Quo Vadis Kepemilikan Properti WNA di Indonesia
Kolom

Quo Vadis Kepemilikan Properti WNA di Indonesia

Sebelum dikeluarkan PP yang merupakan revisi/pengganti dari PP No. 41 maka perlu dilakukan kajian secara mendalam yang dapat memberikan masukkan kepada Presiden mengenai materi dan hal apa saja perlu dilakukan revisi/perubahan agar tidak bertentangan dengan UUPA ataupun peraturan perundang-undangan terkait lainnya.

Bacaan 2 Menit
Foto: Koleksi Penulis
Foto: Koleksi Penulis
Pendahuluan
Menarik sekali mencermati berita dan informasi di media massa tentang rencana Presiden Joko Widodo mengizinkan kepemilikan properti untuk warga negara asing (WNA) yang mana peraturan tersebut akan menggantikan PP Nomor 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia (‘PP No. 41’).

Sambil menanti kejelasan realisasi dari rencana Presiden Joko Widodo tersebut dan hal-hal teknis yang akan diatur di dalamnya, maka Penulis bermaksud untuk menelaah ketentuan PP No. 41 beserta peraturan terkait lainnya, agar publik dapat mengetahui isi dari ketentuan peraturan tersebut. Mengingat selama ini terdapat ‘ketidakpahaman’ dari masyarakat awam yang menganggap seolah-olah pemberian izin bagi WNA untuk memperoleh properti di Indonesia adalah hal yang baru padahal telah diatur sebelumnya dalam PP No. 41 beserta peraturan terkait lainnya.  

Beberapa ketentuan yang terdapat dalam PP No. 41, yang mulai berlaku pada tanggal 17 Juni 1996 adalah sebagai berikut:

Pertama, berdasarkan PP No. 41, WNA hanya diperbolehkan memiliki satu rumah tempat tinggal atau hunian dengan hak atas tertentu (Pasal 1 ayat 1). Namun demikian terdapat persyaratan lainnya yaitu WNA tersebut harus berkedudukan di Indonesia dan kehadirannya di Indonesia memberikan manfaat bagi pembangunan nasional (Pasal 1 ayat 2).

Menarik untuk mencermati Penjelasan Pasal 39 ayat (2) PP No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah (‘PP No. 40’), yang memberikan pengertian bahwa WNA yang dianggap berkedudukan di Indonesia adalah orang asing yang kehadirannya di Indonesia memberikan manfaat bagi pembangunan nasional.

Dalam Surat Edaran Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor: 110-2871 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan PP No. 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian Oleh Orang Asing (‘SE MENAG No. 110’) terdapat penjelasan lebih lanjut mengenai apa yang dimaksud dengan berkedudukan. Di mana WNA yang dapat memiliki rumah di Indonesia adalah WNA yang kehadirannya di Indonesia memberi manfaat bagi pembangunan nasional, yaitu memiliki dan memelihara kepentingan ekonomi di Indonesia dengan investasinya untuk memiliki rumah tinggal atau hunian di Indonesia.

WNA tersebut dari segi kehadirannya di Indonesia dapat dibedakan menjadi dua golongan:
  1. WNA yang bertempat tinggal di Indonesia secara menetap yang dibuktikan dengan Izin Tinggal Tetap;
  2. WNA yang tidak bertempat tinggal di Indonesia secara tetap melainkan hanya sewaktu-waktu berada di Indonesia, yang dibuktikan dengan Izin Kunjungan atau Izin Keimigrasian lainnya yang tertera dalam paspor atau dokumen keimigrasian lainnya yang dimiliki oleh WNA yang bersangkutan (Vide angka 2 SE MENAG No. 110).
Kedua, rumah tempat tinggal atau hunian yang dapat dimiliki oleh WNA tersebut adalah: a) rumah yang berdiri sendiri yang dibangun di atas bidang tanah: Hak Pakai atas tanah negara atau yang dikuasai berdasarkan perjanjian dengan pemegang hak atas tanah; b) satuan rumah susun yang dibangun di atas bidang tanah Hak Pakai atas tanah negara (Pasal 2 PP No. 41).

