PHI Tak Haram untuk Ekspatriat
Utama

PHI Tak Haram untuk Ekspatriat

Tenaga Kerja Asing tetap dapat memperkarakan masalah hubungan industrial di pengadilan Indonesia. Hukum apa yang dipakai jika melibatkan perusahaan cabang luar negeri?

Oleh:
FITRI N. HERIANI/ADY THEA/MYS
Bacaan 2 Menit
Tenaga Kerja Asing di Indonesia. Foto: RES
Tenaga Kerja Asing di Indonesia. Foto: RES
Bagi Anda Tenaga Kerja Asing (TKA) yang sedang dan akan bekerja di Indonesia, pahamilah hukum ketenagakerjaan Indonesia. Pahami proses penyelesaian sengketa hubungan industrialnya. Dan yang terpenting, pahami kultur di tempat Anda bekerja.

Begitulah nasihat yang diberikan Hernoko D. Wibowo, salah seorang lawyer dari Sudjono & Rekan Law Offices yang pernah menangani klien TKA bersengketa di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Hernoko dimintai tanggapan apa yang seharusnya dilakukan TKA sebelum bekerja di Indonesia.

Memahami kultur penting agar tidak terjadi kecemburuan sosial. Hernoko memberi contoh kasus pembakaran galangan kapal di Batam 2010 silam yang dipicu oleh kultur yang tak dipahami dan dihargai pekerja asing.  Namun, menurut Hernoko, yang tak kalah penting adalah paham aturan ketenagakerjaan Indonesia.

“Pada saat bekerja di perusahaan, dia (TKA—red) harus paham kalau aturan yang ada tidak memungkinkan bagi TKA untuk jadi pekerja tetap. Dia hanya bisa bekerja waktu tertentu atau kontrak,” jelas Hernoko.

Data Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan hingga 2014 ada 68.762 TKA yang bekerja di Indonesia. Data itu hanya merujuk pada Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) yang diterbitkan. Dari jumlah itu TKA terbanyak berasal dari Tiong Kok (16.328), disusul Jepang (10.838), dan Korea Selatan (8.172 orang).

Tidak banyak perkara hubungan industrial yang melibatkan TKA yang masuk ke Mahkamah Agung. Laporan Tahunan Mahkamah Agung Tahun 2014 hanya mencatat 82 perkara PHI tingkat kasasi, setara dengan 60,74 persen dari 135 perkara perdata khusus yang masuk sepanjang tahun itu. Tidak banyak pula kasus PHI melibatkan TKA yang bisa ditelusuri.

Meskipun demikian, TKA tetap bisa mengajukan penyelesaian perselisihan hubungan industrial ke PHI di Indonesia. “TKA bisa disidangkan di PHI,” kata Bambang Kustopo, Humas PN Jakarta Pusat, pengadilan yang ‘membawahi’ PHI Jakarta.

Salah satu kasus yang bisa ditelusuri adalah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap Andrew Ivan Ward. Pria berkebangsaan Australia ini dikontrak untuk mengelola sebuah sekolah internasional kerjasama Australia-Indonesia. Baru setahun menjalani masa kerja, Andrew mendapatkan surat ‘peringatan’. Manajemen yayasan pendidikan mengklaim mendapat keluhan dari orang tua murid. Merasa di-PHK, Andrew meminta bayaran sisa kontraknya. Setelah melalui Sudin Ketenagakerjaan Jakarta Selatan, kedua belah pihak akhirnya bersengketa hingga ke PHI.

Andrew menggugat ke PHI Jakarta dan meminta sisa kontraknya dibayar. Putusan PHI memenangkan Andrew. Di tahap kasasi, Mahkamah Agung juga menolak permohonan yang diajukan pihak sekolah. Menurut Hernoko, pengacara Andrew, pihak sekolah sudah membayar kewajiban yang dibebankan setelah mendapat aanmaning dari pengadilan. “Mereka bayar lewat pengadilan karena sudah ada aanmaning,” jelasnya kepada hukumonline.

