PP Ganti Rugi Diapresiasi dengan Catatan
Utama

PP Ganti Rugi Diapresiasi dengan Catatan

Penangkapan adalah aib. Kerugian immaterial seharusnya bisa diperhitungkan.

Oleh:
MUHAMMAD YASIN
Bacaan 2 Menit
Alghiffari Aqsa, Direktur LBH Jakarta 2015-2018. Foto: Instagram
Alghiffari Aqsa, Direktur LBH Jakarta 2015-2018. Foto: Instagram
Kebijakan Pemerintah menerbitkan PP No. 92 Tahun 2015, peraturan terbaru ganti rugi dalam KUHAP, mendapat apresiasi dari sejumlah kalangan, mulai dari aktivis lembaga bantuan hukum hingga anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Namun apresiasi itu disertai sejumlah cacatan.

PP No. 92 Tahun 2015 adalah peraturan terbaru pelaksanaan KUHAP yang secara spesifik memuat ketentuan pembayaran ganti kerugian. Selama ini nilai maksimal ganti rugi yang bisa dituntut korban salah tangkap hanya satu juta rupiah.

Direktur LBH Jakarta, Alghiffari Aqsa, termasuk yang menyebut beleid pengganti PP No. 27 Tahun 1983 itu. LBH Jakarta beberapa kali menangani kasus salah tangkap yang dilakukan oleh polisi, dan seringkali menghadapi kesulitan untuk menuntut ganti rugi. PP No. 92 Tahun 2015 menaikkan nilai ganti kerugian yang bisa dituntut hingga seratus kali lipat. “Itu layak diapresiasi,” ujar Alghiffari melalui sambungan teepon.

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Supriyono W. Eddyono, juga mengapresiasi naiknya besaran ganti rugi yang bisa dituntut oleh korban kepada aparat penegak hukum yang salah tangkap, salah tahan, atau salah tuntut. “Perubahannya cukup signifikan,” ujarnya.

Pujian yang sama disampaikan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Abdul Haris Semendawai. Perbaikan beberapa pasal ganti kerugian dengan menaikkan nilai dan menata prosesnya patut diapresiasi. "Upaya ini bisa mendorong aparat penegak hukum untuk melakukan tugasnya dengan baik dan penuh tanggungjawab", ujar Semendawai.

Meskipun demikian, apresiasi disertai dengan catatan. Alghiffari menyebut kebijakan ini tak akan bisa menghapuskan sepenuhnya potensi salah tangkap karena PP No. 92 Tahun 2015 hanya di hilir saja. Sedangkan masalah utama yang terjadi di lapangan adalah ketidakprofesionalan aparat, khususnya polisi, melakukan proses hukum. Masih ada orang yang salah tangkap, dan yang lebih penting penyiksaan dalam proses penyidikan masih sering dilakukan.

Alghiffari menyebut 8 dari 10 orang yang ditangkap mengalami penyiksaan. “Harusnya Pemerintah mengeluarkan kebijakan yang fokus pada pencegahan penyiksaan,” usulnya.

Mengenai penentuan batas bawah dan batas atas nilai ganti rugi, ICJR menyebut pembatasan ini bisa merugikan korban. “Saya khawatir batas atas ini akan jadi patokan bagi seluruh gugatan perdata terkait kerugian korban,” kata Supriyadi. Belum lagi mekanisme penuntutan ganti rugi yang belum jelas.

Sejalan Supriyadi, penentuan batas atas itu juga disorot LPSK. Semendawai meyakini penangkapan atau penahanan oleh aparat penegak hukum sering dianggap sebagai aib di dalam masyarakat. Jika ada orang yang salah tangkap, maka seharusnya ia punya hak menuntut kerugian immaterial, yakni aib yang diderita selama ditahan. "Hilangnya pendapatan tersebut harus ditambahkan kerugian imateril karena ditangkap oleh aparat penegak hukum. Masyarakat kita masih melihat penangkapan sebagai aib, ini harus diperhitungkan", harap Semendawai.
Tags:

Berita Terkait