Bisikan Hati untuk Para Pemimpin
Mengenang Bismar:

Bisikan Hati untuk Para Pemimpin

Melalui surat-suratnya kepada banyak tokoh nasional, Bismar mencurahkan isi hati dan menyampaikan nasehat. Sikapnya dalam kasus Soeharto dipertanyakan.

Oleh:
YOZ/NOV/KAR
Bacaan 2 Menit
Para presiden yang pernah dikirimkan surat oleh Bismar Siregar. Foto: HOL
Para presiden yang pernah dikirimkan surat oleh Bismar Siregar. Foto: HOL
Bisikan hati mantan hakim agung itu berwujud dalam banyak surat yang ditujukan kepada para pemimpn bangsa ini. Surat-surat sang mantan hakim lebih didasari keinginan saling mengingatkan tentang kesabaran dan ingat mengingatkan dalam kebenaran.

Itulah yang dilakukan oleh hakim agung (1984-1995) Bismar Siregar. Suatu kali ia mengirimkan surat yang meminta Ketua DPR Agung Laksono untuk istighfar, kali lain ia meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk bertaubat. Lugas, tegas, dan berkah. Ketulusannya untuk saling mengingatkan lewat surat menjadi cahaya dalam hidupnya.

Bisikan hati Bismar Siregar itu bisa dibaca dalam Surat-Surat kepada Pemimpin, Bisikan Hati Seorang Mantan Hakim Agung (Granit, 2008), “Saat Bismar berujar, sebaiknya banyak telinga mendengar. Saat Bismar menulis surat, sebaiknya teraba yang tersirat,” tulis Arswendo Atmowiloto dalam kata pengantar buku ini.

Bismar Siregar banyak mencurahkan isi hatinya dalam bentuk surat kepada pemimpin bangsa ini. Ia tak ragu mengutip ayat suci Al Quran dalam surat-suratnya dengan tujuan mengingatkan segala tindakan yang diambil oleh seorang pemimpin.

Dia mengingatkan amanah dan jabatan seorang pemimpin adalah sesuatu yang kelak dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Semua pemimpin tidak bisa lepas dari pertanggungjawaban. Dalam buku itu, Bismar menulis surat kepada Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan juga mantan penguasa Orde Baru Soeharto.

Di mata Bismar, reformasi bukan hal asing dalam Islam. Setiap orang harus berani mengadakan pembaruan pada saat orang tidak berani berbuat demikian. Itulah reformasi di mata Bismar. Sayangnya, penyakit pejabat di negeri ini adalah mengesampingkan janji yang dibuat saat kampanye. Bismar mengingatkan bila seseorang sudah terpilih menjadi pemimpin rakyat, maka ada baiknya untuk menanggalkan baju loyal kepada partai. 

Kepercayaan Bismar kepada lembaga legislatif bisa dikatakan kurang. Alasannya, ya itu tadi, dulu waktu Pemilu calon legislatif berjanji akan berjuang untuk rakyat, tetapi setelah duduk di kursi legislatif, malah bekerja untuk kepentingan partainya. Semua pemimpin belum kembali kepada tujuan bahwa apapun yang diperbuat tiada lain karena Tuhan. Maka selama itu belum kembali, kata Bismar, jangan harap seorang pemimpin dapat berkat dan ridho Allah.

Kepada Presiden RI keenam, Susilo Bambang Yudhoyono, Bismar mengingatkan bahwa SBY adalah seorang imam yang harus bertanggungjawab terhadap lingkungannya. Bismar mengumpamakan, jika dirinya menjadi imam terhadap diri sendiri dan terhadap keluarganya, maka SBY adalah imam untuk bangsa ini. Sehingga tolong ingat, kata Bismar, SBY bukan presiden dalam sistem parlementer dan tidak bisa dikecilkan oleh parlemen karena dipilih langsung rakyat. Sayangnya, Bismar melihat SBY tak sadar akan hal itu.

