Memaknai Gagasan Konstitusi Sosial Ala Jimly
Berita

Memaknai Gagasan Konstitusi Sosial Ala Jimly

Gagasan konstitusi sosial pada dasarnya mengusung dua isu besar, yaitu institusionalisasi dan konstitusionalisasi.

CR19
Bacaan 2 Menit
Foto: CR19
Foto: CR19
Istilah konstitusi seringkali dimaknai sempit. Saat membicarakan konstitusi, biasanya perspektif yang muncul tak bisa lepas dari Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia (UUD 1945). Padahal, pemahaman sebenarnya kurang tepat. Jimly Asshiddique mengatakan, pemahaman seperti itu berarti hanya sebatas memahami konstitusi sebagai konstitusi politik. Karenanya, lewat gagasan barunya ini, Jimly berusaha memberikan perspektif yang lebih luas dalam memaknai istilah konstitusi.

Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) itu menamakan gagasan barunya dengan sebutan ’Konstitusi Sosial’. Oleh Jimly, gagasan itu juga dituangkan dalam bentuk buku. Dalam buku ke-45 yang ditulis ini, Jimly mencoba memberikan perspektif yang lebih luas dalam memaknai konstitusi. Lewat buku ini Jimly juga mencoba menggambarkan bagaimana sebenarnya bernegara yang mengedepankan konstitusionalisme dan institusionalisme dalam mewujudkan kehidupan sosial masyarakat madani.

Paling tidak, ide dasar konstitusi sosial ini merujuk kepada dua isu besar, yaitu konstitusionalisasi dan institusionalisasi. Dari sisi konstitusionalisasi, Jimly berharap agar pemaknaan makna konstitusi tidak sebatas diartikan sebagai konstitusi dalam UUD 1945. Alasannya, menurut Jimly, konstitusionalisme dalam UUD 1945 mencakup tiga aspek. Selain bisa dipahami dengan konstitusi politik, seperti pemahaman pada umumnya.

Menurut Jimly, UUD 1945 juga bisa dimaknai dengan konstitusi ekonomi. Hal ini, sebutnya bisa dilihat dari ketentuan dalam UUD 1945 dalam Bab 14 tentang Pereknomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial. Selain itu, aspek ketiga yang ada dalam UUD 1945 juga bisa dimakni dengan konstitusi sosial.

”Itu yang kemudian membuat inspirasi saya untuk memperluas pengertian konstitusionalisme,” kata Jimly saat melakukan bedah buku miliknya di kampus Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta, di Tangerang Selatan, Sabtu (3/10).

Sementara dari segi institusionalisasi,Jimly menuturkan kalau permasalahan yang dihadapi oleh lembaga-lembaga, baik lembaga politik, ekonomi, atau sosial salah satunya karena lembaga-lembaga itu belum menerapkan aspek konstitusi dalam merancang anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya (AD/ART). Padahal, menurut Jimly, AD/ART lembaga-lembaga itu juga termasuk bagian dari konstitusi. Namun, selama ini banyak lembaga yang menganggap kalau AD/ART itu sebagai dokumen biasa.

”Ide-ide konstitusi itu mencerminkan prinsip universal kehidupan besama. Jadi semakin ideal tata cara hidup bersama harus disepakati dengan konstitusi. Anggaran dasar ormas itu konstitusi juga. Tapi selama ini belum kita hubungkan dengan konstitusionalisme bernegara. Seakan-akan dia dokumen biasa-biasa saja,” katanya.

Sebelum itu, Ide awal mengenai konstitusi sosial ini sebenarnya sudah muncul sejak dulu. Tahun 1990, dalam disertasinya Jimly juga sudah menyinggung sedikit mengenai gagasan soal konstitusi sosial. Disertasi yang dia tulis ketika itu sebenarnya membicarakan mengenai perbedaan antara UUD 1945 dengan konstitusi di sejumlah negara lain yang mencontoh konstitusi Amerika Serikat sebagai model. Kesimpulanya, lanjut Jimly, di sejumlah negara tidak ada yang memasukan aspek ekonomi dalam konstitusinya.

Darisana muncul cikal bakal gagasan konstitusi sosialsebagaibuah pemikiran Jimly. Namun, gagasan ini juga tidak muncul secara tiba-tiba. Embrio awal yang membangun ide mengenai konstitusi sosial ini sebenarnya berasal dari gagasannya sebelumnya, yakni gagasan Konstitusi Ekonomi (Constitutional Market Economy) yang diterbitkannya juga dalam bentuk buku pada 2010.

Baru kemudian, sejak tahun 2013 Jimly mulai meriset untuk mengembangkan ide dasar soal konstitusi sosial. Selain itu, Jimly mengaku banyak mendapat inspirasi sewaktu menggagas konstitusi sosial ini karena buku yang dia baca. Buku itu, kata Jimly, adalah ”Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty”. 
Tags:

Berita Terkait