KPPU Surati OJK Terkait Tarif Premi Asuransi
Utama

KPPU Surati OJK Terkait Tarif Premi Asuransi

KPPU memandang konsumen tidak diberikan kesempatan untuk memperoleh tarif premi yang kompetitif.

YOZ/RED
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyarankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk tidak menetapkan batas bawah tarif premi yang berlaku pada industri asuransi. Hal ini diperlukanuntukmemberi ruang persaingan sehat dan menciptakan pelaku usaha yang efisien serta memberikan manfaat kepada konsumen secara keseluruhan.

KPPU juga menyarankan agar OJK mempublikasikan daftar perusahaan asuransi secara teratur berdasarkan tingkat kesehatan yang mampu menjamin keamanan konsumen dalam memilih perusahaan asuransi di industri tersebut dengan baik. Pendapat tersebut disampaikan Ketua KPPU, Nawir Messi, melalui surat saran dan pertimbangan yang dialamatkan kepada Kepala OJK pada 25 Agustus 2014 lalu.

Pendapat KPPU tersebut disampaikan berdasarkan hasil kajian KPPU dalam menindaklanjuti berbagai pengaduan terkait kenaikan premi asuransi Kendaraan Bermotor dan Harta Benda serta jenis Risiko Khusus (yang meliputi banjir, gempa bumi, letusan gunung berapi, dan tsunami) melalui Surat Edaran OJK No. SE.06/D.05/2013tentang Penetapan Tarif Premi serta Ketentuan Biaya Akuisisi pada Lini Usaha Asuransi Kendaraan Bermotor dan Harta Benda serta jenis Risiko Khusus meliputi Banjir, Gempa Bumi, Letusan Gunung Berapi, dan Tsunami tahun 2014. Dalam edaran tersebut, OJK menetapkan besaran batas atas dan batas bawah bagi tarif premi asuransi tersebut, di mana tarif batas bawah yang baru ditetapkan mencapai kenaikan 300% dari tarif premi semula.

Menurut Nawir, KPPU menemukan bahwa hampir seluruh perusahaan asuransi menetapkan tarif preminya pada batas bawah tersebut. Ini menunjukkan bahwa besaran tarif batas bawah yang lama telah memadai, dan kompetisi tidak terjadi karena mereka (perusahaan asuransi) menetapkan tarif yang relatif sama. Kebijakan batas bawah ini seolah menjadi sarana kartel harga dalam industri asuransi nasional. KPPU memandang bahwa konsumen telah dan akan dirugikan dalam konteks ini, karena mereka (konsumen) tidak diberikan kesempatan untuk memperoleh tarif premi yang kompetitif.

Berdasarkan kajian, surat edaran tersebut didasari oleh kekhawatiran keluarnya pelaku usaha asuransi dari pasar akibat perang tarif premi yang terjadi. KPPU menilai bahwa kekhawatiran tersebut dapat dinilai wajar, namun tidak perlu dipermasalahkan. Karena dengan dijaganya keterbukaan pasar, pelaku usaha akan terdorong untuk efisien dan memiliki daya saing pasar yang tinggi.

“Tujuan OJK untuk menjaga kesehatan industri asuransi melalui penetapan tarif tersebut, sebaiknya tetap mengedepankan semangat persaingan usaha yang sehat di dalamnya. Karena kebijakan persaingan Indonesia sebagaimana praktek yang berlaku internasional, bertujuan untuk melindungi persaingan usaha yang sehat, dan bukan melindungi pelaku usaha (pesaing) tertentu,” tulis Nawir.

Lebih lanjut, kajian KPPU juga menjelaskan bahwa penetapan tarif batas bawah sering menjadi penghalang (entry barrier) bagi perusahaan asuransi yang efisien dan mampu menawarkan tarif yang lebih kompetitif dan mungkin berada di bawah tarif batas bawah tersebut. Dalam hal ini, pelaku usaha di industri (baik yang efisien maupun yang tidak efisien) memang dapat terlindungi. Namun, konsumen akan menjadi korban karena tidak memiliki akses pada tarif premi yang lebih kompetitif.