Dari uraian tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga kemungkinan rumah tempat tinggal atau hunian yang dapat dimiliki oleh WNA di Indonesia:
  1. Rumah yang berdiri sendiri yang dibangun di atas bidang tanah Hak Pakai atas tanah negara (Vide Pasal 42 ayat (b) UUPA). Dimana jangka waktu pemberian Hak Pakai atas negara diberikan untuk jangka waktu paling lama 25 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun (Pasal 45 ayat (1) PP No. 40). Namun demikian Pasal 2 ayat (1a) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 7 Tahun 1996 tentang Persyaratan Pemilikan Rumah Tinggal atau Hunian oleh Asing (‘PERMENAG No. 7’) yang merupakan peraturan pelaksanaan lebih lanjut dari PP No. 41 (Vide Pasal 7 PP No. 41) menyebutkan bahwa dimungkinkan pula WNA memiliki rumah yang dibangun di atas tanah bidang tanah Hak Pakai atas tanah Hak Milik.
  2. Rumah yang dapat dimiliki oleh WNA di atas bidang tanah yang dikuasai berdasarkan perjanjian dengan pemegang hak atas tanah (vide Pasal 6 UU Nomor 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman). Dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1b) PP No. 41 disebutkan bahwa hak atas tanah yang dapat dilakukan perjanjian dengan WNA adalah antara lain di atas tanah Hak Milik dan Hak Guna Bangunan. Perjanjian mana tidak boleh dibuat lebih lama dari 25 tahun dan selanjutnya perjanjian tersebut dapat diperbaharui untuk jangka waktu yang tidak lebih lama dari 25 tahun atas dasar kesepakatan para pihak serta sepanjang WNA tersebut masih berkedudukan di Indonesia (Pasal 5 PP No. 41).
  3. Satuan rumah susun yang dibangun di atas bidang tanah Hak Pakai atas tanah negara (Vide Pasal 2 ayat (2) PP No. 41).
Ketiga, PP No. 41 mengatur pula dalam hal WNA tersebut tidak lagi berkedudukan di Indonesia maka dalam jangka waktu satu tahun wajib melepaskan atau mengalihkan rumah yang dibangun di atas tanah Hak Pakai atas tanah negara atau berdasarkan perjanjian dengan  pemegang hak atas tanahkepada pihak lain yang memenuhi syarat (Pasal 6 ayat (1) PP No. 41). Namun demikian dalam hal WNA tersebut tidak mengalihkan haknya kepada pihak lain dalam jangka waktu yang telah ditetapkan tersebut maka apabila: a) rumah tersebut dibangun di atas tanah Hak Pakai atas tanah negara, rumah beserta tanahnya dikuasai negara untuk dilelang; b) rumah tersebut dibangun di atas tanah berdasarkan perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1b) PP No. 41, maka rumah tersebut menjadi milik pemegang hak atas tanah yang bersangkutan.

Quo Vadis PP No. 41
Penulis berpendapat bahwa PP No. 41 beserta peraturan terkait lainnya sudah cukup memadai untuk mengakomodir kepemilikan properti WNA di Indonesia, mengingat PP No. 41 yang merupakan ‘turunan’ dari UUPA telah memberikan hak bagi WNA untuk dapat memperoleh rumah atau hunian di Indonesia yang mana tentunya dengan pembatasan tertentu antara lain hanya boleh memiliki satu unit saja dan juga bukan berupa rumah sederhana dan rumah sangat sederhana (Vide Pasal 2 ayat (2) PERMENAG No. 7).

