Polri: Kasus Sampang Bukan Konflik Agama
Utama

Polri: Kasus Sampang Bukan Konflik Agama

Cenderung ke konflik keluarga. Ada kemungkinan terkait rencana Pemilukada.

Oleh:
Ady TD Achmad
Bacaan 2 Menit
Kapolri Jenderal Timur Pradopo, mengatakan kasus sampang bukan konflik agama. Foto: Sgp
Kapolri Jenderal Timur Pradopo, mengatakan kasus sampang bukan konflik agama. Foto: Sgp

Kapolri Jenderal Timur Pradopo, mengatakan sejak Januari-Agustus 2012 terjadi 88 konflik sosial yang menyebabkan bentrokan fisik. Salah satu yang menjadi sorotan Polri yaitu penyerangan terhadap komunitas Syiah di Sampang. Timur mengatakan Polri sudah melakukan tindakan untuk mengamankan lokasi konflik dan upaya lainnya yang diperlukan.

Dari penyelidikan yang dilakukan, Timur menyebut kasus yang terjadi di Sampang terkait konflik keluarga, yaitu antara Tajul Muluk dan M Rois. Kakak-beradik itu, menurut Timur, memiliki banyak pengikut sehingga konflik membesar.

Dalam konflik yang meletus di Dusun Nangkernang, Sampang, Madura, Jawa Timur itu, Polri telah memeriksa puluhan saksi. Pelaku yang sudah ditangkap ada delapan orang dan satu orang sudah ditetapkan sebagai tersangka yaitu M Rois.

Namun, Timur mengatakan tidak menutup kemungkinan ada hal lain yang mempengaruhi sehingga terjadi konflik. Mengingat Pemilukada Sampang rencananya digelar pada Desember mendatang. “Mungkin saja Pemilukada,” kata Timur saat rapat dengan Komisi III DPR di Jakarta, Senin (3/9).

Untuk menuntaskan konflik di Sampang, Timur menginstruksikan kepada seluruh jajarannya di lapangan untuk mengedepankan cara-cara damai. Termasuk mengajak tokoh masyarakat untuk meredakan konflik.

Terkait tindakan pasca konflik sosial, Timur menyebut Polri akan mendorong berbagai lembaga terkait untuk membantu para korban, melalui rehabilitasi, rekonstruksi dan rehabilitasi. Selain itu, Polri juga akan melakukan pembinaan kepada masyarakat dan upaya lainnya untuk mencegah agar konflik tidak terjadi lagi. Salah satu upaya yang sedang diusahakan adalah rekonsiliasi antara kelompok yang berkonflik.

Bagi Timur, pelatihan bagi aparat kepolisian untuk menangani konflik sosial juga harus dilakukan. Hal penting yang mesti dipahami anggota Kepolisian yang bertugas di daerah konflik adalah memahami budaya dan kondisi masyarakat setempat. Apalagi di wilayah yang berpotensi terjadi konflik seperti Sampang.

Timur menjelaskan, untuk mencegah agar konflik di Sampang tidak terjadi lagi, ada tawaran dari pihak terkait agar komunitas Syiah direlokasi. Namun, Timur menyebut ada penolakan dari sebagian warga. Menanggapi usulan agar para pengungsi diberikan fasilitas layak di tempat pengungsian, Timur mengatakan sudah berkomunikasi dengan pihak-pihak terkait.

Pada kesempatan yang sama Kapolda Jawa Timur, Hadiatmoko, mengatakan jumlah aparat kepolisian di Sampang sangat kecil. Perbandingannya adalah seorang polisi untuk 1500 warga. Di samping itu, tingkat perekonomian yang rendah dan kondisi sosial budaya yang mudah memicu konflik menjadikan wilayah Sampang termasuk rawan terjadinya konflik sosial.

Hadiatmoko menjelaskan, pada intinya, tidak ada konflik antara penganut Sunni dan Syiah di Sampang. Pasalnya,  masyarakat penganut kedua aliran itu beribadah di masjid yang sama. Menurutnya, konflik yang ada cenderung diakibatkan oleh masalah keluarga, yaitu antara Tajul Muluk dan M. Rois. “Kesimpulannya di Sampang bukan konflik agama, tapi keluarga,” tuturnya.

Dalam mencegah dan menuntaskan konflik di Sampang, Hadiatmoko menjelaskan jajaran Kapolda Jatim sudah melakukan berbagai upaya. Mulai dari memberi bantuan Sembako kepada warga, penyuluhan dan lainnya. Dalam menjalankan tugasnya itu Hadiatmoko menyebut telah menggandeng tokoh masyarakat setempat, mulai dari Kyai sampai tokoh masyarakat atau disebut dengan Blater. Sayangnya, langkah pencegahan yang sudah dilakukan ternyata tidak mampu mencegah konflik yang meletus pada 26 Agustus 2012.