Bismar bukan mengada-ada, karena ia mencintai SBY seperti mencintai dirinya sendiri. Apalagi, di dalam Islam dipesankan cintailah sesamamu seperti mencintai dirimu. Di halaman satu tulisan, Bismar mengatakan kepada SBY agar tidak membiarkan rakyat terlalu lama menderita.

Sebagai seorang muslim, Bismar mencontohkan pemimpin-pemimpin Islam. Dia mengisahkan seorang khalifah yang bernama Umar Ibnu Abdul Azis. Saat itu, Umar menolak ditunjuk menjadi pemimpin. Tapi karena kuat arus, ia malah bertanya siapa nanti yang akan membebaskan dirinya dari rintihan mereka yang diperlakukan tidak adil. Siapakah nanti yang membebaskan dirinya dari tangisan mereka yang menderita kelaparan.

Siapakah nanti yang membebaskan dirinya dari yang diperlakukan kezaliman, dari janda yang ditinggal tidak mendapat santunan, anak yatim, dan seterusnya. Tidak siapa-siapa, kecuali dirinya sendiri. Dalam pandangan Bismar, setiap orang yang ditunjuk sebagai pemimpin harus berprinsip demikian, bukan sebaliknya bernafsu mengejar harta dan kekuasaan. 

Bismar juga berkirim surat kepada presiden keempat, Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Dalam suratnya itu, Bismar mengaku sulit memahami jalan pemikiran Gus Dur. Contohnya sederhana, ketika Gus Dur pernah berfatwa untuk apa bersalam Assalamu’alaikum Wr.Wb, karena ucapan itu untuk umat Islam sedangkan negara ini bukanlah negara Islam. Bersalam sajalah dengan selamat pagi, selamat sore, selamat malam, selamat tinggal, dsb.

Tergelitik dalam hati, Bismar berpandangan, benar negara dan bangsa ini bukan negara Islam. Namun, kata Bismar, demikian salahkah berbuat sesuatu sesuai dengan akhlak Islam. Bismar berucap, mungkin Gus Dur tergolong yang mengharamkan berucap salam yang Islami sesuai ulama bersalam atau menerima salam dari orang yang bukan beragama Islam. Bismar mengaku belum mampu meresapi sikap demikian.

Kemudian, Bismar mengingatkan keikhlasan kepada Gus Dur saat dirinya lengser dari Presiden keempat Republik Indonesia. Menurutnya, Gus Dur tak perlu protes kepada Tuhan karena apa pun yang terjadi merupakan ketentuan Tuhan. “Kalau pun harus lengser, ikhlas saja, jabatan tidak segala-galanya untuk saya,” tulis Bismar.

Kepada Megawati Soekarnoputri, Bismar berpesan untuk selalu berjiwa besar dan bersikap kesatria. Pesan Bismar ini terkait degan kalahnya PDIP dalam putaran II Pilpres tahun 2004. Saat itu, Partai Demokrat, yang merupakan partai baru unggul dan mengatarkan SBY duduk sebagai Presiden.

Bismar mengaku tak memahami sikap Megawati yang tidak menghadiri pelantikan SBY-JK. Dia bertanya, mengapa demikian kerdil jiwa Megawati. Dia juga kurang memahami, apakah yang dilakukan Megawati sebagai bentuk boikot, ngambek, atau hanya sikap tidak kesatria yang ditunjukan tokoh politik. Malah Bismar menulis timbul rasa syukur bukan Megawati yang terpilih jadi Presiden. Dia tidak bisa membayangkan apa jadinya kalau akhlak pemimpin di negeri ini tidak rela dan ikhlas menerima kekalahan.  “Makin mantaplah dalam diri, apa yang terjadi dalam silih bergantinya siang dan malam tidak percuma ada hikmat di baliknya,” tulis Bismar.

Begitu halnya kepada BJ Habibie yang menjadi Presiden RI ketiga. Dalam suratnya, terdapat pesan kepada Habibie untuk meneruskan penegakan hukum yang adil sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia. Tulisannya, “Saya titip seluruh bangsa Indonesia apa benar penegakan hukum itu di Indonesia benar-benar dilaksanakan sesuai cita-cita bangsa".