Dalam menerbitkan PP No. 41 tersebut Pemerintah telah berhati-hati dan bermaksud melindungi ‘spirit’ atau ‘jiwa’ dari Pasal 2 UUPA yang merupakan pengejewantahan dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Namun demikian terdapat beberapa hal dari PP No. 41 yang  perlu disempurnakan mengingat:

Pertama, perlu ditegaskan dalam revisi PP No. 41 mengenai apa yang dimaksud dengan berkedudukan di Indonesia, mengingat Penjelasan Pasal 1 ayat (2) PP No. 41 tidak memberikan kejelasan mengenai apa yang dimaksud dengan berkedudukan di Indonesia.

Kedua, telah terdapat UU Nomor 20 Tahun 2011 (‘UU No. 20’) yang menggantikan UU No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun (‘UU No. 16’), sehingga tentunya ketentuan PP No. 41 tersebut perlu direvisi untuk menyesuaikan dengan hal-hal baru yang belum terdapat dalam UU No. 16 sebelumnya. Dimana perlu diatur secara tegas bahwa yang boleh dimiliki oleh WNA adalah rumah susun komersial dan bukan rumah susun lainnya, di mana dalam UU No. 16 hanya mengenal satu jenis rumah susun sedangkan dalam UU No. 20 mengenal ada beberapa macam rumah susun: rumah susun umum, rumah susun khusus, rumah susun negara, dan rumah susun komersial.

Ketiga, dengan adanya UU Nomor 1 Tahun 2011 (‘UU No. 1’) yang menggantikan UU No. 4, maka perlu pula diadakan penegasan dan juga penjelasan lanjut terkait dengan Penjelasan dari Pasal 2 ayat (1b) PP No. 41 mengingat dalam penjelasan tersebut merujuk pada Pasal 6 UU No. 4, yang mana saat ini sudah tidak berlaku dan digantikan dengan UU No. 1. Perlu diketahui bahwa dalam UU No. 1 tidak terdapat pasal yang memiliki makna yang sama dengan Pasal 6 ayat (2) UU No. 4. Dalam UU No. 1 hanya terdapat rujukan pada Pasal 52 yang intinya bahwa WNA dapat menghuni atau menempati rumah dengan hak sewa atau Hak Pakai yang mana sejalan dengan ketentuan Pasal 41 dan 44 UPPA (Pasal 52 ayat (1) UU No.1) yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 52 ayat (2) UU No. 1). Untuk itu diperlukan revisi atau perbaikan redaksional pada Penjelasan Pasal 2 ayat (1b) PP No. 41 guna menegaskan bahwa Perjanjian dari WNA dengan pemilik tanah dapat dilakukan denganhak-hak yang diatur oleh UUPAantara lain dapat dilakukan di atas tanah Hak Milik dan Hak Guna Bangunan.

Penutup
Dalam hal Presiden Joko Widodo akan mengizinkan WNA untuk dapat memiliki satuan rumah susun dengan kriteria tertentu maka perlu dipahami bahwa selama UUPA tidak diubah maka bagi WNA hanya dimungkinkan memiliki satuan rumah susun di atas bidang tanah Hak Pakai. Sebelum dikeluarkan PP yang merupakan revisi/pengganti dari PP No. 41 maka perlu dilakukan kajian secara mendalam khususnya oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional yang dapat memberikan masukkan kepada Presiden mengenai materi dan hal apa saja perlu dilakukan revisi/perubahan agar tidak bertentangan dengan UUPA ataupun peraturan perundang-undangan terkait lainnya.

Juga perlu dilakukan koordinasi atau kajian lintas Kementerian oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional antara lain dengan Kementerian Keuangan dan juga Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat guna dapat menghasilkan kajian hukum dan juga ekonomi secara mendalam guna mempelajari dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan yang akan diambil oleh Pemerintah sebelum dilakukan revisi/perubahan atas PP No. 41 ataupun ketentuan terkait lainnya. Satu hal yang perlu diingat bahwa ‘spirit’ dari UUPA adalah Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang mana berarti tanah merupakan sumber daya alam yang harus digunakan atau dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat Indonesia.


*Penulis adalah Advokat
Tags:

Berita Terkait