Indonesia Butuh UU Persandian untuk Kepentingan Bisnis
Utama

Indonesia Butuh UU Persandian untuk Kepentingan Bisnis

Diperlukan untuk membangun sistem keotentikan nasional .

Happy Rayna Stephany
Bacaan 2 Menit
Pembicara dan Panitia Seminar Internasional Cyberlaw di Bali berpose bersama. Foto: HRS
Pembicara dan Panitia Seminar Internasional Cyberlaw di Bali berpose bersama. Foto: HRS
Sekretaris Utama Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg), Syahrul Mubarak menegaskan sudah saatnya Indonesia memiliki undang-undang tentang persandian. Kebutuhan akan persandian ini tidak hanya untuk bidang militer atau pertahanan dan keamanan negara, tetapi juga untuk kepentingan bisnis.

“Setiap korporasi yang mengelola sumber daya internet di Indonesia berkepentingan mendapat jaminan perlindungan atas investasi dan bisnisnya,” jelas Syahrul dalam Seminar Internasional Cyberlaw di Bali, Rabu (19/3).

Lebih lagi, lanjutnya, Indonesia akan menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN pada 2015. Sudah tentu dapat diprediksi banyak transaksi lintas batas negara secara elektronik akan terjadi. Keamanan suatu data menjadi kewajiban demi terciptanya iklim bisnis yang baik. Ia mengatakan Indonesia belum memiliki undang-undang khusus yang mengatur bidang persandian, padahal persandian merupakan salah satu cara yang baik untuk melawan tindak kejahatan siber.

Syahrul mengamini jika memang ada undang-undang lain yang telah menyinggung tentang persandian. Akan tetapi, ia menilai undang-undang tersebut tidaklah cukup. UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, misalnya. UU KIP telah menyinggung tentang persandian. Hanya saja, persandian yang dimaksud digunakan untuk mendukung pertahanan dan keamanan negara saja.

UU lain yang menyinggung persandian adalah UU ITE, khususnya dalam Pasal 34. Lagi-lagi menurut Syahrul ini tidak cukup. Sebab, menurutnya, Pasal 34 UU ITE tersebut hanya merupakan pasal larangan menyalahgunakan sistem dan perangkat persandian untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam UU ITE, tidak ada kaidah normatif yang jelas mengenai legalitas kegiatan persandian. Melalui UU Sandi, ada kepastian hukum terkait bidang persandian ini.

“UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik, red) tidak cukup mengatur tentang ini (persandian, red),” lanjutnya.

Pentingnya jaminan perlindungan melalui persandian semakin diperkuat dengan meningkatnya kasus cyber crime dari tahun ke tahun di Indonesia. Berdasarkan data Symantec, sebanyak 431 juta orang di seluruh dunia menjadi korban cyber crime pada 2011. Kerugiannya mencapai AS$114 miliar.

Sedangkan di Indonesia, berdasarkan data Kepolisian Republik Indonesia pada 2013, telah terjadi peningkatan sebanyak 27,4 persen kejahatan dunia siber dari tahun sebelumnya. Kejahatan ini seiring dengan meningkatnya jumlah pengguna internet yang mencapai 82 juta pengguna atau lebih dari 33 persen penduduk Indonesia.

Lima Alasan
Pakar Hukum Telematika dari Universitas Indonesia Edmon Makarim memiliki pandangan yang sama dengan Syahrul. Menurutnya, setidaknya ada beberapa alasan penting undang-undang persandian ini.

Pertama, untuk melindungi privasi rakyat Indonesia. Setiap orang memiliki hak untuk merahasiakan data-data pribadinya. Konsep perlindungan data dianggap sebagai bagian dari perlindungan atas privasi. Sehingga, untuk mencegah kebocoran data pribadinya, setiap orang tersebut memiliki hak untuk menjaga keamanan datanya melalui penyandian.

Kedua, untuk pelayanan publik. Demi kelancaran penyelenggaran pelayanan publik serta menjamin keaslian data tersebut, data-data tersebut perlu diamankan.

Ketiga, persandian berfungsi sebagai pengamanan data itu sendiri. Edmon menegaskan bahwa dunia internet adalah dunia yang tidak aman. Banyak pembobolan data yang dilakukan dengan niat apapun.

Keempat, fungsi persandian sebagai pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi persandian dalam rangka melindungi hak kekayaan intelektual. Contohnya untuk persoalan hak cipta dalam algoritma kriptografi. Hal ini sedikit tidak cocok ketika algoritme kriptografi dilekatkan dengan hak cipta.

Ada dua hal penyebabnya, yaitu untuk memperoleh hak cipta memang tidak perlu mengungkapkan substansi teknis dari software, tetapi setiap software harus didaftarkan ke pemerintah. Tidak ada jaminan jika setelah proses pendaftaran tersebut, informasi algoritmanya aman. Alasan kedua adalah sudah terlalu banyak penyalahgunaan dalam lingkup hak cipta. Untuk Amerika Serikat sendiri tidak memiliki model yang berhasil dalam mengimplementasikan perlindungan hukum untuk hak cipta atas kriptografi.

Alasan terakhir pentingnya undang-undang persandian adalah terkait fungsi sistem keotentikan data itu sendiri. “Kalau tidak otentik, no authentication, no evidence, no deal,” tandasnya.
Tags:

Berita Terkait