Di era Habibie, sebagaimana terangkum dalam buku Perjuangan Tiada Henti, Pahit Getir Merintis Demokrasi (Aksara Karunia, 2004), Bismar Siregar sempat diusulkan oleh Adnan Buyung Nasution menjadi salah satu anggota Komisi Independen terkait rencana proses peradilan untuk mantan Presiden Soeharto. Selain Bismar, nama-nama lain yang diusulkan antara lain Hoegeng Iman Santoso, Frans Seda, Baharudin Lopa, Anwar Nasution, Sri Mulyani, dan Adnan Buyung Nasution sendiri.

Pada akhirnya, Komisi Independen urung terbentuk. Namun, rencana proses peradilan untuk Soeharto tetap menjadi perhatian Bismar. Dalam buku Pak Harto The Untold Stories (Gramedia, 2011), Bismar secara terang-terangan menolak peradilan terhadap Soeharto. Meski demikian, dia menyatakan dirinya bukanlah pemuja Soeharto selagi jaya di masa kekuasaan orang kuat Orde Baru itu.

Bismar lebih melihat realitas kondisi kesehatan Soeharto yang sakit-sakitan. Ketika sebuah stasiun televisi meminta tanggapan tentang sidang perkara Soeharto di PN Jakarta Selatan, Bismar memberikan pernyataan yang mengehentakkan banyak orang, “Mengadili Soeharto dalam keadaan sakit, haram hukumnya”.

Dalam buku lainnya yang berjudul Surat-Surat kepada Pemimpin, Bisikan Hati Seorang Mantan Hakim Agung, Bismar kembali mengingatkan bahwa kejahatan bukan hal yang mudah diselesaikan dengan saling memberi maaf, kecuali berdasar iman dan taqwa sesuai syariat Islam. Merujuk pada Surat Al Baqarah 178, Bismar berpendapat pemaafan itu jauh lebih utama daripada penghukuman.

Dalam buku itu tercatat, Bismar tujuh kali mengirim surat kepada Soeharto yang kondisinya sedang sakit. Surat-surat Bismar yang ditujukan kepada Soeharto lebih banyak mengingatkan arti keikhlasan dan ketabahan.

Bismar malah pernah menulis surat kepada Jaksa Agung. Dia menyatakan, sebelum kejaksaan memeriksa Pak Harto ajaklah seorang ulama. Berilah kesempatan kepada ulama itu untuk berbicara tentang kasus Soeharto. Pengusutan kasus ini akan lebih mudah bila menggunakan pendekatan keimanan, ketimbang pendekatan hukum. Bismar juga memaparkan semua ini kepada Soeharto melalui surat. Di situ Bismar menyatakan, "Engkau adalah bagian dari saya. Kalau kau disakiti, saya pun demikan."

Surat pertama Bismar kepada Soeharto diberikan pada 8 Juni 2004, tepat saat usia Soeharto menginjak 83 tahun. Surat pertama itu disertai dengan pemberian lukisan sederhana, namun mengandung makna sebuah mesjid Sulaiman di Turki. Bismar berharap setiap menatap lukisan, Soeharto terkenang dengan mesjid at-Tiin di Taman Mini Indonesia Indah (TMII).

Advokat dan aktivis antikorupsi, Todung Mulya Lubis,berpendapat, sikap Bismar terhadap kasus Soeharto tak bisa ditebak. Dengan sifat religiusnya, Bismar menunjukkan rasa simpati dengan mengirim karangan bunga kepada mantan penguasa Orde Baru itu. Berbeda dengan Todung yang sejak awal “melawan” Soeharto, Bismar justru menganggap Soeharto punya jasa untuk negara ini.

“Ya, bukan saya tidak punya perasaan terhadap seseorang yang mengalami musibah, tapi saya menarik garis yang tegas antara saya dengan Soeharto,” kata Todung.
Tags:

Berita Terkait