Puluhan Ulama NU Rekomendasikan Hukum Mati Koruptor
Berita

Puluhan Ulama NU Rekomendasikan Hukum Mati Koruptor

Tapi ada syarat agar hukuman mati untuk koruptor bisa diterapkan.

RED/ANT
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi Hukuman Mati. Ilustrator: BAS
Ilustrasi Hukuman Mati. Ilustrator: BAS

Puluhan ulama Nahdlatul Ulama (NU) melakukan pertemuan di Yogyakarta guna menyusun rekomendasi tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang salah satunya merekomendasikan hukuman mati bagi koruptor. Beberapa rekomendasi yang dihasilkan dalam pertemuan bertajuk "Halaqah Alim Ulama Nusantara Membangun Gerakan Pesantren Anti Korupsi" itu antara lain untuk disampaikan dalam Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-33 di Jombang, Jawa Timur pada 1-5 Agustus 2015.

"Karena korupsi maupun money laundering (pencucian uang) berdampak sangat buruk bagi kehidupan berbangsa, bernegara dan merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat," kata Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Ahmad Isomuddin dalam jumpa pers di Yogyakarta, Rabu (29/7).

Menurut Isomuddin, rekomendasi hukuman mati tersebut memiliki tujuan untuk memperingatkan kepada aparat penegak hukum agar lebih serius menangani tindak pidana korupsi, termasuk menjatuhkan hukuman mati kepada koruptor. "Meski kita menganggap korupsi telah berlangsung berulang-ulang tapi belum ada seorang hakim pun yang berani memutus hukuman mati," kata dia.

Akan tetapi, dia mengatakan, hukuman mati yang direkomendasikan tersebut bukan tanpa syarat. Hukuman mati dapat diterapkan apabila pidana korupsi atau tindak pidana pencucian uang dilakukan ketika negara dalam keadaan bahaya, krisis ekonomi, krisis sosial, atau dilakukan secara berulang-ulang.

Ia mengatakan, selain diatur dalam perundang-undangan yang berlaku, tindak pidana korupsi juga mencakup kejahatan yang berkaitan dengan harta benda, seperti Ghulul (penggelapan), Risywah (penyuapan), sariqah (pencurian), ghasb (penguasaan ilegal), nahb (penjarahan/perampasan).

"Serta Khianat (penyalahgunaan wewenang), akl al-suht (memakan harta haram), hirabah (perampokan/perompakan), dan ghasl al amwal al muharromah (mengaburkan asal-usul harta yang haram)," kata dia.

Selain itu, ia mengatakan, pertemuan tersebut juga merekomendasikan kepada pemerintah untuk serius melindungi berbagai pihak yang concern melakukan upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. "Pemerintah wajib melindungi dan memperkuat semua pihak yang melaksanakan jihad mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi serta tindak pencucian uang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku," kata Ishomuddin.

Sementara itu, Kiai Umar Farouq dari Pesantren Ma'had Jami'ah Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Mathali'ul Falah, Desa Kajen, Pati mengatakan, selama ini para ulama Madzhab Hanafi dan Maliki sesungguhnya telah memiliki pendapat bahwa hukuman mati dibenarkan jika dilakukan secara terus-menerus.

Kendati demikian, selama ini para ulama di Indonesia cenderung berhati-hati dalam menetapkan fatwa hukuman mati bagi koruptor, karena hukuman tersebut berkaitan dengan menghilangkan nyawa seseorang. "Tetapi saat ini sudah waktunya dikeluarkan, karena memang kondisinya sudah darurat," kata dia.

Halaqah yang berlangsung selama tiga hari (27-28 Juli 2015) tersebut diikuti oleh puluhan ulama di antaranya Kiai Izet Abu Dzar (Pesantren Miftahus Sa'adah, Bandung), KH Lukman Hakim Dimyati (Pesantresn Termas, Pacitan), KH Hasan Abdullah (Pesantren Mlangi, Yogyakarta), KH Shihabbudin (Pesantren Nurul Huda, Malang), serta KH Afifudin Haritsa (Pesantren An-Nahdliyah, Makasar).

Sebagaimana diketahui, hukuman mati bagi koruptor telah diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada Pasal 2 Ayat (2) UU tersebut dijelaskan bahwa, pidana mati dapat dijatuhkan apabila tindak pidana korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu.

Sedangkan dalam penjelasannya, yang dimaksud dengan keadaan tertentu dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan UU yang berlaku. Seperti, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.

Tags:

Berita Terkait