Ada pula kasus Scott Paul Hutchison melawan PT Indo Tambangraya Megah Tbk yang salinannya dimuat dalam laman resmi putusan Mahkamah Agung. Berdasarkan salinan putusan itu, permohonan kasasi Scott ditolak Mahkamah Agung. Majelis kasasi beralasan PHI Jakarta tidak berwenang menangani kasus ini karena tempat penggugat bekerja ada di Bontang Kalimantan Timur. Karena itu, sesuai Pasal 81 UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, yang berwenang adalah PHI pada PN Samarinda.

Perkara lain tercatat pada register No. 017 PK/Pdt.Sus/2011 antara Mr. Dirk Stuip melawan PT Marsh Indonesia yang salinannya telah dipublikasikan Mahkamah Agung. Sebagaimana tertulis dalam salinan itu, Dirk mempersoalkan pembayaran sisa kontraknya setelah ia di-PHK perusahaan. Di perusahaan ini, Dirk menjabat sebagai Pimpinan Divisi Employee Benefit dengan masa kontrak tiga tahun.

PHI pada PN Jakarta Pusat (2008) mengabulkan gugatan Dirk sebagian, dan menyatakan  Staff Additional Term and Conditions – Code of Ethics and Confidentiality Agreement tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat bagi tergugat dan penggugat.

Di tingkat kasasi, gugatan Dirk tetap dikabulkan sebagian. Tetapi perjanjian kerja dinyatakan sah kecuali pada kalimat ‘in such circumstances, you agree that you shall not be entitled to and agree to waive your rights to any compensation or damage for such termination’. Pertimbangan ini dipakai majelis dalam mengabulkan sebagian gugatan rekonvensi penggugat rekonvensi. Dirk tak terima dan mengajukan PK. Pada April 2011 lalu, Mahkamah Agung menolak PK yang diajukan TKA itu.

Hukum Indonesia
PHI bukan hanya tempat TKA memperjuangkan hak-haknya. Tetapi juga tempat perusahaan asing memperjuangkan argumentasi jika digugat oleh pekerja, baik pekerja Indonesia maupun pekerja asingnya.

Salah satu argumentasi yang menarik adalah hukum mana yang dipakai jika perusahaan asing yang punya kantor cabang di Indonesia mem-PHK karyawannya: apakah hukum Indonesia atau hukum di negara domisili kantor pusat perusahaan.

Argumentasi ini pernah disampaikan dalam perkara No. 278 K/Pdt.Sus/2011 yang salinan putusannya sudah dipublikasikan Mahkamah Agung. Seorang karyawati meminta uang THR ke perusahaan tempatnya bekerja. Manajer perusahaan menolak dengan dalih perusahaannya adalah cabang perusahaan di Singapura sehingga hubungan ketenagakerjaan dan kewajiban-kewajiban yang harus dibayar tunduk pada hukum Singapura.

Masalah ini tak hanya berujung pada PHK, tetapi juga ke PHI. PHI Jakarta mengabulkan gugatan karyawati sebagian dan mewajibkan perusahaan membayar THR. Perusahaan kasasi. Majelis hakim agung kemudian menolak permohonan kasasi yang diajukan perusahaan.

Menurut majelis kasasi, meskipun  salah satu pihak (perusahaan) adalah badan hukum asing (Singapura), judex facti telah tepat dan benar menerapkan hukum Indonesia (lex fori) terhadap perkara ini. Namun demikian dalam hubungan kerja tidak terdapat titik taut penentu/sekunder yang menunjuk akan berlakunya hukum Singapura terhadap hubungan kerja penggugat dan tergugat.

Argumentasi majelis kasasi itu juga diperkuat Bambang Kustopo. Humas PN Jakarta Pusat ini mengatakan hukum PHI sepenuhnya menggunakan hukum Indonesia. Sekalipun perusahaan asing, kontrak kerja tunduk pada hukum Indonesia. Untuk melihat detil memang perlu merujuk pada kontrak kerja. Tetapi sebagai badan hukum yang tunduk pada hukum Indonesia, maka kontrak kerja juga tunduk pada hukum Indonesia. “Kontrak kerja juga harus mengacu pada hukum Indonesia,” jelas Bambang kepada hukumonline, (Senin (04/5).
Tags:

Berita Terkait