Pengadilan Masih 'Alergi' dengan Indirect Evidence
Utama

Pengadilan Masih 'Alergi' dengan Indirect Evidence

KPPU geram dua putusannya kandas di MA.

HAPPY RAYNA STEPHANY
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Nawir Messi mengaku sangat geram ketika dua kasus kartel yang diputus KPPU dibatalkan di tingkat Mahkamah Agung. Kasus yang dimaksud adalah kasus kartel minyak goreng dan kartel fuel surcharge. Dua kasus itu kandas karena MA tidak mengakui penggunaan bukti tidak langsung (indirect evidence) sebagai alat bukti.

“Saya benar-benar geram ketika kasus saya itu dibatalkan,” tutur Nawir kepada hukumonline dalam seminar Business Compliance on Fair Competition di Hotel Borobudur, Rabu (11/6).

Wajar saja jika orang nomor satu di KPPU ini merasa geram. Pasalnya, negara-negara lain yang memiliki UU Persaingan Usaha telah lama menerapkan indirect evidence sebagai salah satu alat bukti untuk pembuktian kartel. Hanya Indonesia yang hingga kini masih memperdebatkan mengenai sah atau tidaknya indirect evidence.

Indirect evidence belum diakui di Indonesia karena lantaran hal tersebut dianggap bukan termasuk pembuktian hukum. Salah satu pembuktian hukum adalah sebuah fakta yang tak dapat dibantah kebenarannya. Sebaliknya, indirect evidence adalah sebuah analisis melalui pendekatan ekonomi.

Oleh Nawir, alasan ini terasa ganjil dan sebuah pemahaman yang keliru. Memang benar jika indirect evidence merupakan suatu analisis ekonomi. Akan tetapi, analisis tersebut telah diuji kebenarannya oleh para ahli ekonomi di forum yang resmi pula.

“Apakah kebenaran ilmiah tidak bisa dijadikan bukti hukum yang sah,” tanya Nawir dalam seminar.

Ia pun kembali mencontohkan kasus minyak goreng. Kala itu, KPPU menemukan catatan pertemuan produsen minyak goreng yang mengindikasikan terjadinya kongkalikong dalam pembentukan harga. Dengan temuan awal ini, tugas investigator selanjutnya adalah membuktikan catatan tersebut dengan mengaitkan harga-harga yang terjadi di pasaran.

“Adalah benar jika harga yang terbentuk di pasaran sebuah fakta. Begitu pula dengan risalah meeting yang ditemukan investigator. Keduanya adalah fakta. Namun, bagaimana menghubungkan antara risalah tersebut dengan harga yang terbentuk di pasaran kalau tidak melalui analisis para ahli ekonomi. Hal ini yang belum bisa diterima oleh pengadilan Indonesia,” lanjut Nawir.

Nawir pun memperkuat argumennya mengenai keberadaan indirect evidence. Menurutnya, pengadilan di Indonesia sudah seharusnya menerima indirect evidence sebagai salah satu alat bukti karena Hukum Acara Perdata dan Pasal 42 UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat mengenal petunjuk sebagai salah satu alat bukti.

“HIR dan UU Anti Monopoli kan mengenal petunjuk sebagai alat bukti. Indirect termasuk petunjuk,” pungkasnya.

Circumstantial Evidence
Tidak dapat diterimanya indirect evidence juga ditanggapi oleh Chairman of the Board of Trustee ASEAN Competition Institute (ACI), Soy M Pardede. Senada dengan Nawir Messi, Pardede mengatakan bahwa negara-negara seperti Amerika Serikat, Australia, dan negara-negara Uni Eropa telah menggunakan indirect evidence untuk mendeteksi praktik-praktik kartel.

Bukti tidak langsung tersebut banyak digunakan karena kartel dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan lisan sehingga pembuktiannya sangat sulit, tetapi dapat dirasakan. Untuk itu, dalam membuktikan kasus-kasus persaingan usaha tidak cukup dilakukan secara normatif (per se illegal) saja, tetapi juga melalui pendekatan ekonomi (rule of reason approach).

“Brasil saja menjadikan indirect evidence sebagai bukti utama. Bagaimana Indonesia? Indonesia masih belum ada kesepahaman mengenai penggunaan bukti tidak langsung ini sebagai alat bukti,” tulisnya dalam rilis media yang diterima hukumonline.

Ekonom Senior INDEF, Bustanul Arifin mengatakan mungkin perbedaan istilah untuk bukti tidak langsung menjadi salah satu penyebab tidak dapat diterimanya sebagai salah satu alat bukti. Mungkin istilah yang tepat digunakan untuk indirect evidence adalah Bukti Pengondisian atau Circumstantial Evidence.

“Mungkin istilah yang bisa digunakan adalah bukti pengondisian atau circumstanstial evidence,” tuturnya dalam kesempatan yang sama.  

Terkait hal ini, Nawir juga mengatakan bahwa negara-negara lain memang menggunakan istilah circumstantial evidence sebagai bukti tidak langsung tersebut. Kendati demikian, Nawir mengatakan pengadilan di Indonesia tetap belum mengakui bukti tidak langsung tersebut sebagai salah satu alat bukti meskipun istilahnya adalah circumstantial evidence.

“Tetap belum bisa diterima meskipun istilahnya adalah circumstantial evidence,” tukasnya.
Tags:

Berita Terkait