Dari pantauannya, Hadiatmoko menyebut konflik yang terjadi di Sampang sudah terjadi sejak tahun 2004. Menurutnya, lembaga negara terkait harus ikut menyelesaikan masalah yang ada di Sampang, sehingga konflik dapat diselesaikan secara tuntas. Baginya, Polri tidak dapat bertindak sendirian.

Tersangka
Hadiatmoko menjelaskan, saat ini jajarannya sedang melakukan upaya penegakan hukum. Dari sejumlah saksi yang diperiksa atas peristiwa yang terjadi akhir Agustus lalu, sudah ditetapkan satu tersangka yaitu M Rois. Berkas penyelidikan yang telah dilakukan Kepolisian, Hadiatmoko melanjutkan, sudah diserahkan kepada Kejati Jawa Timur. Saat ini posisi M Rois berada di tahanan Polda Jatim dengan tuduhan Pasal 338 atau 354 atau 170 jo 55 dan 56 KUHP. Pasal tersebut mengatur tentang pembujuk pembunuhan atau penganiayaan.

Menurut Hadiatmoko, aparat Kepolisian telah berhasil menyelamatkan komunitas Syiah yang melarikan diri ke hutan, gunung, sawah dan tempat lainnya ketika konflik meletus. Dengan kawalan ketat dari Kepolisian, Hadiatmoko menyebut para korban sudah dilokasikan ke pengungsian yaitu di GOR Sampang. Para korban yang mengalami luka-luka  sudah dilakukan penanganan medis.

Penyelesaian konflik menurut Hadiatmoko menemui sejumlah hambatan. Karena terdapat beberapa kebijakan dari pihak terkait yang menyulitkan proses penuntasan konflik. Misalnya terdapat fatwa MUI Jatim tertanggal 21 Januari 2012 yang menyebut ajaran Syiah sesat. Adanya keputusan itu menurut Hadiatmoko dapat menghambat jalannya rekonsiliasi pasca konflik. “Ini perlu dikaji ulang,” tegasnya.

Selain itu Hadiatmoko mengimbau agar pihak terkait segera memindahkan tempat penampungan sementara para pengungsi ke lokasi yang lebih manusiawi. Pemerintah, baik pusat dan daerah menurutnya harus memberikan pemahaman terkait toleransi antar umat beragama kepada warga.

Tolak Relokasi
Menanggapi penjelasan Kapolri atas konflik sosial yang terjadi, khususnya kasus Sampang, Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PPP, Ahmad Yani, mengatakan langkah jangka pendek yang harus dilakukan adalah mengurus masalah penempatan pengungsi. Menurutnya, aparat terkait harus memperhatikan kondisi pengungsian, apakah layak atau tidak. Untuk jangka panjang, Yani menilai rekonsiliasi harus dilakukan. Hal itu menurutnya sebagai salah satu cara yang dapat digunakan untuk mencegah berulangnya konflik.

Terkait adanya usulan dari beberapa pihak untuk merelokasi komunitas Syiah di Sampang ke daerah lain, Yani secara tegas menolaknya. Menurutnya tidak ada masalah jika komunitas Syiah menetap di wilayahnya saat ini. “Relokasi bukan jalan penyelesaian,” tukasnya.

Senada, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Martin Hutabarat, mengatakan persoalan relokasi harus diperhatikan dengan benar. Dari pantauannya Martin menyebut ada pengungsi yang tidak mau direlokasi ke daerah lain. Namun, di sisi lain Martin melihat Bupati Sampang keukeuh untuk merelokasi para pengungsi. Bagi Martin perlindungan harus menjadi hal yang diutamakan untuk menangani para pengungsi.

Jika hal itu tidak dilakukan Martin khawatir Indonesia akan tercoreng karena dinilai tidak mampu memberi perlindungan terhadap warganya. Apalagi Martin melihat, tidak menutup kemungkinan komunitas Syiah di Sampang meminta perlindungan dari komunitas internasional. Misalnya meminta suaka. Oleh karena itu Martin menekankan agar pemerintah memperhatikan aspek perlindungan.

“Kalau masuk ke PBB, ini bisa jadi masalah internasional. Nanti (Indonesia) dinilai tidak bisa melindungi warga negaranya,” kata Martin.

Tags: