Akademisi: RUU Pertanahan Seharusnya Bukan Pengganti UUPA
Berita

Akademisi: RUU Pertanahan Seharusnya Bukan Pengganti UUPA

Aktivis menilai RUU Pertanahan dinilai mubazir karena tidak memiliki komitmen terhadap reformasi agraria.

Oleh:
ANT
Bacaan 2 Menit
Kampus Unika Atmajaya. Foto: RES
Kampus Unika Atmajaya. Foto: RES
Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan semestinya bukan sebagai pengganti dari UU No.5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), kata akademisi dari Unika Atmajaya Aris Swantoro.

Menurut dia, RUU itu setelah disahkan menjadi UU merupakan aturan yang melengkapi dan menjabarkan pengaturan tentang bidang pertanahan.

"Selain itu, RUU Pertanahan itu untuk mempertegas penafsiran ketentuan-ketentuan yang telah diatur di dalam UUPA," kata Aris Swantoro dalam seminar nasional "Quo Vadis RUU Pertanahan" yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Unika Atmajaya di Jakarta, Kamis (24/4).

Aspek terpenting dari sebuah hukum justru terdapat di luar hukum tersebut yaitu terkait implementasi hukum dan kebijakan yang dirumuskan di dalamnya, ujar Aris.

Menurut Aris, kelanjutan RUU Pertanahan harus mempertimbangkan bagaimana menghasilkan undang-undang berkualitas, dan harus ada pemahaman kerangka konseptual yang baik. Hal itulah yang akan bisa membuat peraturan yang dibuat akan diterima masyarakat.

"Peraturan yang diterima secara wajar akan mempunyai daya berlaku efektif," katanya.

Sementara panelis lainnya Iwan Nurdin, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengatakan saat ini yang menjadi permasalahan pertanahan di Indonesia adalah tanah yang terbatas dikuasai oleh segelintir orang dan badan usaha.

"Akibatnya, telah terjadi ketimpangan yang tinggi. Dan ini sangat membahayakan. Kasus seperti ini banyak terjadi di berbagai daerah," ujar Iwan.

Iwan menilai RUU Pertanahan tidak bersungguh-sungguh menghentikan sektoralisme di bidang pertanahan. "Buktinya, RUU ini tidak mendorong lahirnya kelembagaan pertanahan yang kuat, transparan, modern dan dipercaya masyarakat," ujarnya.

Lemahnya kelembagaan pertanahan yang hendak dibangun oleh RUU ini tercermin dari dipertahankannya kelembagaan pertanahan semacam BPN yang sekarang, tuturnya.

Iwan juga menyebut penguasaan tanah oleh kelembagaan selain BPN menjadi kerancuan tersendiri. Seharusnya RUU Pertanahan ini mengusulkan pembentukan Kementerian Pertanahan yang mengatur keseluruhan perencanaan, administrasi, informasi spasial, pendaftaran dan hak atas seluruh tanah dalam satu wadah secara nasional.

Selain itu Iwan juga mengatakan bahwa RUU Pertanahan ini juga sebaiknya membentuk Pengadilan Pertanahan, sebuah pengadilan khusus untuk mengadili kasus-kasus pertanahan.

Hal itu didasarkan pada temuan Konsorsium Pembaruan Agraria dengan adanya peningkatan jumlah konflik pertanahan selama lima tahun terakhir (2009-2013).

Bahkan, konflik tanah itu telah menyebabkan jatuh korban jiwa. Tahun 2013 jumlah korban tewas sebanyak 3 petani. Tahun 2014 ini konflik agraria telah menimbulkan korban jiwa sebanyak 21 orang. Sebanyak 30 orang tertembak, 130 orang mengalami penganiayaan dan 239 orang ditahan oleh aparat keamanan, katanya.

Mubazir
Oleh karena itu, IWan menilai RUU Pertanahan ini mubazir karena tidak memiliki komitmen terhadap reformasi agraria. "Rancangan undang-undang (RUU) ini mubazir karena yang sudah diatur, diatur lagi. Di lain pihak, soal pertimbangan, kelembagaan, atau lintas sektoral, belum terjawab," katanya.

Seminar tersebutmenghadirkan para pembicara, yakni Aryani (notaris/PPAT), Gunawan (Indonesian Human Rights Committee for Social Justice), Aris Swantoro (akademisi), dan Eddy M. Leks (pengacara/konsultan Hukum).

Sementara itu, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Real Estate Indonesia (DPP REI) Eddy Hussy menyatakan bahwa RUU Pertanahan yang kini masih menjadi bahan pembahasan di Komisi II DPR RI harus dipertegas karena banyakhal yang menimbulkan kebingungan, terlebih bagi para pengusaha pengembang perumahan di Indonesia.

"RUU Pertanahan ini juga harus mengikuti perkembangan zaman. Ada beberapa hal yang di dalamnya (RUU) tidak 'applicable'," katanya.

Menurut Eddy penentuan luasan lahan semestinya juga harus melibatkan pemerintah daerah. Otonomi daerah, kata dia, juga memiliki aturan-aturan tersendiri yang tentunya memiliki "benefit" di daerahnya masing-masing.

"Bisa saja (luasan lahan) diberikan ke pemerintah daerah yang sekarang masing-masin ingin mengembakan daerah mereka masing-masing dengan baik," katanya.
Tags:

Berita Terkait