Pemerintah Didesak Tetapkan Besaran Iuran Jaminan Pensiun
Berita

Pemerintah Didesak Tetapkan Besaran Iuran Jaminan Pensiun

Sesuai amanat UU BPJS Ketenagakerjaan, pelaksanaan iuran mulai berlaku 1 Juli 2015.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Iklan layanan masyarakat tentang BPJS Ketenagakerjaan. Foto: www.bpjsketenagakerjaan.go.id
Iklan layanan masyarakat tentang BPJS Ketenagakerjaan. Foto: www.bpjsketenagakerjaan.go.id
Hingga saat ini belum ada kepastian besaran iuran jaminan pensiun Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. Hal itu disebabkan adanya tarik ulur antara pemerintah dan pengusaha yang belum menemukan formulasi penetapan pensiun wajib BPJS sebesar 8 persen dari gaji pegawai.

Kepala Divisi Sumber Daya Manusia (SDM) BPJS Ketenagakerjaan, Abdul Latif Algaf, mengatakan usulan dari berbagai komponen telah disampaikan ke presiden. Pemerintah yang diwakil Kementerian Keuangan mengusulkan besaran angka iuran jaminan pensiun sebesar 3 persen. Sedangkan dari kalangan pekerja sebesar 8 persen. Sementara dari kalangan pengusaha sebesar 1,5 persen.

“Sebenarnya tarik ulur posisinya di presiden dan besaran angkanya yang belum disepakati,” ujarnya di Gedung DPR, Kamis (21/5).

Abdul menjelaskan, sebagai badan yang melaksanakan UU No.24 Tahun 2011 tentang BPJS Ketenagakerjaan, pertanggal 1 Januari 2014 PT Jamsostek berubah menjadi Badan Hukum Publik. Otomatis, PT Jamosostek (Persero) berubah menjadi BPJS Ketenagakerjaan. Lembaga ini dipercaya menyelenggarakan program jaminan sosial ketenagakerjaan yang antara lain Jaminan Hari Tua (JHT) hingga penambahan jaminan pensiun yang berlaku mulai 1 Juli 2015.

Abdul mengatakan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Iuran Jaminan Pensiun yang sudah berada di Presiden Jokowi belum menyertakan persetujuan Kementerian Keuangan. Dengan keterbatasan waktu yang sudah dekat, Abdul berharap agar besaran angka iuran pensiun wajib BPJS segera diputuskan.

“Kita berharap segera dapat diterbitkan RPP penetapan besaran iuran pensiun,” ujarnya.

Anggota Komisi IX DPR Irgan Chairul Mahfiz menyatakan, DPR akan terus mendorong pekerja formal mendapat jaminan pensiun sebagaimana yang diamanatkan negara melalui UU yang berlaku. Ia berharap tarik ulur antara pemerintah, pengusaha dan pekerja dapat segera diakhiri dengan menetapkan besaran iuran pensiun. “Semoga tidak ada tarik ulur lagi,” ujarnya.

Politisi PPP itu berpandangan, DPR khususnya Komisi IX akan memantau terus penerbitan RPP yang kini berada di tangan presiden. Ia meminta agar RPP dapat segera diterbitkan presiden.

“Harus terus dipantau terus, kalau tidak akan membuat resah skala sosial dan ekonomi, ditambah skala politik peninggi, jangan sampai menambah persoala baru, kita berharap ini cepat clear. Ini ada 8 persen, 5 persen, segera diambil kesepakatan,” ujarnya.

Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja BUMN, Abdul Sadat, berpendapat pemerintah mesti fokus memberikan perhatian terhadap kelas pekerja. Pasalnya, buruh acapkali melakukan aksi demo terkait dengan gejolak kebutuhan ekonomi yang kian meningkat. Ia mencatat dari 219 perusahaan, hanya 110 perusahaan yang telah melaksanakan pemberian iuran jaminan pensiuan terhadap para pekerjanya.

“Sedangkan 109 perusahaan belum melaksanakan dengan baik,” katanya.

Direktur Eksekutif LSM Komunal, Hery Susanto, berharap pemerintah dalam menetapkan kebijakan besaran iuran pensiun tidak menimbulkan polemik antara pengusaha dengan kelas pekerja. Dengan begitu, pemerintah dan pengusaha serta kelas pekerja tidak terjadi tarik ulur. Ia meminta pemerintah tidak lagi mengulur-ulur penerbitan RPP terkait dengan penetapan besaran iuran pensiun wajib BPJS.

“Tanggal 1 Juli sesuai amanat UU, dana pensiun harus dilaksanakan. Kebijakan ini harus segera diluncurkan bagi pekerja. Ke depan pemerintah jangan berpolemik dan menimbulkan tarik ulur di ranah publik,” ujarnya.

Pengamat Jaminan Sosial ini berpendapat, dari wacana yang berkembang iuran pensiun sebesar 8 persen yang dibebankan kepada pemberi kerja dan pekerja. Pemberi kerja dibebankan 5 persen, sedangkan 3 persen menjadi tanggungan pekerja dari gaji yang diterimanya. Sementara dari pihak Kemenkeu mengusulkan iuran pensiun mulai dari 3 persen.

Setiap dua tahun atau tiga tahun sekali iuran bertambah sebesar 0,2 hingga 0,3 persen. Menurutnya, rumusan Kemenkeu sudah memperhitungkan jumlah manfaat pasti yang dijanjikan serta kondisi ekonomi dalam negeri. “Meski iuran lebih rendah dari 8 persen, peserta program jaminan pensiun berhak atas manfaat pasti setelah membayar iuran minimal selama 15 tahun,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait