Pansel BPJS Diminta Libatkan PPATK-KPK
Berita

Pansel BPJS Diminta Libatkan PPATK-KPK

Perlu dibentuk direktorat khusus yang menangani resiko dan mendorong kepatuhan. Dana yang dikelola sangat besar. Resiko bisnis juga besar.

ADY
Bacaan 2 Menit
Timboel Siregar. Foto: SGP
Timboel Siregar. Foto: SGP
Proses seleksi bakal calon direksi dan Dewan Pengawas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) masih berlangsung. Setelah pengumuman hasil seleksi administratif 23 November 2015, berlangsung masa penyampaian tanggapan masyarakat (23 November-1 Desember 2015). Masyarakat diminta menyampaikan masukan mengenai jejak rekam kandidat.

Ada 83 orang yang lolos seleksi administratif untuk posisi direksi BPJS Kesehatan, dan 81 orang untuk posisi direksi BPJS Ketenagakerjaan. Untuk posisi Dewan Pengawas, seleksi administrasi menghasilkan 24 kandidat untuk BPS Kesehatan dan 27 calon untuk BPJS Ketenagakerjaan.

Mantan Direktur Utama PT Jamsostek, Hotbonar Sinaga, meminta Panitia Seleksi serius menelusir jejak rekam semua kandidat. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). KPK bisa berperan untuk memastikan kepatuhan kandidat, terutama yang berasal dari pemerintah, melaporkan kekayaan. PPATK bisa menelusuri jejak transaksi keuangan kandidat.

Pasal 3 ayat (1) huruf d Perpres No. 81 Tahun 2015 mengamanatkan calon Dewan Pengawas atau angggota direksi yang diangkat harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela. “Itu perlu dilakukan agar calon yang tidak punya integritas tidak diloloskan oleh Pansel,” kata Hotbonar di Jakarta, Selasa (01/12).

Hotbonar juga mengusulkan agar masing-masing BPJS membentuk direktur khusus yang menangani manajemen resiko dan kepatuhan. Pembentukan direktorat itu dibutuhkan karena BPJS mengelola dana yang cukup besar dan untuk mencegah kecurangan (fraud). Selain itu, jajaran direksi BPJS perlu menjalin komunikasi yang baik dengan pemangku kepentingan.

“Ketika menjadi Dirut PT Jamsostek saya tidak memposisikan diri saya lebih tinggi dari pemangku kepentingan. Pemangku kepentingan itu peserta, buruh yang diwakili oleh serikat buruh kemudian pemerintah dan pengusaha (pemberi kerja),” ucapnya.

Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, menyoroti kinerja jajaran direksi dan Dewan Pengawas BPJS petahana. Hingga kini masih ada sejumlah persoalan yang dihadapi. Misalnya  munculnya Surat Edaran Direksi tentang Jaminan Hari Tua yang relatif tidak sejalan dengan peraturan yang lebih tinggi, atau dugaan penyimpangan dalam satu program televisi. Pansel perlu mencermati persoalan agar bisa mempersiapkan direksi dan Dewan Pengawas BPJS yang sesuai kebutuhan.

Timboel juga menyoroti jejak rekam calon yang pernah menolak kehadiran BPJS dulu. Calon semacam ini tak layak diloloskan karena bisa berdampak pada kinerja BPJS ke depan. BPJS Watch sudah mengingatkan Pansel secara tertulis.

Koordinator BPJS Watch, Indra Munaswar, mengkritik kinerja Direksi dan Dewan Pengawas BPJS Kesehatan saat ini karena ‘hambatan’ peningkatan jumlah kepesertaan pekerja penerima upah (PPU) lewat nota kesepaham (MoU) dengan Apindo. MoU dinilai Munaswar menunda kepesertaan PPU sampai 1 Juli 2015. Padahal, Perpres No. 12 Tahun 2013 yang direvisi Perpres No. 111 Tahun 2013 menyebutkan kepesertaan PPU paling lambat 1 Januari 2015. “MoU itu menghambat sekitar 30 jutaan PPU untuk mendapat jaminan kesehatan dan sekaligus menghambat penerimaan iuran BPJS Kesehatan,” tegas Indra.

Direksi BPJS Kesehatan juga dinilai menghambat peserta bukan penerima upah (PBPU) untuk mendapat jaminan kesehatan. Sebab direksi menerbitkan kebijakan yang mengatur masa aktivasi kepesertaan PBPU berlaku 14 hari setelah mendaftar. Janin yang ada dalam kandungan juga harus didaftarkan dengan melampirkan surat keterangan dokter. Ada juga kewajiban bagi peserta PBPU mendaftarkan satu keluarga, padahal pendaftaran peserta mandiri bersifat individual.

Masalah lain yang belum diselesaikan Direksi dan Dewan Pengawas BPJS Kesehatan saat ini adalah  implementasi koordinasi manfaat (coordination of benefit/COB). Manfaat yang diterima PPU turun ketika beralih ke BPJS Kesehatan. Padahal ketika masih menggunakan asuransi swasta mereka mendapat manfaat yang tergolong lebih baik

Indra juga menyoal petugas BPJS Center di RS tidak beroperasi 24 jam. Di sebuah RS di Semarang, jam operasional BPJS Center hanya pukul 08.00-10.00. Mestinya jam operasional BPJS Center 24 jam sama seperti RS yang harus siap menerima pasien selama 24 jam. Kalau jam operasional terbatas, maka di luar waktu itu warga tidak akan mendapat pelayanan kesehatan yang memuaskan. Begitu pula dengan jam operasional FKTP seperti klinik, Puskesmas dan dokter keluarga yang terbatas.
Tags:

Berita Terkait