Ketua MK: Ketum Partai Harus Turun Tangan Atasi Dualisme DPR
Berita

Ketua MK: Ketum Partai Harus Turun Tangan Atasi Dualisme DPR

Jika dibiarkan akan menyandera pemerintahan Jokowi dalam menjalankan program kerjanya. DPR juga bakal jalan ditempat.

RFQ/ASH
Bacaan 2 Menit
Ketua MK: Ketum Partai Harus Turun Tangan Atasi Dualisme DPR
Hukumonline
Gaduh politik di parlemen berimbas pada banyak hal. Selain kerja legislasi DPR terhambat, program pemerintah bakal tersandera akibat kegaduhan itu. Pucuk pimpinan partai perlu turun gunung untuk turun gunung menjadi penengah para prajuritnya di parlemen. Demikian pandangan Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva di Jakarta, Jumat (31/10).

“Dewa-dewa turunlah, ketua-ketua partai turunlah. Artinya ketua umum partai turunlah, tanpa itu rumit,” ujarnya.

Hamdan berpandangan, terjadinya dualisme kepemimpinan DPR diakibatkan proses demokrasi yang tidak mengedepankan musyawarah mufakat. Padahal, musyawarah mufakat menjadi acuan dalam demokrasi Pancasila yang dianut Indonesia. Menurutnya, meski proses pemilihan menempuh mekanisme voting, tetap harus diselesaikan dengan musyawarah.

“Kalau duduk bersama tak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan,” ujarnya.

Ia mengatakan, anggota dewan merupakan representatif dari rakyat. Oleh sebab itu, cara pandang anggota dewan mesti mengedepankan kepentingan bangsa dan negara. Lebih jauh, Hamdan berpandangan kerja pemerintah akan tersandera akibat gontok-gontokan di parlemen. Boleh jadi tak hanya pemerintah, DPR pun tak dapat bekerja sesuai tugas pokok dan fungsinya.

“Presiden tak bisa jalan sendiri. Bisa jalan sendiri tanpa DPR, tapi itu bukan politik yang kita bangun,” katanya.

Peneliti Deputi Riset dan Rerormasi Kelembagaan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Giri Ahmad Taufik, mengatakan hal yang sama. Menurutnya, situasi gaduh menjadi ancaman serius terhadap efektifitas kinerja DPR. Tak hanya itu, ancaman pun berimbas pada kinerja pemerintah.

Pria biasa disapa Giri ini menyarankan beberapa hal. Pertama, Presiden Joko Widodo menahan diri untuk tidak terlibat dalam konflik DPR. Selain itu, menyerahkan penyelesaian konflik dalam internal DPR. Kedua, anggota DPR mengedepankan akal sehat dan musyawarah sebagai langkah rekonsiliasi.

Ia berpandangan, jika terdapat permasalahan hukum yang berujung kegaduhan politik berkepanjangan dan menghambat kerja pemerintahan, presiden dapat meminta pertimbangan Mahkamah Agung, khususnya dalam menentukan mitra kerja DPR sebagaimana mandat Pasal 37 UU No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

Terpisah, Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Ridwan Mansyur mengatakan belum pernah sekalipun terjadi persitiwa adanya dualisme pimpinan DPR. Ia mempertanyakan dasar hukum pembentukan DPR tandingan.

“Saya belum pernah mengetahui itu dan belum pernah ada yang seperti itu. Tetapi sebagai negara hukum yah kita kembali saja pada hukum yang kita miliki,” katanya.

Lebih jauh Ridwan berpandangan lembaganya belum menerima adanya permintaan penyumpahan pimpinan DPR tandingan. Sebaliknya, ia berharap dengan terbentuknya kabinet menteri Jokowi, pemerintah dapat segera melakukan pekerjaannya. Begitu pula dengan DPR hasil Pemilu 2014 lalu. “Harapan kita itu, kerja saja apalagi perbaikan bidang hukum. Kita punya pekerjaan rumah yang cukup besar,” imbuhnya.

Mantan Menteri Keuangan era Orde baru, Fuad Bawazir, berpandangan adanya DPR tandingan menjadi ancaman serius bagi pemerintahan Jokowi. Ia menilai Jokowi dalam menjalankan pemerintahannya bakal terganggu akibat kisruh di DPR.

“Ini mengganggu stabilitas ekonomi,” ujarnya dalam sebuah diskusi di Gedung DPD.

Pengamat ekonomi itu berpandangan, untuk sebuah lembaga negara tak boleh ada tandingan. Ia menegaskan, negara tak boleh mentolelir adanya lembaga tandingan. “Ini harus ditindak tegas, tidak boleh ditolelir,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait