Diusulkan Revisi UU Perpajakan
Berita

Diusulkan Revisi UU Perpajakan

Jumlah Wajib Pajak masih terbilang kecil.

FNH
Bacaan 2 Menit
Diusulkan Revisi UU Perpajakan
Hukumonline

Indonesia adalah negara dengan pendapatan menengah bawah (lower-middle-income-country). Jika menggunakan perhitungan Bank Dunia, pendapatan per-kapita nasional (GNP) Indonesia berkisar antara AS$1,026 hingga AS$4,035. Dengan kapasitas ekonomi sebesar Indonesia, secara teoritis, Indonesia mempunyai sumber dan jumlah penerimaan negara (pajak dan non-pajak) yang cukup besar. Sayangnya, fakta membuktikan penerimaan pajak Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara yang tingkat ekonominya setara.

Setidaknya, begitulah penilaian dari Koalisi Masyarakat Sipil Untuk APBN Kesejahteraan. Koalisi ini merupakan kumpulan sekelompok LSM yang memiliki keresahan bersama atas praktik penganggaran yang cenderung belum sepenuhnya mengemban pemenuhan hak-hak dasar warganegara yang dijamin konstitusi.

Salah satu LSM yang tergabung di dalamnya adalah Perkumpulan Prakarsa. Social Policy and Governance Specialist Perkumpulan Prakarsa, Ah Maftuchan, menilai tax ratio Indonesia hanya berkisar 12,3 persen. Padahal, rata-rata penerimaan pajak negara-negara yang termasuk dalam kelompok negara berpenghasilan rendah seperti Tanzania dan Equador, tax ratio rata-rata sudah mencapai 14,3 persen. Rendahnya tax ratio Indonesia, lanjut Ah Maftuchan, disebabkan oleh jumlah wajib pajak (WP) yang rendah di Indonesia. “Jumlah wajib pajak kecil, baik pribadi maupun badan,” kata Ah Maftuchan di Jakarta, Kamis (15/8).

Dari 257 juta jiwa penduduk Indonesia, WP pribadi baru berjumlah 22,5 juta. Sementara WP badan hanya sekitar 500 ribu. Belum lagi, banyaknya korupsi pajak yang dilakukan oleh petugas pajak maupun WP. Maftuchan mengatakan, WP badan masih banyak mengelak membayar pajak dengan praktik transfer pricing. Kerugian yang ditanggung oleh negara akibat praktik yang dilakukan oleh koorporasi nakal ini, tiap tahunnya berkisar Rp110 triliun.

Banyaknya korupsi perpajakan baik yang terjadi di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) maupun dilakukan korporasi, sambung Maftuchan, disebabkan oleh celah hukum yang masih memberikan ruang korporasi untuk melakukan kecurangan. Untuk itu perlu dilakukan perbaikan regulasi terutama terkait UU Perpajakan. “Revisi UU Perpajakan perlu dilakukan, terutama harus disesuaikan dengan sistem perpajakan internasional yang perkembangannya pesat,” ungkapnya.

Salah satu poin krusial dalam revisi UU Perpajakan adalah terkait dengan praktik pengelakan dan penindakan pajak yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan transnasional. Pasalnya, pemerintah Indonesia tidak dapat melakukan pengejaran terhadap WP tanpa bekerja sama dengan negara yang menjadi pusat perusahaan yang bersangkutan. Diakui Maftuchan, sejauh ini pemerintah telah melakukan kerjasama sektor perpajakan, namun cakupan belum terlalu luas.

Wakil Ketua Komisi XI Harry Azhar Azis sepakat atas usulan revisi UU Perpajakan. Revisi UU Perpajakan telah diusulkan kepada pemerintah sejak 2008. Sayang, belum ada tindak lanjut hingga kini. “Komisi XI sudah ajukan 2008 lalu, tapi pemerintah belum ada respon,” kata Harry kepada hukumonline, Jumat (16/8).

Halaman Selanjutnya:
Tags: