Aturan Pengunduran Diri Kepala Daerah Diuji ke MK
Berita

Aturan Pengunduran Diri Kepala Daerah Diuji ke MK

Pemohon disarankan meminta bantuan advokat untuk merumuskan permohonan.

ASH
Bacaan 2 Menit
Aturan Pengunduran Diri Kepala Daerah Diuji ke MK
Hukumonline
Kepala daerah dan wakil kepala daerah seharusnya tidak bisa seenaknya menanggalkan jabatannya untuk mencalonkan diri pada posisi jabatan yang lebih tingggi sebelum periode jabatannya berakhir. Sebab, sesuai UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (Pemda) syarat pengunduran diri seorang kepala daerah hanya bisa dilakukan dengan alasan meninggal dunia, permintaan sendiri, atau diberhentikan.   

Atas dasar itu, seorang warga negara, Erwin Erfian Rifkinanda mempersoalkan ketentuan Pasal 29 ayat (1), (3) UU Pemda yang mengatur alasan pemberhentian kepala daerah ke MK. Dia beralasan syarat pengunduran diri sebagai kepala daerah untuk mencalonkan diri jabatan yang lebih tinggi tidak diatur dalam UU Pemda.

“Persetujuan pengunduran diri kepala daerah seharusnya sepenuhnya di tangan rakyat.  Siapapun kepala daerah yang terpilih harus menyelesaikan tugasnya, kecuali dengan alasan yang tak terhindarkan, bukan karena jabatan politik lainnya,” kata Erwin saat sidang pemeriksaan pendahuluan di ruang sidang MK yang diketuai Maria Farida Indrati, Selasa (15/4).

Pasal 29 ayat (1) menyebutkan Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah berhenti karena: a. meninggal dunia; b. permintaan sendiri; atau c. diberhentikan. Ayat (3)-nya menyebutkan pemberhentian kepala daerah dan atau wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b serta ayat (2)  huruf a dan huruf b diberitahukan oleh pimpinan DPRD untuk diputuskan dalam Rapat Paripurna dan diusulkan oleh pimpinan DPRD.

Erwin menilai seharusnya kepala daerah atau wakilnya terpilih tidak boleh berhenti menanggalkan jabatannya untuk menempati jabatan politik lain yang lebih tinggi sebelum masa jabatannya berakhir. Terlebih, anggaran yang dikeluarkan dalam Pemilukada telah menghabiskan dana dalam jumlah besar yang diambil dari uang negara.

Menurutnya, kepala daerah atau wakilnya  yang hendak mengundurkan diri dengan alasan mencalonkan diri jabatan lebih tinggi harus menyampaikan pengunduran diri melalui mekanisme referendum karena dia dipilih berdasarkan suara rakyat. Misalnya,walikota yang masih menjabat hendak mencalonkan diri sebagai calon gubernur harus meminta persetujuan rakyat.   

Karena itu, dia meminta MK menyatakan Pasal 29 ayat (1) dan (3) UU pemda dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan dibatalkannya pasal itu secara otomatis kepala maupun wakil kepala daerah tidak bisa mengundurkan diri dan melepaskan tanggung jawabnya untuk posisi jabatan yang lain.

Tidak Nyambung
Menanggapi permohonan, Majelis mengganggap tidak menemukan kerugian konstitusional yang dialami pemohon. Pemaparan permohonan lebih banyak menguraikan kasus konkrit dari penerapan pasal yang dimohonkan pengujian, bukan kerugian hak konstitusional yang dialami pemohon.

“Permohonan ini belum menunjukkan kerugian konstitusional dan kapasitas Anda. Disini hanya terlihat kasus konkrit, seperti kasus Gubernur DKI Jokowi yang ingin langsung mencalonkan presidenkah? Jadi ini harus diuraikan lebih dalam potensi Anda kerugiannya dimana? Kalau permohonan ini dikabulkan apakah potensi kerugian Anda akan hilang?” kata Maria mempertanyakan.

Dia menyarankan agar pemohon menguraikan pemohon itu siapa dan legal standing seperti apa, kewenangan MK itu apa, alasan permohonannya apa, sehingga pada kesimpulan pasal itu bertentangan dengan UUD 1945.  Maria pun mengingatkan jika pasal ini dihapuskan akan terjadi kekosongan hukum terkait aturan pengunduran diri seorang kepala daerah atau wakilnya.

“Anda harus berpikir kalau pasal ini dihilangkan terus bagaimana kalau ada kejadian seperti itu? Pengaturan bagaimana kepala daerah bisa berpindah dari jabatan satu ke lain tidak diatur sama sekali dong? Anda boleh saja mengatakan pasal itu bertentangan, tetapi konsekuensinya harus jelas,” kritiknya.

“Dari kasus konkrit yang ada, Anda harus menjelaskan secara benar yang bisa meyakinkan majelis bahwa permohonan ini masuk akal dan layak dikabulkan.”

Anggota Panel, Ahmad Fadli Sumadi menilai apa yang pemohon maksud dengan apa yang dimohonkan tidak nyambung. Misalnya, antara posita permohonan dan petitum tidak menyambung.

“Sebaiknya Anda meminta bantuan advokat, sementara Anda bukan sarjana hukum, sehingga permohonannya seperti surat-menyurat biasa. Kalaupun Anda tetap maju sendiri, Anda harus menguraikan seperti saran-saran majelis,” pintanya.
Tags: