Selamat Jalan Profesor Bhen
Obituari:

Selamat Jalan Profesor Bhen

Akademisi penggagas enam fase putaran roda desentralisasi, Bhenyamin Hoessein, wafat. Ia salah satu dari sedikit ahli pemerintahan daerah di Indonesia.

Oleh:
MYS
Bacaan 2 Menit
<font color=Prof. Bhenyamin Hoessein. Foto: ISTIMEWA" title="Prof. Bhenyamin Hoessein. Foto: ISTIMEWA" src="https://images.hukumonline.com/frontend/lt56bc0f6b6ce58/lt56bc127faedad.jpg" data-fallback="https://static.hukumonline.com/frontend/default/images/kaze/default.jpg" onerror="this.onerror=null;this.src=this.dataset.fallback;" class="img-fluid w-100 h-100 rounded" />
<font color="black"><b>Prof. Bhenyamin Hoessein. Foto: ISTIMEWA</font></b>
Salah satu persoalan pelik yang terus muncul dalam sistem ketatanegaraan Indonesia adalah hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sentralisasi berlebihan yang dianut semasa Orde Baru dianggap menghilangkan ciri khas daerah, karena sentralisasi lebih menghendaki keseragaman. Era reformasi lahir, desentralisasi membesar, daerah semakin mendapat tempat yang lebih layak dalam hal pembagian kue anggaran, misalnya. Pemilihan kepala daerah juga dibuat bersifat langsung.

Hubungan pusat dan daerah tak sesederhana yang dibayangkan di atas kertas, atau seperti dirumuskan dalam kalimat perundang-undangan. Ada dinamika yang begitu fluktuatif sehingga kadang-kadang perlu pendekatan lain di setiap daerah. Walhasil, perubahan kebijakan pun berlangsung relatif cepat. Perubahan demi perubahan UU Pemerintahan Daerah dan peraturan teknis yang mengikutinya dalam lintasan sejarah ketatanegaraan memperlihatkan betapa peliknya mengatur pemerintahan daerah. Itu sebabnya tak banyak orang yang mendalami secara utuh masalah otonomi daerah di Indonesia.

Satu dari sedikit orang yang berhasil menggeluti bidang ilmu dan hukum pemerintahan daerah di Indonesia adalah Prof. Dr. Bhenyamin Hoessein, SH. Ia percaya pada kekuatan kerangka hukum untuk menggerakkan dinamika desentralisasi.

Selama puluhan tahun, setidaknya sejak 1970, Prof. Bhen –begitu ia biasa disapa murid-muridnya—menggeluti dunia pemerintahan daerah. Ia laksana ‘kamus berjalan’ kebijakan otonomi daerah di Indonesia. Setiap mengajar kepada mahasiswanya di Universitas Indonesia dan beberapa kampus swasta, ia lancar bercerita tentang perubahan-perubahan kebijakan otonomi daerah di Indonesia sejak era kemerdekaan hingga era reformasi, yang ditandai dengan amandemen UUD 1945.

Dan, dunia hukum Indonesia baru saja kehilangan pria kelahiran Tegal, 10 Agustus 1939 itu. Di salah satu ruangan RS St. Carolus Jakarta, Sabtu (06/2) pukul 03.15 WIB, Prof. Bhen menghembuskan nafas terakhir. Ia pergi menghadap Sang Khalik, meninggalkan seorang isteri dan dua orang anak.

Beberapa hari sebelumnya, murid-murid Prof. Bhen datang secara bergantian ke rumah sakit untuk menjenguk. Namun kondisi Prof. Bhen saat itu tak memungkinkan lagi berkomunikasi verbal dengan tamu-tamu yang datang ke rumah sakit. Merekalah yang kini mewarisi ilmu yang diajarkan sang guru selama puluhan tahun. Sebagian dari muridnya pula yang mengantarkan jenazah Prof. Bhen ke pemakaman terakhir di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Ilmu yang diajarkan Prof. Bhen, tentu saja, tak ikut tertanam di dalam pusaranya

Seorang muridnya, Prof. Eko Prasojo, mengenang Prof. Bhen sebagai guru yang memiliki kedalaman ilmu yang luar biasa di bidangnya, sangat detil dan teliti terhadap kata, konsep, dan kalimat. “Tulisan-tulisan beliau  memancarkan pengetahuan yang mudah dicerna oleh pikiran manusia biasa. Pernyataannya tajam, bagi yang belum biasa kadang kurang pas. Komitmennya pada pengembangan ilmu sangat besar,” kenang Guru Besar Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia itu.

Salah satu karya Prof. Bhen tentang pemerintahan daerah yang merekam perjalanan pemikiran, pandangan dan ilmu yang dia ajarkan adalah Perubahan Model, Pola, dan Bentuk Pemerintahan Daerah: dari Era Orde Baru ke Era Reformasi. Buku ini merekam perubahan-perubahan kebijakan pemerintahan daerah sejak 1974 hingga 2004. Selama rentang waktu itu pula Prof. Bhen terlibat langsung dalam penyusunan payung hukum pemerintahan daerah, UU No. 5 Tahun 1974, UU No. 22 Tahun 1999, dan UU No. 32 Tahun 2004.

Seperti diakuinya sendiri, pergulatan Prof. Bhen pada isu-isu pemerintahan daerah di lingkungan akademik tak bisa dilepaskan dari jasa ahli Hukum Administrasi Negara,Mr  Prajudi Atmosudirdjo. Prajudi-lah yang ‘berjasa membekali ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan masalah-masalah otonomi daerah’.

Menjalani masa kecil hingga SMP di Tegal dan SMA di Jakarta, Bhenyamin Hoessein pada awalnya lulus dalam bidang ilmu politik dari Universitas Nasional tahun 1965. Setelah lulus ia bekerja sebagai pegawai negeri di Lembaga Pertahanan Nasional. Sambil bekerja, ia kuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dan berhasil diselesaikan pada 1970, fokus  dalam bidang hukum tata pemerintahan (tantra). Setahun kemudian, ia diangkat menjadi staf pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. Ahli ilmu politik Prof. Miriam Budiardjo, berperan mengajak Bhenyamin mengajar di FISIP. Suatu kali ia menyebut Prof. Miriam sebagai orang ‘yang telah banyak memberikan bantuan dan dukungan terhadap pengembangan karir akademiknya’.

Pada tahun 1974 Bhenyamin juga berhasil meraih diploma administrasi pembangunan dari Institute of Social Studies, Den Haag Belanda. Ketekunan dan fokusnya pada isu otonomi daerah kemudian mengantarkan suami Seha Salim Bouzier itu terlibat dalam berbagai aktivitas yang relevan, mulai dari penelitian hingga seminar dan lokakarya. Bahkan dalam Seminar Hukum Nasional yang diselenggarakan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) – dulu LPHN—Bhenyamin menjadi narasumber utama dalam topik otonomi daerah. Demikianlah tercatat misalnya dalam dokumentasi Seminar Pembangunan Hukum Nasional VII di Jakarta (1999), dan VIII  di Bali (2003), baik sebagai pemakalah kunci maupun sebagai pemakalah pembanding. Penghargaan atas jasanya bisa dilihat antara lain dari MIPI Award 2012 dari Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia.

Kritik atas Amandemen Pasal 18
Sebagai seorang akademisi, Prof. Bhen selalu berusaha menjaga konsistensi dan independensinya. Karena itu, tak mengherankan ia tak segan melayangkan kritik atas pembentukan norma hukum dalam perundang-undangan jika menurutnya ada kekeliruan. Kritik itu tak hanya disampaikan di ruang kuliah, tetapi juga di forum seminar yang diselenggarakan para pengambil kebijakan.

Sekadar contoh bisa dilihat pada penyelengggaraan seminar ‘Arah Pembangunan Hukum Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen’ yang diselenggarakan di Jakarta, Mei 2006 silam. Di forum ini, Prof. Bhen mengkritik keras hasil amandemen Pasal 18 UUD 1945. Pada saat dilakukan amandemen, judul bab yang menaungi Pasal 18 tidak tersentuh. Akibatnya, bab VI tetap berjudul ‘Pemerintah Daerah’, tetapi dalam penerbitan UUD 1945 hasil amandemen judul bab itu berubah menjadi ‘Pemerintahan Daerah’. Penerbitan dari instansi lain akhirnya mengikuti ‘kesalahan’ itu.

Perubahan itu mungkin terkesan sepele. Tapi bagi Prof. Bhen, penggunaan istilah yang berbeda menyebabkan terjadi kerancuan dalam Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B UUD 1945 hasil amandemen. Setelah UU No. 32 Tahun 2004 lahir, kata Prof. Bhen, konsep yang dipakai kian rancu. Ia melakukan kajian khusus tentang perubahan judul Bab VI UUD 1945 dari ‘Pemerintahan Daerah’ menjadi ‘Pemerintah Daerah’. Hasilnya, perubahan itu bukan sekadar kesalahan ketik, melainkan ada nilai historisnya.

Dalam seminar di Jakarta tahun 2006 itu, Prof. Bhen tanpa tedeng aling-aling ‘menyalahkan’ pihak Sekretariat Jenderal MPR yang mengubah judul Bab VI UUD 1945 menjadi ‘Pemerintahan Daerah’. Ini juga membuktikan kejelian Prof. Bhen sebagai akademisi, dan memberi warning agar tidak terjadi masalah di kemudian hari, seperti yang pernah ia khawatirkan saat membahas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. “Dalam praktek kelak akan timbul banyak konflik antara provinsi dan kabupaten/kota dalam menyelenggarakan urusan wajib”. Sebuah kekhawatiran yang kini terbukti. 

Putaran Roda Desentralisasi
Bagi Bhenyamin, desentralisasi laksana roda yang terus berputar. Fase pertama, 1903-1922, desentralisasi bergerak menuju efisiensi. Fase kedua, 1922-1942 bergerak menuju efisiensi dan partisipasi. Pada masa pendudukan Jepang, roda desentralisasi itu dirusak. Setelah Indonesia merdeka (1945-1959), roda desentralisasi kembali bergerak ke arah demokrasi (kedaulatan rakyat). Putaran keempat, 1959-1974, arahnya menuju stabilitas dan efisiensi pemerintahan. Putaran kelima dalam masa berlakunya UU No. 5 Tahun 1974 menuju ke efisiensi (dan efektivitas) layanan dan pembangunan.

Dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Tetap dalam Ilmu Administrasi Negara, 18 November 1995, Prof. Bhen menyinggung putaran keenam dimensi tujuan desentralisasi. “Menurut saya, dalam putaran keenam kelak tempat yang harus dituju berupa tempat yang subur dengan demokrasi dan efisiensi. Kedua nilai tersebut sangat diperlukan untuk kelangsungan hidup bangsa Indonesia.” 

Dua puluh tahun sudah berlalu setelah ‘ramalan’ Prof. Bhen itu disampaikan. Puluhan, mungkin ratusan, orang yang dibimbingnya di pascarsarjana, juga sudah menulis tentang otonomi daerah pada umumnya. Kebijakan tentang otonomi juga telah mengalami dinamika selama dua puluh tahun itu. Undang-Undang Pemerintahan Daerah sudah berkali-kali berubah, bahkan dalam waktu yang relatif singkat. Kenapa singkat? UU No. 23 Tahun 2014tentang Pemerintahan Daerah –yang mencabut UU No. 32 Tahun 2004—berlaku mulai 2 Oktober 2014. Hanya dalam hitungan bulan, sudah dua kali Wet ini berubah. Terakhir dengan UU No. 9 Tahun 2015

Dilihat dari kacamata akademik, gagasan tentang enam fase perputaran roda desentralisasi pasti berkembang seiring dengan perubahan kebijakan otonomi yang begitu cepat. Prof. Bhen sudah membuka jalan untuk melakukan kajian lebih lanjut. Apakah kini sudah memasuki fase ketujuh, atau malah mungkin sudah kedelapan? Kini, tinggal bagaimana murid-muridnya mengembangkan ilmu (dan hukum) administrasi negara, khususnya desentralisasi, yang telah ditinggalkan Prof. Bhen.

Ia juga mengakui sifat dinamisnya desentralisasi itu. “Dari perspektif sejarah selalu muncul isu di seputar desentralisasi. Isu tersebut tidak pernah tertuju pada desentralisasi yang telah diterima sebagai doktrin, tetapi mengenai berbagai aspek dinamisnya.”

Kehidupan manusia juga begitu dinamis, beranjak dari satu fase ke fase lain, bergerak terus laksana gelombang laut. Dan gelombang itu harus berujung di tepian. Prof. Bhen juga telah sampai pada tepian kehidupan duniawi di pagi yang hening menjelang waktu Subuh tiba, 6 Februari 2016.

Selamat jalan Prof. Bhen…. 
Tags:

Berita Terkait