Komisi III Pertanyakan Penanganan Kasus Terorisme di Poso
Berita

Komisi III Pertanyakan Penanganan Kasus Terorisme di Poso

Persoalan dendam dan ketidakadilan menjadi pemicu aksi terorisme yang tidak berkesudahan. BNPT menggunakan strategi pendekatan kultur.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Komisi III Pertanyakan Penanganan Kasus Terorisme di Poso
Hukumonline
Wilayah Poso Sulawesi Tengah acapkali menjadi sorotan media dan publik. Wilayah itu seolah tak pernah rampungdarioperasi penanganan terorisme oleh Detasemen Khusus (Densus) 88 Polri. Masyarakat pun kian menjadi antipati terhadap polisi. Demikian disampaikan anggota Komisi III DPR, Teuku Taufiqulhadi, dalam rapat dengar pendapat dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) di Gedung DPR, Rabu (27/5).

“Kenapa kasus di Poso tidak selesai, ini jadi pertanyaan,” ujarnya.

Menurutnya, kerja BNPT dengan Polri dianggap tidak sinkron. Akibatnya, masyarakat di Poso tak memberikan simpati terhadap Polri. Pasalnya,Densus 88 Polri dalam melakukan pemberantasan terorisme kian masif saat melakukan penangkapan. Padahal pemberantasan terorisme tidak melulu dilakukan dengan aksi represif. Namun mesti dimulai dengan tindakan pencegahan.

Politisi Partai Nasional Demokrat (Nasdem) itu berpandangan, masyarakat Poso cenderung dapat menjalin komunikasi dengan TNI ketimbang jajaran Polri. Oleh sebab itu, persepsi masyarakat Poso terhadap Polri amatlah minim. Ia menyarankan agar persepsi masyarakat dilakukan survei mendalam oleh BNPT.

Selain itu, ia menyarankan agar melumpuhkan teroris dengan menembak tidak dilakukan di depan anak dan istri pelaku. Sebab hal itu akan menimbulkan rasa dendam bagi pihak keluarga pelaku terhadap aparat kepolisian dan negara tentunya. “Jangan melakukan penembakan di depan anak istri pelaku,” ujarnya.

Anggota Komisi III lainnya, Sarifuddin Sudding menambahkan persoalan Poso terbilang lama tak kunjung usai. Malahan sebagian kalangan masyarakat berpandangan persoalan Poso menjadi ‘proyek’. Menurutnya belum lama terdapat latihan TNI di Poso. Namun pihak TNI, kata Suding, mengatakan tak terdapat jaringan teroris.

TNI rampung melakukan latihan, terdapat terduga teroris ditembak oleh polisi. Sudding menilai tidak terdapat koordinasi yang bagus antar lembaga. Mestinya koordinasi antar lembaga terkait dengan keberadaan teroris dapat dilakukan secara komprehensif agar terdapat satu kesamaan informasi. “Ini tidak ada koordinasi antar lembaga. Apa yang dilakukan BNPT dengan deradikalisasi,  dan Densusu tidak ada koordinasi,” ujarnya.

Politisi Partai Hanura itu mengaku prihatin dengan penilaian publik terhadap daerah yang rawan berpotensi aksi terorisme dijadikan ‘proyek’. Ia berharap BNPT dapat menangkis anggapan dan penilaian publik tersebut. Oleh sebab itu, Sudding meminta BNPT melakukan kajian mendalam terhadap persoalan di Poso dan daerah di Jawa apakah aksi terorisme atau hanya gangguan kekacauan keamanan semata. “Kalau kajiannya dangkal akan menjadi persoalan baru dan terpelihara,” ujarnya.

Menanggapi cecaran Taufiqulhadi dan Sudding, Kepala BNPT Komjen Saud Usman Nasution memberikan jawaban. Menurut Saud, lembaga yang dipimpinnya tak melakukan penegakan hukum, tetapi melakukan sinergi dengan lembaga lain. Seperti organisasi kemasyarakatan keagamaan dan penyidik Polri. “Tapi kalau penangkapan itu Densus,” ujarnya.

Persoalan yang tak kunjung rampung dalam penanangakan terorisme perlu dilihat akar masalah. Pertama dendam dari pelaku teror. Kedua, adanya rasa ketidakadilan yang dirasakan pelaku akibat kebijakan tertentu. “Kasus bom JW Mariot itu mereka dendam, begitu juga pemboman malam Natal karena banyak umat muslim di Ambon yang dibantai di Ambon,” ujarnya.

Lebih lanjut mantan Kepala Densus 88 Anti Teror itu mengatakan penangkapan jaringan Santoso di Poso tidak menyelesaikan masalah. Sebagai orang yang menjadi pimpinan di Densus, pernah bertugas dua tahun di Poso, ia dapat mematakan persoalan terorisme.

“Jadi menyelesaikan masalah terorisme tidak gampang, bukan saja law enforcement, jadi tidak asal tembak saja. Kita bersikap arif dan bijak melibatkan semua, karena penanganan Poso tidak bisa parsial karena akan menimbulkan luka baru,” ujarnya.

Jenderal polisi bintang tiga itu mengatakan strategi yang digunakan BNPT adalah pendekatan kultur dan budaya, khususnya terhadap pelaku terorisme yang di jebloskan di sel tahanan. Begitu pula dengan keluarga, simpatisan. Makanya pendakatan yang dilakukan BNPT mulai hulu ke hilir. “Tujuan kita, pelaku tertangkap, sehingga diketahui apa motifnya jadi teroris. Kalau sudah begitu, kita dapat solusinya, kalau teroris ditembak mati, kita juga kehilangan banyak informasi,” pungkas mantan Kadiv Humas Mabes Polri itu.
Tags:

Berita Terkait