Ini Delik Penting yang Belum Masuk RUU Terorisme
Berita

Ini Delik Penting yang Belum Masuk RUU Terorisme

Polisi juga mendukung adanya ketentuan pidana mengenai WNI yang bergabung dengan organisasi teroris internasional.

Oleh:
NOV
Bacaan 2 Menit
Aparat kepolisian saat menggelar latihan penanganan tindak pidana terorisme. Foto: RES
Aparat kepolisian saat menggelar latihan penanganan tindak pidana terorisme. Foto: RES
Pemerintah tengah menggodok Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Rancangan Perppu ini rencananya akan merevisi UU No.15 Tahun 2003 tentang Penetapan Perppu No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang.

Namun, menurut Kepala Divisi Kajian Hukum dan Kebijakan Peradilan Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) Arsil, ada delik penting yang belum dimasukan pemerintah dalam rancangan Perppu tersebut, yaitu ketentuan pidana mengenai warga negara Indonesia (WNI) yang bergabung dengan organisasi teroris internasional.

“Bagaimana kalau ada suatu organisasi yang sudah dinyatakan dunia internasional atau negara sahabat sebagai organisasi teroris, terus ada orang kita yang sekadar masuk organisasi itu boleh atau tidak? Menurut saya ini harus diatur. Kalau diatur (dalam UU Terorisme), maka itu bisa dipidana,” katanya kepada hukumonline.

Arsil berpendapat, UU Pemberantasan Terorisme yang baru harus memikirkan upaya preventif dengan melarang keikutsertaan WNI dengan organisasi teroris internasional. Jangan sampai menunggu orang-orang yang bergabung dengan organisasi teroris internasional itu mengebom dulu di Indonesia, baru mereka bisa dipidana.

Misalnya, kelompok negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) dan Jemaah Islamiyah (JI). Dua organisasi ini telah dinyatakan sebagai organisasi teroris oleh dunia internasional. Bahkan, ISIS diduga mendalangi serangkaian peristiwa ledakan bom dan penembakan di sejumlah negara, termasuk di Perancis dan Indonesia.

Apabila tidak ada ketentuan pidana yang melarang WNI bergabung dengan organisasi-organisasi teroris semacam itu, bukan tidak mungkin, ke depan, peristiwa teror terus berulang di Indonesia. Oleh karena itu, Arsil meminta ketentuan tersebut diatur dalam UU Pemberantasan Terorisme yang baru.

“Sebab, dalam UU Terorisme kita, yang dimaksud teroris harus dia menyerang kita dulu. Kalau misalnya, JI belum melakukan penyerangan terhadap kita, tapi dia sudah melakukan penyerangan di negara-negara lain, orang yang gabung JI nggak bisa kita apa-apain. Makanya, RUU Terorisme perlu mengatur itu,” ujarnya.

Sembari menunggu UU Pemberantasan Terorisme yang baru disahkan, untuk sementara, Pasal 139 KUHP dapat digunakan untuk menjerat WNI yang membantu atau ikut berperang bersama ISIS. Akan tetapi, pasal itu hanya khusus untuk pidana makar dengan tujuan memisahkan diri atau mengubah bentuk pemerintahan negara sahabat.

Dalam hal ini, lanjut Arsil, kebetulan ISIS selain sebagai organisasi teroris juga organisasi yang melancarkan serangan untuk melepaskan wilayah Irak dan Suriah dari pemerintahan yang berkuasa untuk dilebur menjadi Negara Islam Irak dan Suriah. Jadi, Pasal 139 KUHP itu tidak bisa digunakan untuk organisasi teroris internasional.

“Kalau ada organisasi teroris yang sifatnya lintas internasional, bertujuan untuk hanya menciptakan teror atau ketakutan, dan bukan memisahkan wilayah bagaimana? Makanya, itu perlu dimasukan. Jadi, kita bisa melarang orang-orang kita yang ikut serta atau membantu (organisasi teroris internasional),” ucapnya.

Senada, Kepala Divisi Humas Mabes Polri Anton Charliyan menyatakan Polisi kesulitan untuk menjerat WNI yang bergabung dengan organisasi teroris internasional. Padahal, orang-orang yang bergabung dengan organisasi teroris internasional itu berpotensi melakukan gerakan radikal dan aksi terorisme di Indonesia.

Untuk itu, sambung Anton, Polisi meminta penguatan dalam rancangan Perppu Pemberantasan Terorisme. Hal ini dilakukan sebagai tindakan preemtif dan preventif untuk menangkal gerakan radikalisme. Jadi, begitu mereka menyatakan bergabung dan ada kartu anggotanya, Polisi sudah bisa melakukan penangkapan.

“Ini untuk kepentingan yang lebih besar, home security. Nah, karena di UU kita belum ada, makanya di RUU Terorisme. Jadi, bukan kepada adanya suatu perbuatan (teror), tetapi dia sudah masuk ke keyakinan atau ideologi itu saja sudah bisa kita tindak. Sebab, itu membahayakan kedaulatan bangsa dan negara,” tuturnya.

Dalam rancangan Perppu Pemberantasan Terorisme yang sedang digodok pemerintah memang belum diatur mengenai ancaman pidana bagi WNI yang bergabung dengan organisasi teroris internasional. Hanya disisipkan Pasal 12A ayat (1) yang mengatur ancaman pidana bagi setiap orang yang bergabung dalam korporasi terorisme.
Pasal 12 A ayat (1)

Setiap orang yang dengan sengaja menjadi anggota atau merektur orang untuk menjadi anggota korporasi yang dinyatakan sebagai korporasi terorisme berdasarkan putusang pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dipidana dengan pidana penjara paling singkat dua tahun dan paling lama tujuh tahun.

Unsur “memperoleh kekuatan hukum tetap” dalam pasal ini pun masih menjadi perdebatan. Ada yang berpendapat penetapan korporasi terorisme berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap sangat sulit, sehingga disarankan cukup melalui penetapan hakim yang diajukan oleh Kepolisian.
Tags:

Berita Terkait