan swasta, baik domestik maupun asing yang akan habis masa kontraknya. Dia justru memperkirakan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) akan membuat peraturan yang membuka kesempatan bagi perusahaan lain untuk masuk dan mengelola blok-blok migas tersebut.

Kurtubi mencontohkan kasus Blok West Madura Offshore yang sudah selesai kontraknya pada Mei 2011, tetapi kemudian diperpanjang lagi kontraknya oleh BP Migas. Padahal, seluruh aset kegiatan pertambangan minyak, baik sebelum produksi, aset di perut bumi dan di permukaan bumi seperti anjungan minyak lepas pantai pipa dan lain-lain 100 persen menjadi milik negara setelah kontrak dengan perusahaan swasta asing maupun nasional selesai.

“Mustahil Pertamina langsung mengelola blok-blok migas tersebut,” katanya di acara yang sama.

Sementara itu, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla menyarankan agar Pertamina mengukur kesiapan dan kemampuan sebelum mengambilalih seluruh blok migas yang habis masa kontraknya. Dia khawatir pengambilalihan secara langsung justru menjadi bumerang negara.

“Nasionalisme memang penting, tapi kita juga harus mengukur kemampuan kita sekarang,” tandasnya.

Tags: