Angkasa Pura II Didenda Rp3 Miliar
Berita

Angkasa Pura II Didenda Rp3 Miliar

Telkom dinilai mengikatkan diri dengan perjanjian AP II lantaran melakukan tindakan secara sistematis.

HRS
Bacaan 2 Menit
Gedung KPPU. Foto: SGP.
Gedung KPPU. Foto: SGP.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menghukum Angkasa Pura II (AP II) dengan denda Rp3,4 miliar. Sebab, AP II terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 15 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

“Menyatakan secara sah dan meyakinkan Terlapor I (AP II, red) melanggar Pasal 15 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1999,” ucap Ketua Majelis Komisi Syarkawi Rauf di Komisi, Kamis (8/5).

Ketentuan itu menyebutkan pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok.

Menurut majelis, unsur-unsur Pasal 15 ayat (2) UU Anti Praktik Monopoli tersebut terpenuhi. AP II dinilai telah memaksa sebanyak 400 penyewa ruang usaha di kawasan AP II untuk menggunakan layanan e-Pos di bandara Soekarno Hatta. Layanan e-Pos adalah salah satu sistem untuk mengetahui pemasukan dari tenan yang ada di Bandara Soetta.

Pemaksaan ini terlihat dari perjanjian kerjasama antara Angkasa Pura II dan tenan (penyewa) yang membuka usaha di bandara. Dalam perjanjian tercantum kewajiban tenan untuk menyediakan alat-alat pendukung e-Pos yang akan diimplementasikan AP II.

Menurut majelis, tindakan AP II membebani tenan, yaitu telah menambah biaya produksi para tenan. Sebab, untuk penerapan layanan e-Pos setiap tenan wajib membayar sejumlah Rp1.350.000 per bulannya. Padahal, sistem e-Pos adalah kebutuhan dari AP II yang tujuan dari sistem ini adalah untuk memantau omset tiap tenan di Soetta secara elektronik.

“e-Pos bukan kebutuhan tenan, tetapi AP II. Tidak ada hubungannya dengan ruang usaha. Dan ruang usaha dapat digunakan tanpa harus ada e-Pos,” ucap anggota majelis Saidah Sakwan saat membacakan pertimbangan majelis.

Tidak hanya menghukum AP II, Komisi juga menghukum rekanan Angkasa Pura II dalam menjalankan sistem e-Pos, PT Telkom Tbk. Majelis sepakat menilai jika Telkom ikut melanggar Pasal 15 ayat (2) UU Anti Praktik Monopoli dan mengharuskan perusahaan telekomunikasi ini membayar denda sejumlah Rp2,11 miliar.

Majelis berpandangan bahwa Telkom memenuhi unsur pelaku usaha yang melakukan perjanjian dengan pelaku usaha lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (2) UU Anti Praktik Monopoli meskipun perjanjian sewa ruangan tersebut antara AP II dengan para tenan. Namun, majelis berpendapat bahwa Telkom ikut secara aktif terlibat dalam perjanjian ini.

Keterlibatan Telkom adalah sebagai penyedia jasa pengembang sistem e-Pos di Bandara Soetta. Telkom ikut serta mengembangkan jaringan fiber optic tersebut dan ikut memungut pembayaran dari tenan. Tindakan ini menurut majelis digolongkan sebagai pelaku usaha yang ikut mengikatkan diri atas perjanjian e-Pos antara AP II dengan para tenan.

“Perjanjian itu tidak hanya tertulis, tetapi juga perilaku yang terus menerus dan Telkom telah melakukan tindakan secara sistematis kepada penyewa,” lanjut Saidah.

Untuk dugaan pelanggaran Pasal 17, Pasal 19 huruf c dan d UU Anti Praktik Monopoli, majelis berpandangan AP II dan Telkom tidak memenuhi unsur ketentuan tersebut. Majelis berpandangan AP II tidak melakukan diskriminasi kepada pelaku usaha lain yang ingin membuat layanan yang sama.

Rekomendasi Kementerian BUMN
Tidak hanya menghukum AP II dan Telkom, Komisi juga memberikan rekomendasi kepada Kementerian BUMN. Majelis meminta agar Kementerian BUMN tetap memperhatikan prinsip-prinsip persaingan usaha sebagaimana diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 1999. Pasalnya, Peraturan Menteri Negara BUMN No. PER-05/MBU/2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Badan Usaha Milik Negara dinilai tidak sejalan dengan prinsip tersebut.

Hal ini terlihat dari kasus yang terjadi antara AP II dan Telkom. Dasar penunjukkan Telkom oleh AP II adalah Permen 5/2008 tersebut. Ketentuan itu mengatur bahwa pengadaan barang dan jasa oleh BUMN tidak wajib melalui tender, dan dapat diatur ketentuan internal bagi masing-masing BUMN. 

Menurut majelis, hal ini tidak dapat dibenarkan. Peraturan Menteri juga tidak dapat menjadi penghambat untuk membenarkan kasus ini. Sebab, merujuk pada UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Aturan tersebut menyebutkan bahwa kedudukan undang-undang lebih tinggi daripada peraturan menteri. Untuk itu, Peraturan Menteri BUMN Nomor 5/2008 ini tidak dapat mengecualikan UU 5/1999.

Stefanus Hariyanto, Kuasa Hukum Telkom, hanya memberikan komentar singkat atas putusan majelis. Ia melihat KPPU telah seperti DPR karena menggunakan konsep turut serta. Sebab, konsep ini tidak dikenal di UU Nomor 5 Tahun 1999 ini.

“Konsep turut serta hanya ada di hukum pidana. Nanti kita bicarakan lagi ke klien,” ucapnya.

Sementara itu, Eriek Permana, Kuasa Hukum AP II, justru mengomentari rekomendasi majelis. Menurutnya, rekomendasi Komisi salah alamat. Tidak ada kaitannya dengan Permen BUMN 5/2008. AP II tidak menggunakan peraturan tersebut saat menggunakan Telkom dan AP II tidak melakukan pengadaan barang dan jasa BUMN. AP II hanya melakukan pengadaan komersial.

“Salah alamat. Kita tidak mengadakan barang dan jasa, tetapi pengadaan komersial yang aturannya ada di masing-masing internal BUMN,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait