Pungutan Dana Ketahanan Energi Perlu Landasan Hukum
Berita

Pungutan Dana Ketahanan Energi Perlu Landasan Hukum

Pemerintah baru akan berkonsultasi dengan DPR pada masa sidang tahun 2016.

KAR
Bacaan 2 Menit
Menteri ESDM Sudirman Said. Foto: RES
Menteri ESDM Sudirman Said. Foto: RES
Mulai tahun depan, pemerintah akan menerapkan kebijakan baru terhadap harga bahan bakar minyak (BBM) jenis premium dan solar. Terhitung tanggal 5 Januari 2016, dalam setiap liter penjualan dua jenis BBM itu akan dikenakan biaya pengurangan energi fosil. Pungutan itu nantinya digunakan sebagai dana ketahanan energi.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said menjelaskan, mulai bulan depan, pemerintah akan memungut tambahan dana sebesar Rp300 dari penjualan tiap liter solar. Sementara itu, untuk premium dana ketahanan energi dipungut sebesar Rp200.

Sebagai informasi, bulan Januari mendatang harga solar turun dari Rp6.700 per liter menjadi Rp5.650. Namun, dengan adanya tambahan dana ketahanan energi harga jual solar menjadi Rp5.950 per liter. Sedangkan harga premium turun dari Rp7.300 menjadi Rp6.950 ditambah pungutan untuk dana ketahanan energi, harga baru premium menjadi Rp7.150 per liter.

Sudirman Said memperkirakan, pungutan dana ketahanan energi yang bisa dikumpulkan selama satu tahun mencapai Rp15 triliun hingga Rp16 triliun. Ia menambahkan, dana yang terkumpul itu akan diperlakukan seperti uang negara pada umumnya. Artinya, dana tersebut akan disimpan oleh Kementerian Keuangan dengan otoritas pengggunaan oleh Kementerian ESDM sebagai kementerian teknis.

“Dana itu yang mengelola Kementerian ESDM dan akan diaudit,” kata Sudirman di kantornya, Senin (28/12).

Ia menegaskan, cara pengelolaan dana ketahanan energi akan dilakukan secara profesional, transparan, dan akuntabel. Menurutnya, hal itu akan meredam kontroversi yang mencuat di tengah masyarakat saat kebijakan ini baru digulirkan. Sebab, menurutnya, kendati memunculkan pro dan kontra, Sudirman akan bersikukuh menjalankan kebijakan tersebut.

Lebih lanjut,ia mengatakan pungutan dana ketahanan energi sangat penting bagi Indonesia. Pasalnya, dana ini dapat digunakan untuk mendorong explorasi agar depletion rate cadangan bisa ditekan. Selain itu, dana tersebut juga bisa digunakan untuk membangun infrastrukur cadangan strategis.

“Tak hanya itu. Dana ketahanan energy ini pun dapat digunakan untuk membangun energi yang berkelanjutan, yakni energi baru dan terbarukan", ujarnya.

Sudirman mengakui, dalam tataran pelaksanaan kebijakan itu memang diperlukan payung hukum. Ia menyebut, tata cara pungutan dan prioritas pemanfaatan dana ketahanan energi tersebut perlu diatur secara khusus. Mengenai hal ini, ia mengatakan bahwa pemerintah akan segera berkonsultasi dengan DPR pada masa persidangan di Januari 2016.

"Berkaitan dengan mekanisme pemungutan dan pengelolaan, dan jika memang harus masuk dalam APBN ya mudah saja. Nanti melalui mekanisme APBN-P kita akan usulkan kepada DPR RI," tutur Sudirman.

Sementara itu, dalam keterangan tertulisnya, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP) Bisman Bhaktiar menyebut bahwa pungutan dana ketahanan energi illegal. Sebab, kebijakan tersebut diambil tanpa adanya dasar hukum. Ia pun menegaskan, pungutan pada harga BBM tersebut tidak sesuai dengan UU tentang pengelolaan Keuangan Negara di mana pendapatan negara harus melalui pajak dan PNBP serta harus masuk dalam APBN.

“Jadi, pungutan oleh pemerintah dalam harga BBM tersebut adalah ilegal,” tandasnya.

Bisman juga menolak Pasal 30 UU No.30 Tahun 2007 tentang Energi bisa dijadikan sebagai dasar hukum oleh Sudirman Said dalam mengambil keputusan. Ia menilai isi Pasal 30 ayat (3) UU No. 30 Tahun 2007 adalah pengembangan dan pemanfaatan hasil penelitian tentang energi baru dan energi terbarukan dibiayai dari pendapatan negara yang berasal dari energi tak terbarukan. Dengan demikian, menurutnya tidak tepat menjadi landasan pungutan dana ketahanan energy.

"Pasal 30 UU Energi sama sekali tidak mengatur tentang penerapan premi untuk harga BBM. Pasal 30 sama sekali tidak mengatur dan tidak membenarkan pungutan yang dibebankan kepada rakyat melalui harga BBM," kata dia.

Menurutnya, jika pungutan yang dimaksud Sudirman Said adalah  Petroleum Fund ‎atau dana cadangan Migas, maka seharusnya bersumber dari Penerimaan Negara Bukan Pajak ‎(‎PNBP) sektor migas yang dikumpulkan dari hasil produksi migas, bukan dari pungutan yang dibebankan kepada rakyat. Itupun pemberlakuannya harus diatur dengan Peraturan Pemerintah yang sampai saat ini belum ada. Sementara itu, jika pungutan tersebut dimaksudkan sebagai dana stabilisasi migas dan dana ketahanan energi, maka seharusnya diatur dan masuk dalam APBN.

“Seharusnya Pemerintah tidak seenaknya mengenakan pungutan kepada rakyat. Janganlah rakyat dibebani dengan berbagai macam pungutan yang memberatkan, termasuk jangan mengambil untung dari harga BBM yang sudah seharusnya menjadi kewajiban pemerintah untuk menyediakannya," jelasnya.
Tags:

Berita Terkait