Dalam mendukung kekhawatiran OJK atas perang tarif premi asuransi yang mengarah pada tingkatan tarif yang mampu mematikan pelaku usaha pesaing atau yang dikenal dengan sebutan predatory pricing tersebut, KPPU menyatakan siap untuk mendukung OJK melalui ranah penegakan hukum persaingan usaha yang menjadi kewenangannya, tegas Nawir dalam penutupan sarannya.

Sebelumnya, Kepala Eksekutif Pengawas OJK bidang Industri Keuangan Non Bank (IKNB), Firdaus Djaelani, mengatakan SE ini mengatur penetapan batas atas dan batas bawah tarif premi asuransi kendaraan bermotor, properti, serta jenis risiko khusus seperti banjir, letusan gunung berapi dan tsunami. Penetapan tarif ini bertujuan untuk mencegah persaingan tak sehat antara perusahaan asuransi dan reasuransi serta memberikan perlindungan bagi konsumen.

Untuk tarif batas atas ditetapkan dengan tujuan untuk melindungi kepentingan masyarakat dari pengenaan premi yang berlebihan (over pricing). Sedangkan penetapan tarif batas bawah bertujuan untuk mencegah tarif yang tak memadai sehingga dapat menyebabkan perusahaan asuransi tak mampu membayar klaim konsumen.

“Penetapan tarif batas atas dan batas bawah juga diharapkan dapat memberikan ruang bagi perusahaan asuransi untuk berkompetisi secara lebih sehat agar fokus dalam hal pelayanannya,” kata Firdaus, beberapa waktu lalu.

Selain memberikan perlindungan kepada konsumen dan mencegah terjadinya persaingan tak sehat, kata Firdaus, diterbitkannya aturan ini juga bertujuan mengurangi defisit transaksi berjalan di sektor reasuransi. Menurutnya, pada 20 tahun lalu, defisit transaksi berjalan di sektor reasuransi mencapai Rp250 miliar. Angka ini ditengarai semakin lama terus meningkat.

Hal ini terlihat dari meningkatnya premi asuransi yang ditransfer perusahaan asuransi nasional ke perusahaan reasuransi di luar negeri. Namun, klaim asuransi dari perusahaan reasuransi di luar negeri masih terbilang kecil. Firdaus mengatakan, jika hal ini tak dibenahi maka defisit transaksi berjalan di sektor reasuransi akan semakin membengkak. Dalam proses pembuatan aturan ini OJK menggandeng Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI).

“Aturan ini sudah berlaku pada Januari 2014. Aturan ini tak hanya berlaku bagi perusahaan asuransi dan reasuransi saja,” ujarnya.

Menurutnya, perusahaan pembiayaan dan perbankan yang memiliki bisnis proses di bidang asuransi juga harus tunduk pada aturan ini. Ia berharap, seluruh perusahaan yang melakukan bisnis proses di sektor asuransi dapat segera beradaptasi dengan aturan ini. Firdaus mengatakan, bagi stakeholder yang tak patuh terhadap aturan ini akan dikenakan sanksi tegas oleh OJK.

“Sanksi tersebut bisa berupa pelarangan penjualan produk asuransi dalam jangka waktu tertentu hingga melakukan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) bagi direksi perusahaan jika kesalahan dilakukan berulang kali,” katanya.

Menurut Firdaus, tarif premi asuransi properti dan kendaraan bermotor memiliki nilai yang berbeda-beda tergantung dari kelasnya. Begitu juga untuk jenis risiko khusus seperti banjir, gempa bumi, letusan gunung berapi dan tsunami. Mulai dari konstruksi, wilayah hingga penggunaan objek.

Berbeda dengan KPPU, Direktur Eksekutif AAUI Julian Noor justru menyambut baik SE ini. Ia berharap regulasi ini dapat mengakhiri persaingan tarif yang tak sehat di antara perusahaan asuransi. Menurutnya, persaingan tak sehat ini bisa merugikan masyarakat pemegang polis lantaran perusahaan asuransi tak mampu membayar kewajibannya jika terjadi klaim.

“AAUI meminta perusahaan asuransi dan reasuransi anggota AAUI untuk menjadikan regulasi ini sebagai momen untuk menyehatkan praktik persaingan di antar perusahaan asuransi dan reasuransi,” kata Julian.
Tags:

Berita Terkait